Apakah konsekuensi hijrah? Hijrah
membuat seorang individu menjadi subjek. Subjek adalah individu yang tahu, yang
berpengetahuan (menurut Prof. Faruk). Hijrah adalah ketika Adam-Hawa memakan
buah pengetahuan dan menjadikan mereka tahu. Memakan buah terlarang membuah
mereka “terluka”, membuat mereka tercerabut dari asalnya (Taman Eden). Hijrah
adalah ketika Sidharta tahu bahwa dunia penuh dengan orang tua, orang sakit,
dan orang mati. Hijrah telah membuat Sidharta tercerabut dari asalnya sebagai
putra mahkota yang nyaman tinggal di istana. Dengan demikian, hijrah telah
membuat subjek sadar bahwa dia berkekurangan, lack (terminologi Lacan). Namun, hijrah juga membuat subjek menjadi
independen, hidup dari pilihan-pilihan sadarnya, sepahit apa pun itu. Individu
yang tak pernah berhijrah adalah individu yang takkan pernah menjadi subjek,
takkan pernah menjadi merdeka.
Seorang
muslim yang berhijrah adalah seorang muslim yang menjadi subjek, yang
menjadikan Islam sebagai pilihan sadarnya. Muslim yang subjek adalah muslim
yang beragama bukan karena warisan dari lingkungan sosialnya. Menjadi muslim
yang berhijrah dan menjadi muslim yang subjek memang penuh risiko, berbahaya,
dan bahkan bisa disingkirkan dari lingkungannya. Tetapi, seorang muslim tidak
perlu merisaukan itu, sebab Tuhan berfirman, “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah,
niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak.
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nisa’:100). Artinya, bila dalam proses
seorang individu menjadi subjek terhalang oleh kematian atau mungkin tak dapat
dilanjutkan, setidaknya ia telah diganjar dengan “bumi yang luas dan rizki yang
banyak” (tentu saja kita bisa menafsirkan keduanya tidak harus dengan cara yang
harfiah). Bumi yang luas dan rizki yang banyak bisa kita tafsirkan sebagai
keluasan wawasan, bangkitnya kesadaran untuk menjadi subjek yang merdeka,
subjek yang tidak terbelenggu, subjek yang mengerti konsekuensi dari pilihan-pilihannya.
Seorang
muslim yang dungu adalah seorang muslim yang taqlid, yang beriman tanpa kesadaran, kerbau yang dicucuk
hidungnya. Muslim yang dungu adalah muslim yang memakai kacamata kuda, yang
berpikiran sempit, yang tidak tahu bahwa bumi Allah itu luas, ilmu Allah itu
luas, kebenaran Allah itu luas. Artinya, ia hanya memandang bahwa dunianyalah
yang paling benar, tidak ada jalan lain menuju Allah. Akibatnya, bila ia
berjumpa dengan pejalan-pejalan lain, ia cenderung menutup mata, menjadikan
mereka sebagai liyan yang jauh dari kebenaran. Maka inilah apa yang disebut
agama sebagai kafir, orang yang tertutup, tidak mau membuka diri terhadap
eksistensi sang liyan. Firman Tuhan, “Allah Pelindung orang-orang yang beriman;
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya
kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
(Al-Baqarah:257).
Muslim yang tak
berhijrah adalah muslim yang bersikeras mengaku muslim, tetapi sebenarnya kafir,
orang yang tinggal dalam relung gua yang gelap. Ia tak pernah membaca ayat-ayat
Tuhan yang terhampar di alam semesta. Padahal, membaca ayat-ayat Allah adalah
kunci penting seorang individu menuju cahaya (kesadaran), menjadi subjek yang
berpengetahuan. “… Seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang
menerangkan supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada
cahaya” (Ath-Thalaq:
11).
Kesimpulannya, hijrah
(ini semua orang sudah tahu) tidak hanya bersifat fisik, geografis, spasial.
Yang paling penting adalah hijarh mental (revolusi mental Jokowi kale). Hijrah
fisik mungkin bisa menjadi salah satu pemicu hijrah mental, hijrah kesadaran. Hijrah
membuat kita tercerabut dari asal—sebagaimana muslim Mekah yang tercerabut dari
kampung halamannya. Karena tercerabut, kita cenderung merasa tidak nyaman, bisa
dikucilkan, merasa berbeda dengan mayoritas. Namun, karena itu pulalah kita
menjadi tahu, menjadi subjek yang dilingkupi oleh cahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar