Selasa, 26 Januari 2016

Kesadaran atas Ruang Lokal dalam Puisi “Apa Ada Angin di Jakarta” Karya Umbu Landu Paranggi




Apakah desa adalah udara permai daun-daun yang hijau, dan kota adalah tiang-tiang listrik yang kering, kebisingan suara serta kehidupan yang pengap? Apakah desa adalah perlambang dari sejuk damai kehidupan, dan kota adalah ekspresi dari kekerasan, kekejaman,
dan kekeringan kebudayaan?
(Emha Ainun Nadjib, 2013)

Pendahuluan
Dalam bukunya, Spatial Politics in the Postcolonial Novel (2009), Sara Upstone mengatakan bahwa pusat dari pascaruang memberikan alternatif ruang kepada negara-negara bekas jajahan dalam membentuk bangsa. Bangsa yang digaungkan sebagai sebuah keterlepasan atau kemerdekaan dari belenggu kolonial sejatinya adalah konstruksi dari kolonial itu sendiri. Atas dasar itulah Upstone berpendapat bahwa colonial space is postcolonial nation.
            Dalam subab “Shifting Space” dikatakan bahwa nasionalisme sebenarnya melanjutkan program kolonial yang menyediakan batas-batas yang seolah-olah natural. Apa yang telah ditanam oleh kolonial selama masa penjajahan, apa yang telah dipatok, dikotak-kotakkan, distandarkan menurut konstruksi-konstruksi kolonial dilanjutkan dalam proyek pembangunan sebuah bangsa. Oleh karena itu, ketika sebuah bangsa dibangun, pada saat itu jugalah konstruksi-konstruksi kolonial tetap berlanjut (meskipun tanpa kehadiran penjajah itu sendiri). Batasan-batasan yang telah dibuat oleh kolonial diperjuangkan oleh inlander untuk membangun sebuah bangsa. Konstruksi atau batasan tersebut bisa secara fisik atau dalam bentuk ideologi.
             Karena proyek pembangunan sebuah bangsa adalah kelanjutan program kolonial itu sendiri, dalam subab “Shifting Scale” diajukan dua alternatif yang dapat melepaskan yang terjajah dari kolonialisme. Pertama, larger than nation dan yang kedua adalah smaller than nation. Larger than nation adalah sebuah proyek membentuk warga negara global. Sementara itu, smaller than nation adalah sebentuk penawaran untuk kembali kepada ruang lokal, komunitas tradisional, teritori etnik, atau wilayah partikular. Tujuan dari kedua alternatif tersebut sama, yaitu mencairkan batas-batas bangsa—yang dikonstruksikan sedemikian rigid oleh kolonialisme.
            Tulisan ini akan membahas puisi “Apa Ada Angin di Jakarta” karya Umbu Landu Paranggi dalam konteks pascaruang dan hubungannya dengan bangsa. Perspektif yang digunakan adalah alternatif smaller than nation untuk mengatasi bangsa yang dikonstruksikan kolonial. Berikut adalah paparannya.

Kembali ke Akar
Fenomena urbanisasi sejak zaman Orde Baru kian menggeliat hingga saat ini. Orang-orang yang merasa tidak memiliki harapan, masa depan, atau cita-cita bila tinggal di desa, berbondong-bondong menuju kota besar. Hijrah akbar yang semakin terasa tersebut digerakkan oleh sebuah motif utopia bahwa kota besar menjanjikan sebuah masa depan yang terang-benderang. Jakarta bertambah sesak, Surabaya semakin panas, Bandung kian sempit. Benarkah kota menyediakan sebuah harapan yang berkilauan bagi manusia-manusia desa atau justru semakin memperpuruk nasib?
            Akhir-akhir ini, Pemda Jakarta membatasi imigran yang hendak mengadu nasib di kota megapolitan tersebut. Sebab, mereka yang tidak punya keterampilan dan tumpah di Jakarta hanya akan menjadi orang-orang tidak berguna, gembel, gepeng, sampah masyarakat. Kota (Jakarta) yang konon menjanjikan kehidupan yang lebih cemerlang malah membuat hidup menjadi kusam. Harapan tinggal harapan; nasib sial yang justru mendera.
            Oleh karena itulah Umbu mengajak manusia-manusia urban untuk kembali ke desa. Sebab tak ada angin di Jakarta. Beginilah Umbu menghimbau orang-orang itu.

APA ADA ANGIN DI JAKARTA

Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari

Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya

Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati

Puisi tersebut menjadi semacam sindiran kepada orang-orang yang mencari harapan di kota. Harapan itu kosong dan Umbu mengajaknya kembali ke desa. Tak ada angin di Jakarta. Oleh karena itulah bangunlah masa depanmu di desa. Begitulah kira-kira pesan sederhana puisi tersebut.
Dalam konteks pascaruang, pertama, harus dilihat terlebih dahulu perlambang apa sajakah yang terdapat di dalam puisi tersebut yang kira-kira bisa mewakili terma-terma kebangsaan di dalam wacana pascakolonial. Dengan demikian, kita dapat memperolah makna kedua yang ditawarkan puisi tersebut dalam hubungannya dengan konsep bangsa pascaruang. Kata, frasa, dan unsur-unsur verbal lain akan dikupas satu per satu.
Apa ada angin di Jakarta. Begitulah judul puisi tersebut berbunyi dan merupakan larik dari bait pertama. Di dalam konteks pascaruang, Jakarta merupakan simbol bangsa yang merupakan konstruksi kolonial. Jakarta sebagai kota megapolitan dihuni oleh orang-orang dari berbagai daerah di seluruh nusantara. Di sanalah mereka mengadu nasib, mencari hidup. Demikian pula makna Jakarta sebagai bangsa. Sebuah bangsa (katakanlah Indonesia) merupakan kumpulan dari ribuan etnik, heterogenitas budaya. Dalam ruang yang bernama bangsalah bermacam-macam etnik tersebut disatukan.
Sementara itu, desa, dalam puisi tersebut memiliki makna ruang yang lebih sempit, yakni ruang lokal, wilayah yang dihuni sebuah etnik tertentu, teritori partikular. Dalam konteks kebangsaan, ruang lokal tersebut adalah bagian kecil dari komunitas gigantis yang bernama bangsa. “Megaetnik” yang bernama bangsa tersebut kemudian memaksakan kehendak untuk mengatasi yang etnik dengan tetap memelihara batas-batas yang telah dipatok sejak zaman kolonialisme.
 Apa ada angin di Jakarta. Larik puisi tersebut adalah sebuah pertanyaan tentang kehidupan. Angin, unsur padat udara yang merupakan sumber kehidupan dipertanyakan keberadaannya di dalam ruang yang bernama Jakarta, di dalam ruang poskolonial yang bernama bangsa. Penduduk Indonesia yang heterogen, yang terdiri atas beragam suku bangsa mempertanyakan kembali makna kebangsaan bagi kehidupan mereka. Apakah bangsa memang benar-benar telah memberikan kehidupan sejati bagi mereka atau justru sebaliknya, mengancam eksistensi mereka yang berbeda satu sama lain yang dicobasatukan oleh ideologi kebangsaan.
Pada larik selanjutnya dikatakan, Seperti dilepas desa Melati. Larik tersebut mengindikasikan bahwa angin (bila itu merupakan perlambang dari “hidup”) ada di desa Melati. Desa Melati, sebagaimana yang telah disinggung di atas bisa diartikan sebagai ruang lokal, ruang yang eksistensinya penuh sebelum ia bernama bangsa. Pada kedua larik itulah Umbu membandingkan: apakah Jakarta (bangsa) masih memberikan angin (hidup) sebagaimana desa Melati (ruang lokal). Pertanyaan tersebut diajukan atas (mungkin) sebuah keraguan tentang bangsa yang bisa memberikan eksistensi kepada manusia yang sebenarnya berasal dari ruang-ruang partikular.
Sebagaimana larik pertama, larik ketiga berbunyi, Apa cintaku bisa lagi cari. “Cinta” menjadi kata yang melambangkan hubungan antarmanusia yang memiliki perasaan yang sama. Perasaan yang sama tersebut hanya bisa ada pada orang-orang yang memiliki ideologi dan budaya yang sama. Bangsa sebagai sebuah “institusi” yang menaungi beragam budaya dipertanyakan kesanggupannya untuk menimbulkan perasaan cinta antarpenduduknya. Sebab, penduduk sebuah bangsa berasal dari latar etnik dan tradisi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menimbulkan “hubungan yang memiliki perasaan yang sama”.
Larik keempat merupakan lanjutan dari larik sebelumnya: (seperti di) Akar bukit Wonosari. Wonosari adalah kota yang lain, tetapi ia adalah lambang dari ruang yang katro’, udik, ndeso, kampungan. Linier dengan larik kedua, larik terakhir dari bait pertama tersebut menyatakan bahwa cinta hanya ada di ruang lokal, ketika penghuni-penghuninya memiliki kesamaan visi, tradisi, dan kebudayaan yang sama. Pada bait tersebut ada kata “akar” yang bisa diartikan sebagai asal-usul, genesis, atau proses kesejarahan yang sama. Cinta atau kesamaan perasaan (atau ideologi) hanya bersemayam di dalam orang-orang yang memiliki hidup yang sama.
Bait kedua adalah implikasi dari munculnya bangsa yang kemudian merangkum seluruh ruang lokal di mana keberagaman kebudayaan menempati titiknya masing-masing. Pada larik pertama dan kedua disebutkan, Yang diam di dasar jiwaku/ terlontar jauh ke sudut kota. “Yang terdiam di dasar jiwa” dapat dimaknai sebagai kepribadian suku, etnik, ideologi komunitas partikular, tradisi. Ia berada di kedalaman alam bawah sadar manusia. Ia telah tertanam dalam waktu yang panjang, melekat di alam bawah sadar dan menjadi identitas yang (seolah-olah) alami.
Namun, dikonstuksinya bangsa memaksa keunikan “yang diam di dasar jiwa” tersebut untuk menyamakan ideologinya dengan yang lain. Padahal, yang lain adalah hal yang berbeda dengannya. Yang lain juga memiliki “yang diam di dasar jiwa” menurut akarnya masing-masing. Bangsa menjadi semacam kekerasan ideologi yang meringkus “dasar jiwa” yang berbeda-beda menjadi satu tubuh, satu pikiran. Akhirnya yang terjadi adalah kembar siam yang begitu menyakitkan: ingin berpisah tetapi dipaksa melekat.
Konsekuensi dari penyamaan ideologi tersebut adalah berseminya ketidakadilan. Misalnya, ketika pemerintah hendak mengambil kebijakan untuk kepentingan publik, bisa jadi kebijakan tersebut adil bagi satu komunitas, tetapi timpang bagi komunitas yang lain. Penyamarataan kebijakan tersebut tidak akan pernah adil bila ia dikenakan kepada komunitas lokal yang berbeda-beda dengan perlakuan yang serupa.
Ketimpangan itulah yang digambarkan pada larik selanjutnya: Kenangkanlah jua yang celaka. Kata “kenangkanlah” bisa diartikan sebagai renungan atau refleksi atas sebuah ruang yang bernama bangsa. Bangsa sebagai sebuah gerakan pembebasan dari penjajah, pada kenyataannya melanjutkan cita-cita penjajah itu sendiri. Kemerdekaan akan sebuah bangsa menjadi bumerang bagi komunitas-komunitas lokal yang dipaksasatukan. Umbu menyebut efek negatif  bangsa sebagai “yang celaka”.
Serupa dengan bait sebelumnya, bait selanjutnya memiliki nada yang sama: Orang usiran kota raya. Bila dipaksa untuk menjadi manusia yang sama, orang-orang komunitas lokal tentunya seperti dicerabut dari akarnya, terusir dari tradisi moyangnya. Penyeragaman ideologi dan cita-cita membatasi ekspresi adatonal mereka sebagai manusia yang lahir dari rahim ruang partikular. Dengan demikian ruang bangsa sejatinya merupakan sebuah ide yang telah membabat heterogenitas masyarakat yang menghuni di dalamnya. Ia membungkam suara-suara lokal yang tetap ingin menjadi unit yang berbeda. Suara-suara yang masih lantang menggaungkan perbedaannya, barangkali itulah yang orang-orang sebut sebagai sparatisme.
Ketakberdayaan, kerakusan, dan kediktatoran bangsa dalam memperlakukan komunitas-komunitas lokal menggugah Umbu untuk menyuarakan manusia suapaya kembali ke ruang lokal, ruang sejati manusia yang sebenarnya, ruang tempat bercokolnya akar. Pada bait terakhir lari pertama diserukan: Pulanglah ke desa; kembalilah ke ruang lokal, sebab di sana ada angin dan cinta, ada kehidupan serta perasaan yang sama. Bangsa ternyata tidak bisa mewadahi eksistensi keunikan manusia; ia justru memusnahkan eksistensi tersebut.
Kembalilah ke ruang lokal untuk Membangun esok hari. Sebab ruang lokallah yang tahu apa yang manusia inginkan; masa depan yang manusia kehendaki. Masa depan tersebut hanya bisa dibangun dengan tangan-tangan yang memiliki visi yang sama. Masa depan akan sulit dibangun oleh sekelompok orang yang tidak memiliki harapan yang sama; yang satu ingin “itu” dan yang lain ingin “ini”.
Kembalilah ke huma berhati. Larik tersebut adalah pungkas dari anjuran untuk kembali ke ruang lokal. Meski terkesan lembut, larik tersebut menyimpan sikap nyinyir terhadap ruang bangsa. Bila ruang lokal adalah “huma berhati”, berarti Umbu juga ingin menyampaikan bahwa bangsa adalah “rumah yang tak punya hati”; ia dihuni oleh robot-robot yang telah diprogram, tidak memiliki sifat yang unik sebagaimana manusia.

Penutup
Ajakan Umbu untuk kembali ke ruang lokal dalam puisi “Apa Ada Angin di Jakarta” merupakan sebuah gerakan politik lokal untuk mengembalikan komunitas-komunitas yang disatukan tersebut ke habitatnya masing-masing, ke akar kebudayaannya masing-masing. Namun, untuk saat ini, kembali ke ruang lokal pun bisa mengandung sejumlah problem. Sebab, orang-orang dari komunitas lokal telah begitu lama menyerap konstruksi-konstruksi kolonial, batas-batas kolonial. Bisa jadi hal itu telah mengganti kesadaran lokal dan menjadi kesadaran baru bagi orang-orang dalam beragam komunitas tersebut.
            Adanya media massa (terutama media elektronik seperti televisi dan internet) mempercepat penggantian kesadaran tersebut. Media-media tersebut, dengan tayangan dan suguhan informasi yang berpotensi menyeragamkan, tentunya dapat menjadi arus yang menggerus kesadaran lokal. Bila Umbu ingin mengembalikan manusia ke kesadaran lokal, ke ruang yang partikular, tidak sia-siakah hal itu dilakukan mengingat kesadaran manusia telah diseragamkan oleh mesin-mesin informasi tersebut? Pertanyaan selanjutnya, adakah jalan lain menuju yang tidak kolonial, yang bisa melepaskan kita dari dekapan penjajahan?    

Daftar Bacaan
Nadjib, Emha Ainun. 2013. Indonesia Bagian dari Desa Saya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Paranggi, Umbu Landu. 2011. Apa Ada Angin di Jakarta, (Online), (www.menjadihilmy.blogspot.com), diakses 12 Januari 2014.
Upstone. Sara. 2009. Spatial Politics in the Postcolonial Novel. England: Ashgate Publishing Limited.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar