Jumat, 29 Januari 2016

Mengenal Muhammad Lebih Dekat



Sudah bisa dipastikan bahwa untuk mengetahui sejarah Islam perdana, kita harus mengetahui riwayat hidup Muhammad. Islam dan Muhammad adalah dua hal yang identik. Dari dirinyalah Tuhan menurunkan wahyu yang ujung-ujungnya menjadi pengikat dari terbentuknya institusi monoteis baru yang dikenal dengan nama Islam.
            Buku Muslim Pertama karya penulis Inggris (yang berdomisili di Amerika) ini menjadi sebuah alternatif untuk memahami perjalanan hidup Muhammad di tengah banyaknya buku serupa. Bagi pembaca muslim, buku karya jurnalis Barat tersebut tidak perlu ditakuti karena jauh dari prasangka orientalisme Saidian. Meskipun Hazleton merujuknya pada biografi otoritatif, yakni Sirat Rasul Allah Ibnu Ishaq dan Tarikh ar-Rasul wa-al-Mulk a-Tabari, sebagai pengamat dari luar, ia tetap kritis dan memilih jalan seobjektif mungkin dengan berusaha memisahkan “yang legenda” dengan “yang faktual”. Alhasil, buku tersebut tampil apa adanya sebagai kenyataan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Muslim Pertama dimulai dengan masa kecil Muhammad yang begitu malang. Sebagai bocah yatim dengan konsekuensi adat Arab pra-Islam yang melingkupinya, kehidupan Muhammad bisa dikatakan sangat menyakitkan. Tak sama dengan apa yang selama ini kita dengar, Muhammad kecil tampaknya tidak memiliki tanda-tanda bahwa dirinya akan menjadi seorang nabi. “Terutama karena sejak awal,” tulis Hazleton, “terlepas dari berbagai legenda, tanda-tandanya tampak tidak menjanjikan. Bahkan, pengamat objektif mana pun barangkali akan menyimpulkan bahwa Muhammad adalah calon paling tidak mungkin untuk mengemban kenabian, karena bintang apa pun yang menaungi kelahirannya tidak tampak benderang.”
            Muhammad ala Hazleton adalah biografi yang begitu menyedihkan dalam menuturkan masa kecilnya. Siapa yang menyangka bahwa lelaki yang kelak dianggap sebagai rasul terakhir itu memiliki masa kecil yang kurang bahagia. Kelahirannya yang mungkin tidak dikehendaki oleh klannya sendiri, Bani Hasyim—lantaran ayahnya telah mati—membuatnya terlalu lama berada dalam asuhan inangnya, Halimah, seorang perempuan Badui miskin yang mengharapkan bayaran yang pantas atas jasanya. Akibatnya, sebagai anak Quraisy tulen, sejak kecil Muhammad telah mengalami keterputusan dengan identitasnya sendiri; takdir telah menjadikannya sebagai manusia yang mengalami krisis ontologis sejak usia dini.
            Namun, kehidupan keras itulah yang pada akhirnya menempa Muhammad sebagai manusia yang paling tangguh dalam mempertahankan hidupnya—dan barangkali prinsipnya. Muhammad remaja digambarkan sebagai pemuda yang sangat dedikatif dalam menghadapi setiap pekerjaan yang diembankan kepadanya. Oleh karena itulah, Abu Thalib, sang paman memercayakan komoditas bisnisnya kepada Muhammad meskipun kepala Bani Hasyim tersebut juga menolak mentah-mentah lamaran Muhammad terhadap putrinya, Fakhita.
            Penolakan Abu Thalib terhadap lamaran Muhammad memang ada untungnya. Seandainya Muhammad menjadi istri Fakhita, barangkali ia takkan pernah dilamar oleh seorang janda kaya wanita karir, Khadijah yang kelak berperan begitu penting dalam perjalanan awal misi kenabiannya. Sebagai orang yang “tidak memiliki apa-apa” dan “bukan siapa-siapa”, orang-orang kala itu menganggap Muhammad tengah dijangkiti sejenis “sindrom janda kaya”. Namun, terlepas dari apa pun yang orang-orang nilai tentang dirinya, kenyataannya tidaklah demikian. Di tengah banyaknya hubungan perkawinan yang didasari oleh motif pragmatis, rumah tangga Muhammad dengan Khadijah menunjukkan bahwa kisah cinta romantis itu memang ada.
            Bagi Muhammad, Khadijah adalah sosok yang takkan terganti. Memang, pada akhirnya Muhammad akan menikahi banyak perempuan. Namun, Hazleton menunjukkan bahwa pernikahan-pernikahan Muhammad di kemudian lebih digerakkan oleh alasan politik. Sebagai seorang negarawan yang sedang memperjuangkan ekspansi geografis, ia dituntut menikahi perempuan-perempuan dari banyak kalangan untuk membangun aliansi yang kokoh.
            Dalam buku tersebut, penuturan tentang sosok Aisyah menjadi cerita yang paling menarik. Putri sahabat lengket Muhammad, Abu Bakar tersebut digambarkan sebagai istri Muhammad yang paling cerewet dengan sifat khasnya sebagai seorang remaja. Muhammad yang dewasa dan begitu bijaksana tentu memaklumi kenakalan kekanak-kanakan Aisyah. Dan tentu saja tak ada yang lebih berani mengatakan “wanita tua ompong yang telah diganti Allah dengan yang lebih baik” kepada mendiang Khadijah selain Aisyah ketika gadis remaja tersebut begitu cemburu kepada istri pertama Muhammad itu.
            Dengan latar belakang akademiknya yang psikologi, Hazleton kerap menggunakan perangkat psikoanalisis untuk mendalami kepribadian Muhammad. Oleh karena itulah ia tidak menyia-nyiakan untuk tidak menceritakan masa kecil Muhammad dengan detail. Hal ini sangat membantu kita dalam memahami tindakan-tindakan Muhammad selama hidupnya yang merupakan efek dari masa lalunya. Perspektif ini pulalah yang barangkali tidak pernah ditulis oleh para biografer Muhammad yang lain.
            Muslim Pertama adalah riwayat hidup Muhammad yang ditulis dengan bahasa yang sangat emosional. Membaca beberapa bagian cerita akan membuat kita terenyuh—atau untuk beberapa yang sensitif niscaya akan meneteskan air mata. Misalnya adegan kematian ibu Muhammad, Aminah; dilarangnya Muhammad berdakwah oleh Abu Thalib; pertemuan Muhammad dengan kakak angkatnya, Syayma’ ketika penyerbuan Taif, ditulis dengan sangat dramatis. Lain dari itu, buku yang ditulis dengan gaya humor khas Amerika ini juga akan membuat kita tertawa. Penuturannya yang seperti novel drama-komedi akan membuat pembaca tidak merasa bosan; tidak merasa sedang membaca sebuah risalah ilmiah.
            Dibandingkan dengan Muhammad karya Karen Armstrong, biografi yang ditulis oleh Hazleton ini lebih tampak netral. Bila Armstrong selalu mengafirmasi setiap tindakan Muhammad yang dianggap negatif, Hazleton meminimalkan itu. Bahkan, Hazleton—tanpa tendensi pada apa pun—secara tersirat menganggap bahwa wahyu yang turun di Madinah turut serta melegitimasi setiap kebijakan politik Muhammad. Dengan wawasan tradisi Arab dan politik yang dimilikinya, Hazleton memperkirakan kemungkinan-kemungkinan terhadap kejadian-kejadian  yang tampak “tidak masuk akal” yang dialami Muhammad.
Tentu saja, ya, tentu saja, Muslim Pertama karya Lesley Hazlenton begitu berharga untuk dimiliki oleh seorang muslim atau nonmuslim yang menekuni Muhammad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar