Apakah
desa adalah udara permai daun-daun yang hijau, dan kota adalah tiang-tiang
listrik yang kering, kebisingan suara serta kehidupan yang pengap? Apakah desa
adalah perlambang dari sejuk damai kehidupan, dan kota adalah ekspresi dari
kekerasan, kekejaman,
dan
kekeringan kebudayaan?
(Emha Ainun Nadjib, 2013)
Pendahuluan
Dalam bukunya, Spatial Politics in the Postcolonial Novel (2009), Sara Upstone
mengatakan bahwa pusat dari pascaruang memberikan alternatif ruang kepada negara-negara
bekas jajahan dalam membentuk bangsa. Bangsa yang digaungkan sebagai sebuah
keterlepasan atau kemerdekaan dari belenggu kolonial sejatinya adalah
konstruksi dari kolonial itu sendiri. Atas dasar itulah Upstone berpendapat
bahwa colonial space is postcolonial
nation.
Dalam
subab “Shifting Space” dikatakan bahwa nasionalisme sebenarnya melanjutkan
program kolonial yang menyediakan batas-batas yang seolah-olah natural. Apa
yang telah ditanam oleh kolonial selama masa penjajahan, apa yang telah
dipatok, dikotak-kotakkan, distandarkan menurut konstruksi-konstruksi kolonial
dilanjutkan dalam proyek pembangunan sebuah bangsa. Oleh karena itu, ketika
sebuah bangsa dibangun, pada saat itu jugalah konstruksi-konstruksi kolonial
tetap berlanjut (meskipun tanpa kehadiran penjajah itu sendiri). Batasan-batasan
yang telah dibuat oleh kolonial diperjuangkan oleh inlander untuk membangun sebuah bangsa. Konstruksi atau batasan
tersebut bisa secara fisik atau dalam bentuk ideologi.
Karena proyek pembangunan sebuah bangsa adalah
kelanjutan program kolonial itu sendiri, dalam subab “Shifting Scale” diajukan
dua alternatif yang dapat melepaskan yang terjajah dari kolonialisme. Pertama, larger than nation dan yang kedua adalah
smaller than nation. Larger than nation adalah sebuah proyek
membentuk warga negara global. Sementara itu, smaller than nation adalah sebentuk penawaran untuk kembali kepada ruang
lokal, komunitas tradisional, teritori etnik, atau wilayah partikular. Tujuan
dari kedua alternatif tersebut sama, yaitu mencairkan batas-batas bangsa—yang
dikonstruksikan sedemikian rigid oleh kolonialisme.
Tulisan
ini akan membahas puisi “Apa Ada Angin di Jakarta” karya Umbu Landu Paranggi
dalam konteks pascaruang dan hubungannya dengan bangsa. Perspektif yang
digunakan adalah alternatif smaller than
nation untuk mengatasi bangsa yang dikonstruksikan kolonial. Berikut adalah
paparannya.
Kembali
ke Akar
Fenomena urbanisasi sejak zaman Orde
Baru kian menggeliat hingga saat ini. Orang-orang yang merasa tidak memiliki
harapan, masa depan, atau cita-cita bila tinggal di desa, berbondong-bondong
menuju kota besar. Hijrah akbar yang semakin terasa tersebut digerakkan oleh
sebuah motif utopia bahwa kota besar menjanjikan sebuah masa depan yang
terang-benderang. Jakarta bertambah sesak, Surabaya semakin panas, Bandung kian
sempit. Benarkah kota menyediakan sebuah harapan yang berkilauan bagi
manusia-manusia desa atau justru semakin memperpuruk nasib?
Akhir-akhir
ini, Pemda Jakarta membatasi imigran yang hendak mengadu nasib di kota
megapolitan tersebut. Sebab, mereka yang tidak punya keterampilan dan tumpah di
Jakarta hanya akan menjadi orang-orang tidak berguna, gembel, gepeng, sampah
masyarakat. Kota (Jakarta) yang konon menjanjikan kehidupan yang lebih
cemerlang malah membuat hidup menjadi kusam. Harapan tinggal harapan; nasib
sial yang justru mendera.
Oleh
karena itulah Umbu mengajak manusia-manusia urban untuk kembali ke desa. Sebab
tak ada angin di Jakarta. Beginilah Umbu menghimbau orang-orang itu.
APA ADA ANGIN DI JAKARTA
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
Puisi tersebut menjadi
semacam sindiran kepada orang-orang yang mencari harapan di kota. Harapan itu
kosong dan Umbu mengajaknya kembali ke desa. Tak ada angin di Jakarta. Oleh
karena itulah bangunlah masa depanmu di desa. Begitulah kira-kira pesan
sederhana puisi tersebut.
Dalam konteks
pascaruang, pertama, harus dilihat terlebih dahulu perlambang apa sajakah yang terdapat
di dalam puisi tersebut yang kira-kira bisa mewakili terma-terma kebangsaan di
dalam wacana pascakolonial. Dengan demikian, kita dapat memperolah makna kedua
yang ditawarkan puisi tersebut dalam hubungannya dengan konsep bangsa
pascaruang. Kata, frasa, dan unsur-unsur verbal lain akan dikupas satu per satu.
Apa ada angin di
Jakarta. Begitulah judul puisi tersebut berbunyi dan merupakan larik dari bait
pertama. Di dalam konteks pascaruang, Jakarta merupakan simbol bangsa yang
merupakan konstruksi kolonial. Jakarta sebagai kota megapolitan dihuni oleh
orang-orang dari berbagai daerah di seluruh nusantara. Di sanalah mereka
mengadu nasib, mencari hidup. Demikian pula makna Jakarta sebagai bangsa.
Sebuah bangsa (katakanlah Indonesia) merupakan kumpulan dari ribuan etnik,
heterogenitas budaya. Dalam ruang yang bernama bangsalah bermacam-macam etnik
tersebut disatukan.
Sementara itu, desa,
dalam puisi tersebut memiliki makna ruang yang lebih sempit, yakni ruang lokal,
wilayah yang dihuni sebuah etnik tertentu, teritori partikular. Dalam konteks
kebangsaan, ruang lokal tersebut adalah bagian kecil dari komunitas gigantis
yang bernama bangsa. “Megaetnik” yang bernama bangsa tersebut kemudian
memaksakan kehendak untuk mengatasi yang etnik dengan tetap memelihara
batas-batas yang telah dipatok sejak zaman kolonialisme.
Apa ada angin di Jakarta.
Larik puisi tersebut adalah sebuah pertanyaan tentang kehidupan. Angin, unsur
padat udara yang merupakan sumber kehidupan dipertanyakan keberadaannya di
dalam ruang yang bernama Jakarta, di dalam ruang poskolonial yang bernama
bangsa. Penduduk Indonesia yang heterogen, yang terdiri atas beragam suku
bangsa mempertanyakan kembali makna kebangsaan bagi kehidupan mereka. Apakah
bangsa memang benar-benar telah memberikan kehidupan sejati bagi mereka atau
justru sebaliknya, mengancam eksistensi mereka yang berbeda satu sama lain yang
dicobasatukan oleh ideologi kebangsaan.
Pada larik selanjutnya
dikatakan, Seperti dilepas desa Melati.
Larik tersebut mengindikasikan bahwa angin (bila itu merupakan perlambang dari
“hidup”) ada di desa Melati. Desa Melati, sebagaimana yang telah disinggung di
atas bisa diartikan sebagai ruang lokal, ruang yang eksistensinya penuh sebelum
ia bernama bangsa. Pada kedua larik itulah Umbu membandingkan: apakah Jakarta
(bangsa) masih memberikan angin (hidup) sebagaimana desa Melati (ruang lokal).
Pertanyaan tersebut diajukan atas (mungkin) sebuah keraguan tentang bangsa yang
bisa memberikan eksistensi kepada manusia yang sebenarnya berasal dari
ruang-ruang partikular.
Sebagaimana larik
pertama, larik ketiga berbunyi, Apa
cintaku bisa lagi cari. “Cinta” menjadi kata yang melambangkan hubungan
antarmanusia yang memiliki perasaan yang sama. Perasaan yang sama tersebut
hanya bisa ada pada orang-orang yang memiliki ideologi dan budaya yang sama.
Bangsa sebagai sebuah “institusi” yang menaungi beragam budaya dipertanyakan
kesanggupannya untuk menimbulkan perasaan cinta antarpenduduknya. Sebab,
penduduk sebuah bangsa berasal dari latar etnik dan tradisi yang berbeda-beda
sehingga sulit untuk menimbulkan “hubungan yang memiliki perasaan yang sama”.
Larik keempat merupakan
lanjutan dari larik sebelumnya: (seperti di) Akar bukit Wonosari. Wonosari adalah kota yang lain, tetapi ia
adalah lambang dari ruang yang katro’,
udik, ndeso, kampungan. Linier dengan
larik kedua, larik terakhir dari bait pertama tersebut menyatakan bahwa cinta
hanya ada di ruang lokal, ketika penghuni-penghuninya memiliki kesamaan visi,
tradisi, dan kebudayaan yang sama. Pada bait tersebut ada kata “akar” yang bisa
diartikan sebagai asal-usul, genesis, atau proses kesejarahan yang sama. Cinta
atau kesamaan perasaan (atau ideologi) hanya bersemayam di dalam orang-orang
yang memiliki hidup yang sama.
Bait kedua adalah
implikasi dari munculnya bangsa yang kemudian merangkum seluruh ruang lokal di
mana keberagaman kebudayaan menempati titiknya masing-masing. Pada larik
pertama dan kedua disebutkan, Yang diam
di dasar jiwaku/ terlontar jauh ke sudut kota. “Yang terdiam di dasar jiwa”
dapat dimaknai sebagai kepribadian suku, etnik, ideologi komunitas partikular,
tradisi. Ia berada di kedalaman alam bawah sadar manusia. Ia telah tertanam dalam
waktu yang panjang, melekat di alam bawah sadar dan menjadi identitas yang
(seolah-olah) alami.
Namun, dikonstuksinya
bangsa memaksa keunikan “yang diam di dasar jiwa” tersebut untuk menyamakan
ideologinya dengan yang lain. Padahal, yang lain adalah hal yang berbeda
dengannya. Yang lain juga memiliki “yang diam di dasar jiwa” menurut akarnya
masing-masing. Bangsa menjadi semacam kekerasan ideologi yang meringkus “dasar
jiwa” yang berbeda-beda menjadi satu tubuh, satu pikiran. Akhirnya yang terjadi
adalah kembar siam yang begitu menyakitkan: ingin berpisah tetapi dipaksa
melekat.
Konsekuensi dari
penyamaan ideologi tersebut adalah berseminya ketidakadilan. Misalnya, ketika
pemerintah hendak mengambil kebijakan untuk kepentingan publik, bisa jadi
kebijakan tersebut adil bagi satu komunitas, tetapi timpang bagi komunitas yang
lain. Penyamarataan kebijakan tersebut tidak akan pernah adil bila ia dikenakan
kepada komunitas lokal yang berbeda-beda dengan perlakuan yang serupa.
Ketimpangan itulah yang
digambarkan pada larik selanjutnya: Kenangkanlah
jua yang celaka. Kata “kenangkanlah” bisa diartikan sebagai renungan atau
refleksi atas sebuah ruang yang bernama bangsa. Bangsa sebagai sebuah gerakan
pembebasan dari penjajah, pada kenyataannya melanjutkan cita-cita penjajah itu
sendiri. Kemerdekaan akan sebuah bangsa menjadi bumerang bagi komunitas-komunitas
lokal yang dipaksasatukan. Umbu menyebut efek negatif bangsa sebagai “yang celaka”.
Serupa dengan bait
sebelumnya, bait selanjutnya memiliki nada yang sama: Orang usiran kota raya. Bila dipaksa untuk menjadi manusia yang
sama, orang-orang komunitas lokal tentunya seperti dicerabut dari akarnya,
terusir dari tradisi moyangnya. Penyeragaman ideologi dan cita-cita membatasi
ekspresi adatonal mereka sebagai manusia yang lahir dari rahim ruang
partikular. Dengan demikian ruang bangsa sejatinya merupakan sebuah ide yang
telah membabat heterogenitas masyarakat yang menghuni di dalamnya. Ia
membungkam suara-suara lokal yang tetap ingin menjadi unit yang berbeda.
Suara-suara yang masih lantang menggaungkan perbedaannya, barangkali itulah
yang orang-orang sebut sebagai sparatisme.
Ketakberdayaan,
kerakusan, dan kediktatoran bangsa dalam memperlakukan komunitas-komunitas
lokal menggugah Umbu untuk menyuarakan manusia suapaya kembali ke ruang lokal,
ruang sejati manusia yang sebenarnya, ruang tempat bercokolnya akar. Pada bait
terakhir lari pertama diserukan: Pulanglah
ke desa; kembalilah ke ruang lokal, sebab di sana ada angin dan cinta, ada
kehidupan serta perasaan yang sama. Bangsa ternyata tidak bisa mewadahi
eksistensi keunikan manusia; ia justru memusnahkan eksistensi tersebut.
Kembalilah ke ruang
lokal untuk Membangun esok hari.
Sebab ruang lokallah yang tahu apa yang manusia inginkan; masa depan yang
manusia kehendaki. Masa depan tersebut hanya bisa dibangun dengan tangan-tangan
yang memiliki visi yang sama. Masa depan akan sulit dibangun oleh sekelompok
orang yang tidak memiliki harapan yang sama; yang satu ingin “itu” dan yang
lain ingin “ini”.
Kembalilah
ke huma berhati. Larik tersebut adalah pungkas dari
anjuran untuk kembali ke ruang lokal. Meski terkesan lembut, larik tersebut menyimpan
sikap nyinyir terhadap ruang bangsa. Bila ruang lokal adalah “huma berhati”,
berarti Umbu juga ingin menyampaikan bahwa bangsa adalah “rumah yang tak punya
hati”; ia dihuni oleh robot-robot yang telah diprogram, tidak memiliki sifat
yang unik sebagaimana manusia.
Penutup
Ajakan Umbu untuk kembali ke ruang lokal
dalam puisi “Apa Ada Angin di Jakarta” merupakan sebuah gerakan politik lokal
untuk mengembalikan komunitas-komunitas yang disatukan tersebut ke habitatnya
masing-masing, ke akar kebudayaannya masing-masing. Namun, untuk saat ini,
kembali ke ruang lokal pun bisa mengandung sejumlah problem. Sebab, orang-orang
dari komunitas lokal telah begitu lama menyerap konstruksi-konstruksi kolonial,
batas-batas kolonial. Bisa jadi hal itu telah mengganti kesadaran lokal dan
menjadi kesadaran baru bagi orang-orang dalam beragam komunitas tersebut.
Adanya
media massa (terutama media elektronik seperti televisi dan internet)
mempercepat penggantian kesadaran tersebut. Media-media tersebut, dengan
tayangan dan suguhan informasi yang berpotensi menyeragamkan, tentunya dapat
menjadi arus yang menggerus kesadaran lokal. Bila Umbu ingin mengembalikan
manusia ke kesadaran lokal, ke ruang yang partikular, tidak sia-siakah hal itu
dilakukan mengingat kesadaran manusia telah diseragamkan oleh mesin-mesin
informasi tersebut? Pertanyaan selanjutnya, adakah jalan lain menuju yang tidak
kolonial, yang bisa melepaskan kita dari dekapan penjajahan?
Daftar
Bacaan
Nadjib, Emha Ainun. 2013. Indonesia Bagian dari Desa Saya.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Paranggi, Umbu Landu. 2011. Apa Ada Angin di Jakarta, (Online), (www.menjadihilmy.blogspot.com),
diakses 12 Januari 2014.
Upstone. Sara. 2009. Spatial Politics in the Postcolonial Novel. England: Ashgate
Publishing Limited.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar