Selasa, 26 Januari 2016

Kongkretisasi Wilayah Indeterminasi dalam Cerita Snow White




Snow White[1] merupakan dongeng yang berasal dari beberapa tempat di Eropa. Versi yang paling terkenal berasal dari Jerman yang ditulis oleh Grimm bersaudara. Pada versi inilah cerita Snow White mengalami pengembangan, misalnya terdapatnya elemen cermin ajaib dan tujuh kurcaci. Pada perkembangan selanjutnya, para pengarang dan sineas melakukan kongkretisasi ulang terhadap cerita ini sehingga menghasilkan cerita-cerita dengan versi yang berbeda, bahkan cukup radikal.
            Tulisan ini akan membahas kongkretisasi wilayah indeterminasi Wolfgang Iser[2] dalam tiga versi cerita Snow White. Tiga cerita yang dimaksud antara lain: (1) Snow White and the Huntsman (film oleh Rupert Sanders); (2) “Gadis Buruk Rupa dalam Cermin” (cerpen oleh Guntur Alam); (3) “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” (cerpen oleh Dwi Ratih Ramadhany). Penulis memilih tiga versi tersebut sebagai objek bahasan karena dinilai memiliki perubahan signifikan terhadap cerita standarnya (cerita standar yang dimaksud akan dijabarkan pada subbahasan Plot).

Plot[3]
Singkatnya, cerpen ini diawali oleh Ratu yang melahirkan Snow White. Setelah melahirkan gadis cantik itu, Ratu meninggal dunia. Setahun berlalu, sang Raja menikah kembali dengan seorang perempuan yang sangat cantik, tetapi angkuh dan tidak senang apabila ada yang melebihi kecantikannya. Sang Ratu yang baru memiliki sebuah cermin ajaib. Sang Ratu sering berdiri memandang ke dalam cermin dan berkata, "Cermin di dinding, Siapa yang tercantik di antara semua?"
Sang cermin selalu menjawab, "Anda adalah yang tercantik dari semuanya." Sang Ratu merasa puas karena cermin ajaibnya tidak pernah berbohong.
Snow White tumbuh makin lama makin cantik dan saat ia dewasa, kecantikannya jauh melebihi kecantikan sang Ratu sendiri. Suatu hari ketika sang Ratu bertanya kepada cerminnya, cermin menjawab, "Ratu, Anda cantik, tetapi Snow White lebih cantik daripada Anda."
Sang Ratu terkejut dan cemburu. Sejak itu, ia berbalik membenci Snow White. Semakin lama, rasa cemburunya bertambah besar hingga ia tidak memiliki kedamaian lagi. Ia lalu memerintahkan seorang pemburu untuk membinasakan Snow White di hutan.
"Bawalah hatinya kepadaku sebagai bukti.”
Sang pemburu setuju, membawa Snow White ke suatu hutan; akan tetapi saat ia menarik pedangnya, Snow White menangis dan berkata, "Wahai, pemburu, janganlah membunuhku, saya akan pergi dan masuk ke dalam hutan liar dan tidak akan kembali lagi."
Pemburu yang menaruh rasa kasihan membirakannya pergi. Kemudian pemburu menangkap seekor binatang dan mengeluarkan hatinya untuk dibawa kepada Ratu sebagai bukti.
Di hutan, Snow White melihat sebuah rumah kecil. Snow White masuk ke dalam untuk dan ia pun tertidur di situ. Saat malam tiba, pemilik rumah pulang. Mereka adalah tujuh orang kurcaci yang pekerjaannya menggali terowongan bawah tanah di pegunungan. Mereka terkejut ada orang yang telah masuk ke dalam rumah tersebut karena beberapa hal telah berpindah tempat, tidak seperti saat mereka meninggalkan rumah. Mereka melihat Snow White tertidur di sana.
Menjelang pagi, ketika Snow White terbangun dan melihat ketujuh kurcaci, lalu ia menceritakan apa yang terjadi. Ketujuh kurcaci mengizinkannya untuk tinggal di rumah itu. Pada pagi hari para kurcaci ke gunung untuk menggali emas. Setiap Snow White ditinggal sendiri, para kurcaci sering memberi nasihat, "Berhati-hatilah pada ibu tirimu. Dia akan tahu bahwa kamu ada di sini. Jangan biarkan seorang pun masuk ke dalam rumah."
Ratu kembali bertanya kepada cermin dan cermin menjawab, "Ratu, walaupun kecantikanmu hampir tidak ada bandingannya, Snow White yang hidup di sebuah rumah kecil beserta tujuh orang kurcaci, seribu kali lebih cantik." Ratu menjadi terkejut dan berpikir keras untuk menghabisi Snow White.
Dua kali sang Ratu melakukan percobaan pembunuhan terhadap Snow White, tetapi gagal. Snow White berhasil diselamatkan oleh para kurcaci. Untuk ketiga kalinya, Ratu menyamar menjadi seorang istri petani yang menjual apel beracun. Kali ini ia cukup berhasil. Karena memakan apel itu, Snow White jatuh rebah ke tanah. Para kurcaci tidak dapat menyelamatkannya.
Mereka membuat peti kaca sehingga mereka dapat melihat Snow White dari segala sisi. Snow White dibaringkan di peti tersebut. Mereka meletakkan peti itu di atas gunung. Untuk beberapa lama, Snow White terbaring di peti kaca itu dan tidak pernah berubah, terlihat seolah-olah tidur.
Suatu ketika seorang pangeran lewat di hutan. Saat ia melihat peti di puncak gunung beserta Snow White yang cantik di dalamnya, ia menjadi jatuh cinta. Saat sang Pangeran berbicara dengan sungguh hati, para kurcaci menjadi iba dan memberikan sang Pangeran peti yang berisikan Snow White dan sang Pangeran pun memanggil pelayan-pelayannya untuk mengangkat peti tersebut ke istana. Di perjalanan, seorang pelayan terantuk pada semak-semak sehingga peti yang diangkatnya menjadi terguncang Saat itulah apel beracun yang ada pada kerongkongan Snow White keluar. Snow White kembali hidup dan menikah dengan Pangeran.
Tahu Snow White hidup, sang Ratu marah. Kisah ini diakhiri dengan jatuhnya sang Ratu dari atas tebing. Versi lain menceritakan bahwa sang Ratu mati karena Snow White menghukumnya dengan memerintahkannya untuk menari dengan memakai sepatu besi yang sangat panas.

Konsep Kongkretisasi Wilayah Indeterminasi Iser
Menurut Iser, membaca adalah aktivitas yang dipandu oleh teks dan diproses oleh pembaca. Dalam teks sastra selalu terdapat wilayah indeterminasi (Leerstellen) atau tempat kosong yang harus diisi (diinterpretasi) oleh pembaca. Wilayah indeterminasi ini memberi peluang bagi pembaca untuk memaknainya secara kreatif dan menyeluruh, tetapi tidak diperbolehkan untuk melakukan pemaknaan yang semau-maunya.
Ketika sebuah teks dicipta oleh pengarang, ia hanya menawarkan aspek-aspek skematik saja. Akan tetapi, ketika teks itu dikongkretisasi oleh pembaca, ia menjadi teks terbuka. Melalui kongkretisasi, pembaca dapat merekonstruksi sesuatu yang ada dalam teks yang tidak disebutkan oleh pengarang. Dalam hal ini, pembaca akan merasa senang bila dalam sebuah teks sastra terdapat “pandangan skematik” yang merangsang pembaca untuk membangun imajinasinya sehingga ia mempunyai ruang gerak yang leluasa.
Pembaca memiliki strategi (tindak-tindak pemahaman) yang berfungsi mengarahkan perhatian pada teknik kongkretisasi. Oleh karena itu, kewajiban pembacalah mengisi wilayah indeterminasi (tempat kosong) dalam teks sesuai dengan memori dan horison harapan yang dimilikinya.
Efek estetik dalam pembacaan karya sastra mengisyaratkan bahwa sebuah teks sastra tidak hanya dipandang sebagai entitas yang bisa didefinisikan secara tunggal, tetapi ia dapat dimaknai secara dinamis. Tugas utama pembaca adalah mengungkapkan efek dan makna potensial yang masih tersembunyi dalam karya sastra itu. Pembaca tidak boleh terpaku pada satu teks dengan makna tunggal, tetapi harus mencari makna-makna lain (plural) yang potensial yang bisa memberi efek tertentu kepada pembaca.
            Di dalam tulisan ini, sebagai pembaca, para pengarang tiga versi cerita Snow White tidak begitu saja menerima pemaknaan tunggal yang telah mapan. Mereka melakukan kongkretisasi ulang cerita Snow White sehingga menghasilkan pemaknaan baru. Para pengarang mencari makna-makna potensial, wilayah indeterminasi, atau celah-celah yang memungkinkan untuk dilakukannya pembacaan ulang terhadap cerita Snow White. Alhasil, mereka menulis ulang karya tersebut dengan versi yang lebih dinamis.

Kongkretisasi Wilayah Indeterminasi dalam Film Snow White and the Huntsman
Snow White and the Huntsman adalah salah satu contoh versi cerita Snow White yang mengalami konkretisasi ulang. Artinya, sineasnya melakukan pemaknaan ulang terhadap versi standar yang telah ada. Pemaknaan ulang tersebut memanfaatkan wilayah-wilayah potensial yang selama ini belum disentuh oleh pembaca-pembaca lain. Dengan cara mengembangkan cerita dari wilayah indeterminasi itulah Snow White and the Huntsman menjadi berbeda.
            Secara keseluruhan, Snow White and the Huntsman mengubah plot di dalam cerita Snow White yang standar. Ia dibuat menjadi lebih “natural” meskipun masih ada elemen cermin ajaib, sihir, dan makhluk fantasi. Hal ini bisa dilihat dari adegan, misalnya siapa yang pada menjadi kekasih Snow White, ketidakhadiran karakter pangeran yang menyelamatkan hidup sang putri, dan konflik yang mengakhiri cerita.
            Salah satu hal yang membuat cerita ini menjadi lebih dinamis adalah pemberontakan Snow White terhadap tahta ibu tirinya. Sikap subversif yang melibatkan kelompok kiri mungkin lebih sesuai dengan konteks saat ini daripada pemujaan terhadap kepasifan Snow White yang menunggu diselamatkan oleh pangeran idaman. Pemberian karakter yang lebih maskulin terhadap tokoh Snow White membuat cerita ini membongkar sifat-sifat lemah lembut yang selama ini dilekatkan pada tokoh seorang putri. Itu artinya, sineas film tersebut telah mengongkretkan karakter Snow White sesuai dengan etos emansipatoris kekinian sebagaimana kondisi perempuan sekarang yang tidak hanya eksis di wilayah domestik.
             Namun, yang paling penting dari itu semua adalah sebab-musabab mengapa Ratu Ravenna (ibu tiri Snow White) menjadi jahat. Barangkali inilah yang jarang disentuh oleh para pengarang, sineas, kartunis, atau pembaca pada umumnya. Pada cerita standar, ibu tiri Snow White digambarkan “ada” begitu saja. Ia tiba-tiba muncul dengan karekter yang memang sudah ditakdirkan untuk menjadi jahat tanpa dipertanyakan mengapa ia menjadi jahat. Oleh karena itulah, bagi sineas Snow White and the Huntsman, bagian inilah yang berpotensi menjadi cerita baru dengan melakukan pengembangan terhadapnya.
            Dalam film ini, Ratu Ravenna membunuh ayah Snow White (Raja Magnus) ketika malam pertama perkawinan mereka. Namun, film ini tidak berhenti begitu saja; tidak membiarkan Ratu Ravenna jatuh sebagai sosok perempuan yang haus kekuasaan. Pada bagian itulah film ini memutar adegan masa lalu Ravenna yang kelam; bahwa sebelumnya ia pernah menjadi istri seorang raja. Seiring dengan berlalunya waktu, raja tersebut tidak tertarik lagi kepada Ravenna, lalu mencampakkannya begitu saja. Hal inilah yang menjadi sebab Ratu Ravenna menjadi antagonis. Dengan demikian, penonton tidak dibiarkan pula memandang kejahatan tokoh tersebut sebagai hitam-putih, tetapi ada motif di balik itu semua, yaitu dendam. Hal ini sekaligus menjadi menjadi tanda bahwa di dalam film ini, perempuan tidak hanya menjadi objek yang pasif, tetapi menjadi subjek yang berkehendak.
            Pada bagian inilah sineas film Snow White and the Huntsman mengisi wilayah indeterminasi. Kongkretisasi ulang dan pembacaan yang kritis terhadap cerita standar membuahkan cerita baru yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan. Alhasil, film ini menempatkan karakter manusia lebih manusiawi daripada sekadar memasukkan unsur tokoh yang telah dideterminankan tanpa sabab-musabab yang jelas.

Kongkretisasi Wilayah Indeterminasi
dalam Cerpen “Gadis Buruk Rupa  dalam Cermin”
Bila dilihat dari plotnya, perubahan cerita Snow White[4] dalam cerpen “Gadis Buruk Rupa dalam Cermin” lebih signifikan daripada dalam film Snow White and the Huntsman. Di dalam cerpen tersebut, cermin ajaib tidak hanya dimiliki oleh Ratu Ravenna[5], tetapi juga dimiliki gadis-gadis desa. Gadis-gadis desa juga melakukan ritual membedaki wajahnya dengan pupur abu mayat dan gincu darah perawan supaya cantik seperti ritual tumbal Ratu Ravenna[6].
            Cerpen ini juga mendistorsi bagian-bagian cerita Snow White yang standar. Hal ini bisa dilihat, misalnya, tujuh kurcaci yang pada cerita standarnya adalah sekelompok orang yang baik hati, tetapi dalam cerpen ini merupakan setan-setan yang bersekutu dengan Ratu Ravenna untuk mencelakai Snow White dengan beralih rupa menjadi tujuh kurcaci. Pada akhir cerita Ratu Ravenna beralih rupa menjadi Snow White, tidur di dalam peti kaca, dan menunggu seorang pangeran datang untuk menciumnya serta menjadikannya istri.[7] Tentu saja versi seperti ini merupakan pembelokan terhadap cerita standarnya.
            Namun, mengenai wilayah indeterminasi yang dikonkretisasi kembali terdapat pada bagian masa lalu Ratu Ravenna. Sama dengan film Snow White and the Huntsman, cerpen ini menampilkan masa lalu Ratu Ravenna yang kelam. Jika di dalam film Snow White and the Huntsman masa lalu Ratu Ravenna hanya diceritakan secara sekilas, di dalam cerpen ini kehidupan masa lalu Ratu Ravenna justru hampir memenuhi sekujur teks cerpen sehingga pengarangnya seolah-olah ingin memberi tahu pembaca betapa kelamnya masa lalu sang ratu dan karena alasan itulah ia menjadi sosok yang ganas.
            Di dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa Ravenna adalah anak dari pasangan masyarakat sipil. Secara fisik, ia digambarkan sebagai gadis buruk rupa yang kerap dicemooh oleh orang-orang. Pada akhirnya, orang tuanya yang malu dan tidak menghendakinya membuangnya ke hutan sarang setan. Di hutan itulah Ravenna diangkat menjadi ratu oleh setan-setan. Kemudian ia melakukan persekutuan dengan setan-setan. Para setan menjadikannya sebagai perempuan cantik di dunia. Sebagai tumbalnya, pada malam bulan purnama Ravenna harus mempersembahkan darah gadis dan bujang desa kepada mereka. 
            Sebagaimana film Snow White and the Huntsman, cerpen ini tidak ingin menampilkan sosok Ratu Ravenna sebagai tokoh yang ditakdirkan untuk menjadi jahat. Ada motif mengapa ia kemudian menjadi jahat. Keburukrupaan wajahnya adalah pemicu utama mengapa ia kemudian menjadi dendam.[8] Pada ritual tumbal, Ravenna menghabisi perawan dan bujang yang dahulu suka mencemoohnya. Di dalam cerpen ini, apa yang dilakukan oleh Ratu Ravenna—yakni membunuh para perawan dan bujang desa—akhirnya menjadi permisif, seolah-olah ada hubungan kausalitas di balik tindakan tersebut.

Kongkretisasi Wilayah Indeterminasi
dalam Cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu”
Dibandingkan dengan kedua versi cerita Snow White yang telah disinggung sebelumnya, cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” adalah versi yang paling radikal. Cerpen ini menggunakan teknik dekonstruksi dalam memosisikan karakter-karakter di dalam cerita Snow White. Di dalam cerpen ini, terjadi pembalikan karakter protagonis dan antagonis. Ratu memiliki karakter protagonis (baik dan cantik), sedangkan Snow White[9] memiliki karakter antagonis (penyihir jahat, dengki, dan tidak secantik Ratu).
Snow White mengambil cermin ajaib Ratu. Tiap kali ia bertanya kepada cermin, siapa perempuan tercantik, cermin menjawab bahwa perempuan tercantik adalah Ratu. Snow White kerap menyiksa Ratu karena kedengkiannya terhadap kecantikan Ratu. Pada akhirnya, karena tidak tahan terhadap siksaan Snow White, Ratu melarikan diri ke hutan dan mengiris kedua bibir serta kedua pergelangan tangan-kakinya dengan pecahan cermin ajaibnya supaya Snow White tidak lagi cemburu pada kecantikannya.
            Pada beberapa bagian, cerpen ini terinspirasi dari cerpen “Gadis Buruk Rupa dalam Cermin” karya Guntur Alam; pada bagian lain, cerpen ini juga terinspirasi dari cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” karya Intan Paramaditha.[10] Tampaknya, cerpen ini lebih dominan dipengaruhi oleh cerpen Intan. Di dalam cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”, tokoh Cindelarat—yang merupakan parodi karakter Cinderella—digambarkan sebagai tokoh jahat yang suka menyiksa ibu tiri dan saudara-saudara tirinya. Begitu juga dalam cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu”, Snow White digambarkan suka menyiksa ibu tirinya. Akhir cerita pun dibuat mirip. Baik ibu tiri Cindelarat maupun ibu tiri Snow White melukai bagian tubuhnya sendiri karena tidak tahan didera siksa.
            Meskipun Ratih menganggap cerpennya terinspirasi dari Guntur dan Intan, tetapi pada kenyataannya, cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” tidak lepas dari pengaruh film Snow White and the Huntsman. Selain masalah ritual tumbal kecantikan, sebagaimana film Snow White and the Huntsman, cerpen ini juga menggambarkan bagaimana gadis-gadis desa memperburuk diri agar tidak menjadi korban tumbal. Di dalam film Snow White and the Huntsman, gadis-gadis desa melukai wajahnya agar menjadi jelek sehingga tidak dijadikan tumbal kecantikan Ratu Ravenna. Sementara itu, di dalam cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu”, gadis-gadis desa mandi di Sungai Sembilu yang penuh tahi (simbol tempat yang kotor) agar tidak dijadikan tumbal kecantikan Snow White.
            Bagi Ratih, seluruh unsur di dalam cerita Snow White adalah wilayah indeterminasi. Oleh karena itulah ia mendekonstruksi cerita tersebut. Ia tidak hanya mencari bagian-bagian potensial untuk dimaknai ulang, tetapi mengonkretisasi ulang seluruh bagian cerita Snow White.
           
Penutup
Dari ketiga versi cerita Snow White yang telah dibahas, penulis menyimpulkan bahwa kongkretisasi pada wilayah indeterminasi dilakukan dengan menafsirkan ulang oposisi biner berhierarki. Kongkretisasi tersebut pada akhirnya tidak menggambarkan sesuatu di dalam wilayah hitam-putih saja, tetapi ia memberikan ruang pada daerah abu-abu. Dengan demikian, apa yang selama ini dianggap salah, ternyata tidak sepenuhnya salah. Begitu juga sebaliknya, apa yang selama ini dianggap benar, tidak sepenuhnya benar. Sebab, di balik kedua hal itu pasti ada yang mendasarinya.
Ratu menjadi jahat bukan karena ia ingin menjadi jahat. Kejahatannya disebabkan oleh masa lalunya yang kelam, menjadi sosok yang dicampakkan oleh orang-orang di sekelilingnya. Sementara itu, ada wilayah indeterminasi, ruang-ruang kosong pada bagian-bagian kecil cerita; jangan-jangan selama ini yang selama ini dianggap baik ternyata jahat dan yang dianggap jahat ternyata baik. Makna-makna potensial semacam itu seringkali menjadi “mungkin” sebagaimana dalam cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu”. Kejelian pembaca/pengarang itulah yang kemudian membuahkan kongkretisasi-kongkretisasi terhadap makna potensial yang tidak pernah dijelaskan dalam teks.
Kemungkinan kongkretisasi-kongkretisasi pada wilayah indeterminasi yang lain akan selalu ada. Di dalam cerita Snow White, mitos kecantikan yang menjadi konflik sentral barangkali belum digarap oleh para pengarang. Begitu pula dengan simbol cermin ajaib, tujuh kurcaci, apel beracun, dan lain-lain. Bila elemen-elemen seperti itu dikonkretisasi ulang, cerita Snow White tidak akan pernah mati. Ia akan menjadi cerita yang selalu berjalin-kelindan dengan zaman.

Daftar Bacaan
Alam, Guntur. “Gadis Buruk Rupa dalam Cermin”. Radar Surabaya, 16 September 2012.
Grimm. 2013. Putri Salju dan Tujuh Kurcaci (Snow White), (Online), (www.ceritakecil.com), diakses 2 November 2013.
Manshur, Fadlil Munawwar. “Teori Resepsi Menurut Wolfgang Iser” (Power Point).
Paramaditha, Intan. 2005. Sihir Perempuan (cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”). Jakarta: Kata Kita.
Ramadhany, Dwi Ratih. 2013. “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” (Manuskrip).
Wikipedia Bahasa Indonesia. 2013. Putih Salju, (Online), (www.wikipedia.org), diakses 2 November 2013.
_________ 2013. Snow White and the Huntsman, (Online), (www.wikipedia.org), diakses 3 November 2013.
Wikipedia. 2013. Snow White, (Online), (www.wikipedia.org), diakses 2 November 2013.


[1] Penyebutan “Snow White” sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena selalu salah kaprah. Di Indonesia, “Snow White” kerap diterjemahkan menjadi “Putri Salju”, padahal secara harfiah seharusnya terjemahannya menjadi “Putih Salju”. Terjemahan “Putri Salju” lebih pas untuk Yuki-Hime, yaitu Snow Princess, sebutan siluman salju dari Jepang (“Putih Salju”, Wikipedia Bahasa Indonesia). 
[2] Semua pendapat Iser dalam tulisan ini merujuk pada “Teori Resepsi Menurut Wolfgang Iser” (Power Point yang ditulis oleh Dr. Fadlil Munawwar Manshur).
[3] Plot di dalam tulisan ini dirangkum dari cerita versi Grimm dan plot yang ditulis dalam “Snow White” (Wikipedia).
[4] Di dalam cerpen ini Guntur Alam menyebut “Snow White” dengan nama “Putri Salju” sebagaimana kesalahkaprahan orang Indonesia menamai tokoh tersebut.
[5] Rupanya Guntur Alam meminjam nama ibu tiri Snow White dalam film Snow White and the Huntsman.
[6] Bandingkan bagian ritual tumbal cerpen ini dengan adegan ritual tumbal Ratu Ravenna dalam film Snow White and the Huntsman. Pada kedua versi cerita ini, ritual tumbal Ratu Ravenna sangat mirip. Para gadis yang menjadi tumbalnya, bila tidak mati, wajahnya akan menjadi jelek, berkerut-kerut seperti nenek-nenek. Meskipun pada bagian akhir cerpen Guntur Alam mempersembahkan cerpen ini kepada Intan Paramadhita (karena mungkin diinspirasi oleh cerpen Intan), tetapi penulis berpendapat bahwa cerpen ini lebih banyak dipengaruhi oleh film Snow White and the Huntsman karena pengembangan plotnya lebih mirip Snow White and the Huntsman daripada cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” karya Intan yang merupakan dekonstruksi dari cerita Cinderella.
[7] Teknik penceritaan seperti ini mirip dengan kisah rencana penyaliban Isa di dalam Quran sebagai wacana tandingan terhadap Alkitab. Di dalam Quran, Tuhan menyelamatkan Isa dari kejaran serdadu Pontius Pilatus dengan cara mengangkatnya ke langit. Setelah itu, Tuhan mengalih rupa wajah Yudas menjadi seperti Isa sehingga lelaki itulah yang diduga sebagai Isa sehingga disalib.
[8] Bandingkan bagian ini dengan film Snow White and the Huntsman. Asal-usul mengapa Ratu Ravenna menjadi sosok yang jahat adalah karena ia dicampakkan oleh orang-orang terdekatnya. Dalam film Snow White and the Huntsman, Ravenna dicampakkan oleh suaminya karena tidak secantik dulu, sedangkan dalam cerpen ini, Ravenna dicampakkan oleh kedua orang tuanya dan dicemooh oleh penduduk karena memiliki wajah buruk rupa. Motif pencampakan Ravenna pada kedua versi tersebut sama, yaitu karena masalah kecantikan.
[9] Sebagaimana cerpen “Gadis Buruk Rupa dalam Cermin”, cerpen ini juga menyebut “Snow White” dengan nama “Putri Salju”.
[10] Pada bagian akhir cerpen “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” memang ditulis bahwa cerpen ini dipersembahkan kepada Guntur Alam dan Intan Paramaditha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar