Jumat, 29 Januari 2016

Spirit Lailatul Kadar



Bagi seorang muslim, membaca Quran adalah sebuah momen menghidupkan kalam Ilahi dan diharapkan menjadi sebuah penerang di dalam kehidupan sehari-hari. Membaca Quran telah menjadi sebuah tradisi dan merupakan bagian dari ritual. Ia dianggap mukjizat yang telah melampau sekian ruang dan waktu.
            Sejarah awal turunnya Quran telah direkam dengan puitis di dalam surah ke-97: Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
            Ayat pertama Quran turun ketika kota Mekah sedang dalam masa kritis. Ketika itu, terjadi kegelisahan massal di kalangan (terutama) anak muda yang merasa resah. Sebab, penduduk Mekah telah menyerap nilai yang tidak sesuai dengan etos masyarakat Arab yang menjunjung tinggi nilai egalitarian dengan meletakkan kepentingan suku di atas segalanya.
            Nilai asing destruktif itu bernama individualisme. Ia mulai merebak ketika penduduk Mekah mengalami transformasi ekonomi yang sangat besar. Posisi yang strategis, dibantu dengan adanya situs Ka’bah yang merupakan pusat ritual masyarakat Arab kuno menjadikan Mekah sebagai kota perdagangan yang menjanjikan. Setiap tahun, kota Mekah menjadi salah satu tempat digelarnya suq, sejenis pasar bursa yang memungkinkan penduduknya menjadi konglomerat.
            Bagi klan-klan tak berdaya (seperti klan Hasyim yang merupakan klan Muhammad), perubahan ekonomi ini justru menjadi bencana yang besar. Sebab, penduduk Mekah telah kehilangan sikapnya sebagai masyarakat yang meletakkan kehormatan suku di atas segala kehormatan. Yang terjadi adalah penumpukan harta kekayaan tanpa batas sebagaimana ciri khas kapitalisme pada umumnya.
Kebutaan harta inilah yang menjadi penyebab lunturnya nilai-nilai etis yang sebenarnya telah menjadi pandangan hidup secara turun-temurun. Individualisme telah menanamkan sikap tidak peduli antarsesama, mengeliminasi jiwa karim (nilai kepahlawanan; idealitas puak Badui), tetapi tetap mempertahankan nilai aristokratis yang sebenarnya tidak perlu.
            Turunnya Quran menjadi awal perubahan nilai penduduk Mekah (dan masyarakat Arab) yang tengah berada di posisi ujung tanduk. Pemuda seperti Muhammad rupanya telah dipilih untuk memikul tanggung jawab itu.
Sebagaimana nabi-nabi sebelumnya, wahyu datang kepada Muhammad dengan perantara Jibril. Di dalam teologi Islam, Jibril bukanlah malaikat naturalistik anggun sebagaimana yang kerap diilustrasikan oleh orang-orang Kristen. Ia merupakan malaikat abstrak yang menyampaikan wahyu dengan jalan menyelusup ke alam bawah sadar. Beberapa ayat di dalam Quran memang menggambarkan Jibril menjelma seperti sosok manusia. Namun, di dalam kasus pewahyuan, Jibril lebih banyak menjadi efek psikis. Dalam filsafat Yunani, ia bisa disetarakan dengan logos (percik-percik keilahian) atau setara pula dengan roh kudus di dalam teologi Kristiani.
Quran turun pada malam ketujuh belas bulan Ramadan yang dikenal dengan istilah malam kemuliaan (lailatul kadar).  Ini menjadi bukti bahwa Tuhan—yang bagi masyarakat Arab kuno diyakini sebagai realitas yang jauh—masih peduli terhadap mereka. Turunnya Quran menjadi oase yang menyejukkan bagi mereka, sebab mereka tak lagi merasa inferior berhadapan dengan rekan-rekan bisnis mereka, yaitu orang Persia (Yahudi) dan Bizantium (Kristen) yang memiliki agama mapan. Memiliki nabi dari bangsa mereka sendiri dan kitab suci dari bahasa mereka sendiri menjadi prestis dan meningkatkan rasa konfiden mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar