Sudah bisa dipastikan bahwa untuk
mengetahui sejarah Islam perdana, kita harus mengetahui riwayat hidup Muhammad.
Islam dan Muhammad adalah dua hal yang identik. Dari dirinyalah Tuhan
menurunkan wahyu yang ujung-ujungnya menjadi pengikat dari terbentuknya
institusi monoteis baru yang dikenal dengan nama Islam.
Buku
Muslim Pertama karya penulis Inggris
(yang berdomisili di Amerika) ini menjadi sebuah alternatif untuk memahami perjalanan
hidup Muhammad di tengah banyaknya buku serupa. Bagi pembaca muslim, buku karya
jurnalis Barat tersebut tidak perlu ditakuti karena jauh dari prasangka
orientalisme Saidian. Meskipun Hazleton merujuknya pada biografi otoritatif,
yakni Sirat Rasul Allah Ibnu Ishaq
dan Tarikh ar-Rasul wa-al-Mulk a-Tabari,
sebagai pengamat dari luar, ia tetap kritis dan memilih jalan seobjektif
mungkin dengan berusaha memisahkan “yang legenda” dengan “yang faktual”.
Alhasil, buku tersebut tampil apa adanya sebagai kenyataan sejarah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Muslim Pertama dimulai dengan masa kecil
Muhammad yang begitu malang. Sebagai bocah yatim dengan konsekuensi adat Arab
pra-Islam yang melingkupinya, kehidupan Muhammad bisa dikatakan sangat
menyakitkan. Tak sama dengan apa yang selama ini kita dengar, Muhammad kecil
tampaknya tidak memiliki tanda-tanda bahwa dirinya akan menjadi seorang nabi.
“Terutama karena sejak awal,” tulis Hazleton, “terlepas dari berbagai legenda,
tanda-tandanya tampak tidak menjanjikan. Bahkan, pengamat objektif mana pun
barangkali akan menyimpulkan bahwa Muhammad adalah calon paling tidak mungkin
untuk mengemban kenabian, karena bintang apa pun yang menaungi kelahirannya
tidak tampak benderang.”
Muhammad
ala Hazleton adalah biografi yang begitu menyedihkan dalam menuturkan masa
kecilnya. Siapa yang menyangka bahwa lelaki yang kelak dianggap sebagai rasul
terakhir itu memiliki masa kecil yang kurang bahagia. Kelahirannya yang mungkin
tidak dikehendaki oleh klannya sendiri, Bani Hasyim—lantaran ayahnya telah
mati—membuatnya terlalu lama berada dalam asuhan inangnya, Halimah, seorang
perempuan Badui miskin yang mengharapkan bayaran yang pantas atas jasanya.
Akibatnya, sebagai anak Quraisy tulen, sejak kecil Muhammad telah mengalami
keterputusan dengan identitasnya sendiri; takdir telah menjadikannya sebagai
manusia yang mengalami krisis ontologis sejak usia dini.
Namun,
kehidupan keras itulah yang pada akhirnya menempa Muhammad sebagai manusia yang
paling tangguh dalam mempertahankan hidupnya—dan barangkali prinsipnya.
Muhammad remaja digambarkan sebagai pemuda yang sangat dedikatif dalam menghadapi
setiap pekerjaan yang diembankan kepadanya. Oleh karena itulah, Abu Thalib,
sang paman memercayakan komoditas bisnisnya kepada Muhammad meskipun kepala
Bani Hasyim tersebut juga menolak mentah-mentah lamaran Muhammad terhadap
putrinya, Fakhita.
Penolakan
Abu Thalib terhadap lamaran Muhammad memang ada untungnya. Seandainya Muhammad
menjadi istri Fakhita, barangkali ia takkan pernah dilamar oleh seorang janda
kaya wanita karir, Khadijah yang kelak berperan begitu penting dalam perjalanan
awal misi kenabiannya. Sebagai orang yang “tidak memiliki apa-apa” dan “bukan
siapa-siapa”, orang-orang kala itu menganggap Muhammad tengah dijangkiti
sejenis “sindrom janda kaya”. Namun, terlepas dari apa pun yang orang-orang
nilai tentang dirinya, kenyataannya tidaklah demikian. Di tengah banyaknya hubungan
perkawinan yang didasari oleh motif pragmatis, rumah tangga Muhammad dengan
Khadijah menunjukkan bahwa kisah cinta romantis itu memang ada.
Bagi
Muhammad, Khadijah adalah sosok yang takkan terganti. Memang, pada akhirnya
Muhammad akan menikahi banyak perempuan. Namun, Hazleton menunjukkan bahwa
pernikahan-pernikahan Muhammad di kemudian lebih digerakkan oleh alasan
politik. Sebagai seorang negarawan yang sedang memperjuangkan ekspansi
geografis, ia dituntut menikahi perempuan-perempuan dari banyak kalangan untuk
membangun aliansi yang kokoh.
Dalam
buku tersebut, penuturan tentang sosok Aisyah menjadi cerita yang paling
menarik. Putri sahabat lengket Muhammad, Abu Bakar tersebut digambarkan sebagai
istri Muhammad yang paling cerewet dengan sifat khasnya sebagai seorang remaja.
Muhammad yang dewasa dan begitu bijaksana tentu memaklumi kenakalan
kekanak-kanakan Aisyah. Dan tentu saja tak ada yang lebih berani mengatakan
“wanita tua ompong yang telah diganti Allah dengan yang lebih baik” kepada
mendiang Khadijah selain Aisyah ketika gadis remaja tersebut begitu cemburu
kepada istri pertama Muhammad itu.
Dengan
latar belakang akademiknya yang psikologi, Hazleton kerap menggunakan perangkat
psikoanalisis untuk mendalami kepribadian Muhammad. Oleh karena itulah ia tidak
menyia-nyiakan untuk tidak menceritakan masa kecil Muhammad dengan detail. Hal
ini sangat membantu kita dalam memahami tindakan-tindakan Muhammad selama
hidupnya yang merupakan efek dari masa lalunya. Perspektif ini pulalah yang
barangkali tidak pernah ditulis oleh para biografer Muhammad yang lain.
Muslim Pertama adalah riwayat hidup
Muhammad yang ditulis dengan bahasa yang sangat emosional. Membaca beberapa
bagian cerita akan membuat kita terenyuh—atau untuk beberapa yang sensitif niscaya
akan meneteskan air mata. Misalnya adegan kematian ibu Muhammad, Aminah;
dilarangnya Muhammad berdakwah oleh Abu Thalib; pertemuan Muhammad dengan kakak
angkatnya, Syayma’ ketika penyerbuan Taif, ditulis dengan sangat dramatis. Lain
dari itu, buku yang ditulis dengan gaya humor khas Amerika ini juga akan
membuat kita tertawa. Penuturannya yang seperti novel drama-komedi akan membuat
pembaca tidak merasa bosan; tidak merasa sedang membaca sebuah risalah ilmiah.
Dibandingkan
dengan Muhammad karya Karen Armstrong,
biografi yang ditulis oleh Hazleton ini lebih tampak netral. Bila Armstrong
selalu mengafirmasi setiap tindakan Muhammad yang dianggap negatif, Hazleton
meminimalkan itu. Bahkan, Hazleton—tanpa tendensi pada apa pun—secara tersirat
menganggap bahwa wahyu yang turun di Madinah turut serta melegitimasi setiap
kebijakan politik Muhammad. Dengan wawasan tradisi Arab dan politik yang
dimilikinya, Hazleton memperkirakan kemungkinan-kemungkinan terhadap
kejadian-kejadian yang tampak “tidak
masuk akal” yang dialami Muhammad.
Tentu saja, ya, tentu
saja, Muslim Pertama karya Lesley Hazlenton
begitu berharga untuk dimiliki oleh seorang muslim atau nonmuslim yang menekuni
Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar