Bagi seorang muslim, membaca Quran
adalah sebuah momen menghidupkan kalam Ilahi dan diharapkan menjadi sebuah
penerang di dalam kehidupan sehari-hari. Membaca Quran telah menjadi sebuah
tradisi dan merupakan bagian dari ritual. Ia dianggap mukjizat yang telah
melampau sekian ruang dan waktu.
Sejarah
awal turunnya Quran telah direkam dengan puitis di dalam surah ke-97: Sesungguhnya kami telah menurunkannya
(Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu? Malam
kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Ayat
pertama Quran turun ketika kota Mekah sedang dalam masa kritis. Ketika itu,
terjadi kegelisahan massal di kalangan (terutama) anak muda yang merasa resah.
Sebab, penduduk Mekah telah menyerap nilai yang tidak sesuai dengan etos
masyarakat Arab yang menjunjung tinggi nilai egalitarian dengan meletakkan
kepentingan suku di atas segalanya.
Nilai
asing destruktif itu bernama individualisme. Ia mulai merebak ketika penduduk
Mekah mengalami transformasi ekonomi yang sangat besar. Posisi yang strategis,
dibantu dengan adanya situs Ka’bah yang merupakan pusat ritual masyarakat Arab
kuno menjadikan Mekah sebagai kota perdagangan yang menjanjikan. Setiap tahun,
kota Mekah menjadi salah satu tempat digelarnya suq, sejenis pasar bursa yang memungkinkan penduduknya menjadi
konglomerat.
Bagi
klan-klan tak berdaya (seperti klan Hasyim yang merupakan klan Muhammad),
perubahan ekonomi ini justru menjadi bencana yang besar. Sebab, penduduk Mekah
telah kehilangan sikapnya sebagai masyarakat yang meletakkan kehormatan suku di
atas segala kehormatan. Yang terjadi adalah penumpukan harta kekayaan tanpa
batas sebagaimana ciri khas kapitalisme pada umumnya.
Kebutaan harta inilah
yang menjadi penyebab lunturnya nilai-nilai etis yang sebenarnya telah menjadi
pandangan hidup secara turun-temurun. Individualisme telah menanamkan sikap
tidak peduli antarsesama, mengeliminasi jiwa karim (nilai kepahlawanan; idealitas puak Badui), tetapi tetap
mempertahankan nilai aristokratis yang sebenarnya tidak perlu.
Turunnya
Quran menjadi awal perubahan nilai penduduk Mekah (dan masyarakat Arab) yang
tengah berada di posisi ujung tanduk. Pemuda seperti Muhammad rupanya telah
dipilih untuk memikul tanggung jawab itu.
Sebagaimana nabi-nabi
sebelumnya, wahyu datang kepada Muhammad dengan perantara Jibril. Di dalam
teologi Islam, Jibril bukanlah malaikat naturalistik anggun sebagaimana yang
kerap diilustrasikan oleh orang-orang Kristen. Ia merupakan malaikat abstrak
yang menyampaikan wahyu dengan jalan menyelusup ke alam bawah sadar. Beberapa
ayat di dalam Quran memang menggambarkan Jibril menjelma seperti sosok manusia.
Namun, di dalam kasus pewahyuan, Jibril lebih banyak menjadi efek psikis. Dalam
filsafat Yunani, ia bisa disetarakan dengan logos
(percik-percik keilahian) atau setara pula dengan roh kudus di dalam teologi
Kristiani.
Quran turun pada malam
ketujuh belas bulan Ramadan yang dikenal dengan istilah malam kemuliaan (lailatul kadar). Ini menjadi bukti bahwa Tuhan—yang bagi
masyarakat Arab kuno diyakini sebagai realitas yang jauh—masih peduli terhadap
mereka. Turunnya Quran menjadi oase yang menyejukkan bagi mereka, sebab mereka
tak lagi merasa inferior berhadapan dengan rekan-rekan bisnis mereka, yaitu
orang Persia (Yahudi) dan Bizantium (Kristen) yang memiliki agama mapan.
Memiliki nabi dari bangsa mereka sendiri dan kitab suci dari bahasa mereka
sendiri menjadi prestis dan meningkatkan rasa konfiden mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar