Snow White[1]
merupakan dongeng yang berasal dari beberapa tempat di Eropa. Versi yang paling
terkenal berasal dari Jerman yang ditulis oleh Grimm bersaudara. Pada versi
inilah cerita Snow White mengalami pengembangan, misalnya terdapatnya elemen
cermin ajaib dan tujuh kurcaci. Pada perkembangan selanjutnya, para pengarang
dan sineas melakukan kongkretisasi ulang terhadap cerita ini sehingga
menghasilkan cerita-cerita dengan versi yang berbeda, bahkan cukup radikal.
Tulisan
ini akan membahas kongkretisasi wilayah indeterminasi Wolfgang Iser[2]
dalam tiga versi cerita Snow White. Tiga cerita yang dimaksud antara lain: (1) Snow White and the Huntsman (film oleh
Rupert Sanders); (2) “Gadis Buruk Rupa dalam Cermin” (cerpen oleh Guntur Alam);
(3) “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” (cerpen oleh Dwi Ratih Ramadhany). Penulis
memilih tiga versi tersebut sebagai objek bahasan karena dinilai memiliki
perubahan signifikan terhadap cerita standarnya (cerita standar yang dimaksud
akan dijabarkan pada subbahasan Plot).
Plot[3]
Singkatnya, cerpen ini diawali oleh Ratu
yang melahirkan Snow White. Setelah melahirkan gadis cantik itu, Ratu meninggal
dunia. Setahun berlalu, sang Raja menikah kembali dengan seorang perempuan yang
sangat cantik, tetapi angkuh dan tidak senang apabila ada yang melebihi
kecantikannya. Sang Ratu yang baru memiliki sebuah cermin ajaib. Sang Ratu
sering berdiri memandang ke dalam cermin dan berkata, "Cermin di dinding,
Siapa yang tercantik di antara semua?"
Sang cermin selalu menjawab, "Anda adalah yang tercantik
dari semuanya." Sang Ratu merasa puas karena cermin ajaibnya tidak pernah berbohong.
Snow
White tumbuh makin lama makin cantik dan saat ia dewasa, kecantikannya jauh
melebihi kecantikan sang Ratu sendiri. Suatu hari ketika sang Ratu bertanya
kepada cerminnya, cermin menjawab, "Ratu, Anda cantik, tetapi Snow White lebih
cantik daripada Anda."
Sang Ratu terkejut dan cemburu. Sejak itu, ia berbalik
membenci Snow White. Semakin lama, rasa cemburunya bertambah besar hingga ia
tidak memiliki kedamaian lagi. Ia lalu memerintahkan seorang pemburu untuk
membinasakan Snow White di hutan.
"Bawalah hatinya kepadaku sebagai bukti.”
Sang pemburu setuju, membawa Snow White ke suatu hutan; akan
tetapi saat ia menarik pedangnya, Snow White menangis dan berkata, "Wahai,
pemburu, janganlah membunuhku, saya akan pergi dan masuk ke dalam hutan liar
dan tidak akan kembali lagi."
Pemburu
yang menaruh rasa kasihan membirakannya pergi. Kemudian pemburu menangkap seekor
binatang dan mengeluarkan hatinya untuk dibawa kepada Ratu sebagai bukti.
Di hutan, Snow White melihat sebuah rumah kecil. Snow White
masuk ke dalam untuk dan ia pun tertidur di situ. Saat malam tiba, pemilik
rumah pulang. Mereka adalah tujuh orang kurcaci yang pekerjaannya menggali
terowongan bawah tanah di pegunungan. Mereka terkejut ada orang yang telah
masuk ke dalam rumah tersebut karena beberapa hal telah berpindah tempat, tidak
seperti saat mereka meninggalkan rumah. Mereka melihat Snow White tertidur di
sana.
Menjelang pagi, ketika Snow White terbangun dan melihat
ketujuh kurcaci, lalu ia menceritakan apa yang terjadi. Ketujuh kurcaci
mengizinkannya untuk tinggal di rumah itu. Pada pagi hari para kurcaci ke
gunung untuk menggali emas. Setiap Snow White ditinggal sendiri, para kurcaci
sering memberi nasihat, "Berhati-hatilah pada ibu tirimu. Dia akan tahu
bahwa kamu ada di sini. Jangan biarkan seorang pun masuk ke dalam rumah."
Ratu kembali bertanya kepada cermin dan cermin menjawab,
"Ratu, walaupun kecantikanmu hampir tidak ada bandingannya, Snow White yang
hidup di sebuah rumah kecil beserta tujuh orang kurcaci, seribu kali lebih
cantik." Ratu menjadi terkejut dan berpikir keras untuk menghabisi Snow
White.
Dua kali sang Ratu melakukan percobaan pembunuhan terhadap Snow
White, tetapi gagal. Snow White berhasil diselamatkan oleh para kurcaci. Untuk
ketiga kalinya, Ratu menyamar menjadi seorang istri petani yang menjual apel
beracun. Kali ini ia cukup berhasil. Karena memakan apel itu, Snow White jatuh
rebah ke tanah. Para kurcaci tidak dapat menyelamatkannya.
Mereka membuat peti kaca sehingga mereka dapat melihat Snow
White dari segala sisi. Snow White dibaringkan di peti tersebut. Mereka meletakkan
peti itu di atas gunung. Untuk beberapa lama, Snow White terbaring di peti kaca
itu dan tidak pernah berubah, terlihat seolah-olah tidur.
Suatu ketika seorang pangeran lewat di hutan. Saat ia melihat
peti di puncak gunung beserta Snow White yang cantik di dalamnya, ia menjadi
jatuh cinta. Saat sang Pangeran berbicara dengan sungguh hati, para kurcaci
menjadi iba dan memberikan sang Pangeran peti yang berisikan Snow White dan
sang Pangeran pun memanggil pelayan-pelayannya untuk mengangkat peti tersebut
ke istana. Di perjalanan, seorang pelayan terantuk pada semak-semak sehingga
peti yang diangkatnya menjadi terguncang Saat itulah apel beracun yang ada pada
kerongkongan Snow White keluar. Snow White kembali hidup dan menikah dengan Pangeran.
Tahu Snow White hidup, sang Ratu marah. Kisah ini diakhiri
dengan jatuhnya sang Ratu dari atas tebing. Versi lain menceritakan bahwa sang
Ratu mati karena Snow White menghukumnya dengan memerintahkannya untuk menari
dengan memakai sepatu besi yang sangat panas.
Konsep
Kongkretisasi Wilayah Indeterminasi Iser
Menurut Iser, membaca adalah aktivitas yang dipandu oleh teks dan
diproses oleh pembaca. Dalam teks sastra selalu terdapat wilayah indeterminasi
(Leerstellen) atau tempat kosong yang harus diisi (diinterpretasi) oleh
pembaca. Wilayah indeterminasi ini memberi peluang bagi pembaca untuk memaknainya
secara kreatif dan menyeluruh, tetapi tidak diperbolehkan untuk melakukan
pemaknaan yang semau-maunya.
Ketika
sebuah teks dicipta oleh pengarang, ia hanya menawarkan aspek-aspek skematik
saja. Akan tetapi, ketika teks itu dikongkretisasi oleh pembaca, ia menjadi
teks terbuka. Melalui kongkretisasi, pembaca dapat merekonstruksi sesuatu yang ada dalam
teks yang tidak disebutkan oleh pengarang. Dalam hal ini, pembaca akan merasa
senang bila dalam sebuah teks sastra terdapat “pandangan skematik” yang
merangsang pembaca untuk membangun imajinasinya sehingga ia mempunyai ruang
gerak yang leluasa.
Pembaca memiliki strategi (tindak-tindak pemahaman) yang
berfungsi mengarahkan perhatian pada teknik kongkretisasi. Oleh karena itu,
kewajiban pembacalah mengisi wilayah indeterminasi (tempat kosong) dalam teks
sesuai dengan memori dan horison harapan yang dimilikinya.
Efek
estetik dalam pembacaan karya sastra mengisyaratkan bahwa sebuah teks sastra
tidak hanya dipandang sebagai entitas yang bisa didefinisikan secara tunggal,
tetapi ia dapat dimaknai secara dinamis. Tugas utama pembaca adalah mengungkapkan efek dan makna
potensial yang masih tersembunyi dalam karya sastra itu. Pembaca tidak boleh
terpaku pada satu teks dengan makna tunggal, tetapi harus mencari makna-makna
lain (plural) yang potensial yang bisa memberi efek tertentu kepada pembaca.
Di
dalam tulisan ini, sebagai pembaca, para pengarang tiga versi cerita Snow White
tidak begitu saja menerima pemaknaan tunggal yang telah mapan. Mereka melakukan
kongkretisasi ulang cerita Snow White sehingga menghasilkan pemaknaan baru.
Para pengarang mencari makna-makna potensial, wilayah indeterminasi, atau
celah-celah yang memungkinkan untuk dilakukannya pembacaan ulang terhadap
cerita Snow White. Alhasil, mereka menulis ulang karya tersebut dengan versi
yang lebih dinamis.
Kongkretisasi Wilayah
Indeterminasi dalam Film Snow White and
the Huntsman
Snow
White and the Huntsman adalah salah satu contoh versi cerita
Snow White yang mengalami konkretisasi ulang. Artinya, sineasnya melakukan
pemaknaan ulang terhadap versi standar yang telah ada. Pemaknaan ulang tersebut
memanfaatkan wilayah-wilayah potensial yang selama ini belum disentuh oleh
pembaca-pembaca lain. Dengan cara mengembangkan cerita dari wilayah
indeterminasi itulah Snow White and the
Huntsman menjadi berbeda.
Secara keseluruhan, Snow White and the Huntsman mengubah plot
di dalam cerita Snow White yang standar. Ia dibuat menjadi lebih “natural”
meskipun masih ada elemen cermin ajaib, sihir, dan makhluk fantasi. Hal ini
bisa dilihat dari adegan, misalnya siapa yang pada menjadi kekasih Snow White,
ketidakhadiran karakter pangeran yang menyelamatkan hidup sang putri, dan
konflik yang mengakhiri cerita.
Salah
satu hal yang membuat cerita ini menjadi lebih dinamis adalah pemberontakan
Snow White terhadap tahta ibu tirinya. Sikap subversif yang melibatkan kelompok
kiri mungkin lebih sesuai dengan konteks saat ini daripada pemujaan terhadap
kepasifan Snow White yang menunggu diselamatkan oleh pangeran idaman. Pemberian
karakter yang lebih maskulin terhadap tokoh Snow White membuat cerita ini
membongkar sifat-sifat lemah lembut yang selama ini dilekatkan pada tokoh
seorang putri. Itu artinya, sineas film tersebut telah mengongkretkan karakter
Snow White sesuai dengan etos emansipatoris kekinian sebagaimana kondisi
perempuan sekarang yang tidak hanya eksis di wilayah domestik.
Namun, yang paling penting dari itu semua adalah
sebab-musabab mengapa Ratu Ravenna (ibu tiri Snow White) menjadi jahat.
Barangkali inilah yang jarang disentuh oleh para pengarang, sineas, kartunis,
atau pembaca pada umumnya. Pada cerita standar, ibu tiri Snow White digambarkan
“ada” begitu saja. Ia tiba-tiba muncul dengan karekter yang memang sudah
ditakdirkan untuk menjadi jahat tanpa dipertanyakan mengapa ia menjadi jahat.
Oleh karena itulah, bagi sineas Snow
White and the Huntsman, bagian inilah yang berpotensi menjadi cerita baru
dengan melakukan pengembangan terhadapnya.
Dalam
film ini, Ratu Ravenna membunuh ayah Snow White (Raja Magnus) ketika malam
pertama perkawinan mereka. Namun, film ini tidak berhenti begitu saja; tidak membiarkan
Ratu Ravenna jatuh sebagai sosok perempuan yang haus kekuasaan. Pada bagian
itulah film ini memutar adegan masa lalu Ravenna yang kelam; bahwa sebelumnya
ia pernah menjadi istri seorang raja. Seiring dengan berlalunya waktu, raja
tersebut tidak tertarik lagi kepada Ravenna, lalu mencampakkannya begitu saja.
Hal inilah yang menjadi sebab Ratu Ravenna menjadi antagonis. Dengan demikian,
penonton tidak dibiarkan pula memandang kejahatan tokoh tersebut sebagai
hitam-putih, tetapi ada motif di balik itu semua, yaitu dendam. Hal ini
sekaligus menjadi menjadi tanda bahwa di dalam film ini, perempuan tidak hanya
menjadi objek yang pasif, tetapi menjadi subjek yang berkehendak.
Pada
bagian inilah sineas film Snow White and
the Huntsman mengisi wilayah indeterminasi. Kongkretisasi ulang dan
pembacaan yang kritis terhadap cerita standar membuahkan cerita baru yang
sebelumnya tidak pernah dipikirkan. Alhasil, film ini menempatkan karakter
manusia lebih manusiawi daripada sekadar memasukkan unsur tokoh yang telah
dideterminankan tanpa sabab-musabab yang jelas.
Kongkretisasi Wilayah
Indeterminasi
dalam Cerpen “Gadis
Buruk Rupa dalam Cermin”
Bila dilihat dari plotnya, perubahan
cerita Snow White[4]
dalam cerpen “Gadis Buruk Rupa dalam Cermin” lebih signifikan daripada dalam
film Snow White and the Huntsman. Di
dalam cerpen tersebut, cermin ajaib tidak hanya dimiliki oleh Ratu Ravenna[5],
tetapi juga dimiliki gadis-gadis desa. Gadis-gadis desa juga melakukan ritual
membedaki wajahnya dengan pupur abu mayat dan gincu darah perawan supaya cantik
seperti ritual tumbal Ratu Ravenna[6].
Cerpen
ini juga mendistorsi bagian-bagian cerita Snow White yang standar. Hal ini bisa
dilihat, misalnya, tujuh kurcaci yang pada cerita standarnya adalah sekelompok
orang yang baik hati, tetapi dalam cerpen ini merupakan setan-setan yang
bersekutu dengan Ratu Ravenna untuk mencelakai Snow White dengan beralih rupa
menjadi tujuh kurcaci. Pada akhir cerita Ratu Ravenna beralih rupa menjadi Snow
White, tidur di dalam peti kaca, dan menunggu seorang pangeran datang untuk
menciumnya serta menjadikannya istri.[7] Tentu
saja versi seperti ini merupakan pembelokan terhadap cerita standarnya.
Namun,
mengenai wilayah indeterminasi yang dikonkretisasi kembali terdapat pada bagian
masa lalu Ratu Ravenna. Sama dengan film Snow
White and the Huntsman, cerpen ini menampilkan masa lalu Ratu Ravenna yang
kelam. Jika di dalam film Snow White and
the Huntsman masa lalu Ratu Ravenna hanya diceritakan secara sekilas, di
dalam cerpen ini kehidupan masa lalu Ratu Ravenna justru hampir memenuhi
sekujur teks cerpen sehingga pengarangnya seolah-olah ingin memberi tahu
pembaca betapa kelamnya masa lalu sang ratu dan karena alasan itulah ia menjadi
sosok yang ganas.
Di dalam cerpen
tersebut diceritakan bahwa Ravenna adalah anak dari pasangan masyarakat sipil.
Secara fisik, ia digambarkan sebagai gadis buruk rupa yang kerap dicemooh oleh
orang-orang. Pada akhirnya, orang tuanya yang malu dan tidak menghendakinya
membuangnya ke hutan sarang setan. Di hutan itulah Ravenna diangkat menjadi
ratu oleh setan-setan. Kemudian ia melakukan persekutuan dengan setan-setan. Para
setan menjadikannya sebagai perempuan cantik di dunia. Sebagai tumbalnya, pada
malam bulan purnama Ravenna harus mempersembahkan darah gadis dan bujang desa
kepada mereka.
Sebagaimana
film Snow White and the Huntsman,
cerpen ini tidak ingin menampilkan sosok Ratu Ravenna sebagai tokoh yang
ditakdirkan untuk menjadi jahat. Ada motif mengapa ia kemudian menjadi jahat.
Keburukrupaan wajahnya adalah pemicu utama mengapa ia kemudian menjadi dendam.[8] Pada
ritual tumbal, Ravenna menghabisi perawan dan bujang yang dahulu suka
mencemoohnya. Di dalam cerpen ini, apa yang dilakukan oleh Ratu Ravenna—yakni
membunuh para perawan dan bujang desa—akhirnya menjadi permisif, seolah-olah ada
hubungan kausalitas di balik tindakan tersebut.
Kongkretisasi Wilayah
Indeterminasi
dalam Cerpen “Perempuan
Bisu dan Cermin Ratu”
Dibandingkan dengan kedua versi cerita
Snow White yang telah disinggung sebelumnya, cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin
Ratu” adalah versi yang paling radikal. Cerpen ini menggunakan teknik
dekonstruksi dalam memosisikan karakter-karakter di dalam cerita Snow White. Di
dalam cerpen ini, terjadi pembalikan karakter protagonis dan antagonis. Ratu
memiliki karakter protagonis (baik dan cantik), sedangkan Snow White[9]
memiliki karakter antagonis (penyihir jahat, dengki, dan tidak secantik Ratu).
Snow White mengambil
cermin ajaib Ratu. Tiap kali ia bertanya kepada cermin, siapa perempuan
tercantik, cermin menjawab bahwa perempuan tercantik adalah Ratu. Snow White
kerap menyiksa Ratu karena kedengkiannya terhadap kecantikan Ratu. Pada akhirnya,
karena tidak tahan terhadap siksaan Snow White, Ratu melarikan diri ke hutan
dan mengiris kedua bibir serta kedua pergelangan tangan-kakinya dengan pecahan
cermin ajaibnya supaya Snow White tidak lagi cemburu pada kecantikannya.
Pada
beberapa bagian, cerpen ini terinspirasi dari cerpen “Gadis Buruk Rupa dalam
Cermin” karya Guntur Alam; pada bagian lain, cerpen ini juga terinspirasi dari
cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” karya Intan Paramaditha.[10]
Tampaknya, cerpen ini lebih dominan dipengaruhi oleh cerpen Intan. Di dalam
cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”, tokoh Cindelarat—yang merupakan parodi
karakter Cinderella—digambarkan sebagai tokoh jahat yang suka menyiksa ibu tiri
dan saudara-saudara tirinya. Begitu juga dalam cerpen “Perempuan Bisu dan
Cermin Ratu”, Snow White digambarkan suka menyiksa ibu tirinya. Akhir cerita
pun dibuat mirip. Baik ibu tiri Cindelarat maupun ibu tiri Snow White melukai
bagian tubuhnya sendiri karena tidak tahan didera siksa.
Meskipun
Ratih menganggap cerpennya terinspirasi dari Guntur dan Intan, tetapi pada
kenyataannya, cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” tidak lepas dari pengaruh
film Snow White and the Huntsman.
Selain masalah ritual tumbal kecantikan, sebagaimana film Snow White and the Huntsman, cerpen ini juga menggambarkan bagaimana
gadis-gadis desa memperburuk diri agar tidak menjadi korban tumbal. Di dalam
film Snow White and the Huntsman,
gadis-gadis desa melukai wajahnya agar menjadi jelek sehingga tidak dijadikan
tumbal kecantikan Ratu Ravenna. Sementara itu, di dalam cerpen “Perempuan Bisu
dan Cermin Ratu”, gadis-gadis desa mandi di Sungai Sembilu yang penuh tahi
(simbol tempat yang kotor) agar tidak dijadikan tumbal kecantikan Snow White.
Bagi
Ratih, seluruh unsur di dalam cerita Snow White adalah wilayah indeterminasi.
Oleh karena itulah ia mendekonstruksi cerita tersebut. Ia tidak hanya mencari
bagian-bagian potensial untuk dimaknai ulang, tetapi mengonkretisasi ulang
seluruh bagian cerita Snow White.
Penutup
Dari ketiga versi cerita Snow White yang
telah dibahas, penulis menyimpulkan bahwa kongkretisasi pada wilayah
indeterminasi dilakukan dengan menafsirkan ulang oposisi biner berhierarki. Kongkretisasi
tersebut pada akhirnya tidak menggambarkan sesuatu di dalam wilayah hitam-putih
saja, tetapi ia memberikan ruang pada daerah abu-abu. Dengan demikian, apa yang
selama ini dianggap salah, ternyata tidak sepenuhnya salah. Begitu juga
sebaliknya, apa yang selama ini dianggap benar, tidak sepenuhnya benar. Sebab,
di balik kedua hal itu pasti ada yang mendasarinya.
Ratu menjadi jahat
bukan karena ia ingin menjadi jahat. Kejahatannya disebabkan oleh masa lalunya
yang kelam, menjadi sosok yang dicampakkan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Sementara itu, ada wilayah indeterminasi, ruang-ruang kosong pada bagian-bagian
kecil cerita; jangan-jangan selama ini yang selama ini dianggap baik ternyata
jahat dan yang dianggap jahat ternyata baik. Makna-makna potensial semacam itu
seringkali menjadi “mungkin” sebagaimana dalam cerpen “Perempuan Bisu dan
Cermin Ratu”. Kejelian pembaca/pengarang itulah yang kemudian membuahkan kongkretisasi-kongkretisasi
terhadap makna potensial yang tidak pernah dijelaskan dalam teks.
Kemungkinan
kongkretisasi-kongkretisasi pada wilayah indeterminasi yang lain akan selalu
ada. Di dalam cerita Snow White, mitos kecantikan yang menjadi konflik sentral
barangkali belum digarap oleh para pengarang. Begitu pula dengan simbol cermin
ajaib, tujuh kurcaci, apel beracun, dan lain-lain. Bila elemen-elemen seperti
itu dikonkretisasi ulang, cerita Snow White tidak akan pernah mati. Ia akan
menjadi cerita yang selalu berjalin-kelindan dengan zaman.
Daftar
Bacaan
Alam, Guntur. “Gadis Buruk Rupa dalam Cermin”. Radar Surabaya, 16 September 2012.
Grimm. 2013. Putri
Salju dan Tujuh Kurcaci (Snow White), (Online), (www.ceritakecil.com), diakses 2 November
2013.
Manshur,
Fadlil Munawwar. “Teori Resepsi Menurut Wolfgang Iser” (Power Point).
Paramaditha, Intan. 2005. Sihir Perempuan (cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”). Jakarta:
Kata Kita.
Ramadhany, Dwi Ratih. 2013. “Perempuan Bisu dan
Cermin Ratu” (Manuskrip).
Wikipedia Bahasa Indonesia. 2013. Putih Salju, (Online), (www.wikipedia.org), diakses 2 November
2013.
_________ 2013. Snow
White and the Huntsman, (Online), (www.wikipedia.org),
diakses 3 November 2013.
Wikipedia. 2013. Snow
White, (Online), (www.wikipedia.org),
diakses 2 November 2013.
[1] Penyebutan “Snow White” sengaja
tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena selalu salah kaprah. Di
Indonesia, “Snow White” kerap diterjemahkan menjadi “Putri Salju”, padahal
secara harfiah seharusnya terjemahannya menjadi “Putih Salju”. Terjemahan
“Putri Salju” lebih pas untuk Yuki-Hime, yaitu Snow Princess, sebutan siluman
salju dari Jepang (“Putih Salju”, Wikipedia Bahasa Indonesia).
[2] Semua pendapat Iser dalam
tulisan ini merujuk pada “Teori Resepsi Menurut Wolfgang Iser” (Power Point
yang ditulis oleh Dr. Fadlil Munawwar Manshur).
[3] Plot di dalam tulisan ini
dirangkum dari cerita versi Grimm dan plot yang ditulis dalam “Snow White”
(Wikipedia).
[4] Di dalam cerpen ini Guntur Alam
menyebut “Snow White” dengan nama “Putri Salju” sebagaimana kesalahkaprahan
orang Indonesia menamai tokoh tersebut.
[5] Rupanya Guntur Alam meminjam
nama ibu tiri Snow White dalam film Snow
White and the Huntsman.
[6] Bandingkan bagian ritual tumbal
cerpen ini dengan adegan ritual tumbal Ratu Ravenna dalam film Snow White and the Huntsman. Pada kedua
versi cerita ini, ritual tumbal Ratu Ravenna sangat mirip. Para gadis yang
menjadi tumbalnya, bila tidak mati, wajahnya akan menjadi jelek, berkerut-kerut
seperti nenek-nenek. Meskipun pada bagian akhir cerpen Guntur Alam
mempersembahkan cerpen ini kepada Intan Paramadhita (karena mungkin diinspirasi
oleh cerpen Intan), tetapi penulis berpendapat bahwa cerpen ini lebih banyak
dipengaruhi oleh film Snow White and the
Huntsman karena pengembangan plotnya lebih mirip Snow White and the Huntsman
daripada cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” karya Intan yang merupakan
dekonstruksi dari cerita Cinderella.
[7] Teknik penceritaan seperti ini mirip
dengan kisah rencana penyaliban Isa di dalam Quran sebagai wacana tandingan
terhadap Alkitab. Di dalam Quran, Tuhan menyelamatkan Isa dari kejaran serdadu
Pontius Pilatus dengan cara mengangkatnya ke langit. Setelah itu, Tuhan
mengalih rupa wajah Yudas menjadi seperti Isa sehingga lelaki itulah yang
diduga sebagai Isa sehingga disalib.
[8] Bandingkan bagian ini dengan
film Snow White and the Huntsman.
Asal-usul mengapa Ratu Ravenna menjadi sosok yang jahat adalah karena ia
dicampakkan oleh orang-orang terdekatnya. Dalam film Snow White and the Huntsman, Ravenna dicampakkan oleh suaminya
karena tidak secantik dulu, sedangkan dalam cerpen ini, Ravenna dicampakkan
oleh kedua orang tuanya dan dicemooh oleh penduduk karena memiliki wajah buruk
rupa. Motif pencampakan Ravenna pada kedua versi tersebut sama, yaitu karena
masalah kecantikan.
[9] Sebagaimana cerpen “Gadis Buruk Rupa
dalam Cermin”, cerpen ini juga menyebut “Snow White” dengan nama “Putri Salju”.
[10] Pada bagian akhir cerpen “Perempuan
Bisu dan Cermin Ratu” memang ditulis bahwa cerpen ini dipersembahkan kepada
Guntur Alam dan Intan Paramaditha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar