Di latar bercahaya temaram, seorang
perempuan mengeluh kepada suaminya tentang uang belanja yang tak pernah cukup
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kekesalan tersebut diekspresikan dengan berang
oleh si istri sambil mewanti-wanti suaminya agar bekerja lebih keras lagi. Si
suami hanya berkata bahwa ia bukan tak ingin bekerja teras, tetapi ia sedang
bergairah mempertahankan tradisi via berkesenian. Maka secara implisit, si
suami berkesimpulan bahwa mempertahankan seni tradisi tak kalah penting daripada
mencari nafkah. Begitulah kira-kira adegan yang muncul secara repetitif dalam lakon
Kembang Madura yang dipentaskan
teater Akura Universitas Madura (03/01/16).
Lalu
kita bertanya-tanya, seperti apakah tradisi Madura? Benarkah bahwa bekerja
keras hanyalah aktivitas banal jika dibandingkan dengan berkesenian? Sebagai
penonton, saya meresepsi lakon tersebut dengan pandangan yang bertolak
belakang.
Filsafat
Hidup Orang Madura
Kurangnya pengetahuan tentang
pilar-pilar penting tradisi Madura membuat pegarap teater tersebut mereduksi
etos kerja ke level yang lebih rendah. Bagi masyarakat Madura, etos kerja justru
adalah salah satu dari holy trinity
filsafat hidup mereka. Dua lainnya yaitu keimanan kepada Tuhan YME dan merawat nilai
kemanusiaan.
Trinitas
suci filsafat hidup masyarakat Madura tersebut saling terkait. Mempertahankan
hidup dengan bekerja keras sejatinya merupakan pengenjawantahan dari keimanan,
sebab mencari nafkah adalah perintah Tuhan. Sintas adalah cara menjaga predikat
manusia yang diamanatkan Tuhan sebagai khalifah.
Oleh karena itu, agar tetap survive,
anasir urgen lainnya yaitu menjaga kemanusiaan. Menjaga kemanusiaan tidak
sebatas persoalan fisik (nyawa), tetapi juga merawat harkat, prestise, dan
marwah individu/kelompok. Merendahkan harga diri seseorang seringkali diganjar
dengan pelenyapan nyawa. Sanksi tersebut menunjukkan betapa berharganya sebuah
kehormatan sebagaimana ungkapan masyarakat Madura, “lebih baik putih tulang
ketimbang putih mata” (lebih baik mati daripada hidup berkalang malu).
Etos
kerja dimiliki orang Madura bukan karena mereka gemar menumpuk harta, melainkan
untuk bertahan hidup. Kondisi geografis yang ganas mengharuskan masyarakat
Madura mencari berbagai siasat guna menyambung nyawa. Situasi alam dan ekonomi
yang kurang menguntungkan itulah yang menyebabkan diaspora besar-besaran masyarakat
Madura. Jika orang Jawa punya jargon “makan nggak makan yang penting kumpul”,
orang Madura sebaliknya, “kumpul nggak kumpul yang penting makan”.
Dalam
bahasa Madura, semangat kerja keras diungkapakan dengan beragam kosakata,
peribahasa, dan lagu-lagu. “Berbantal ombak berselimut angin” merupakan
peribahasa populer Masyarakat Madura yang menggambarkan kegigihan dan
ketangguhan menghadapi hidup yang demikian buas. Narasi kerja keras inilah yang
kemudian mengendap di dalam kesadaran masyarakat Madura, lalu didokumentasikan
sebagai salah satu risalah kebajikan, filsafat, dan praktik hidup yang harus
ditradisikan kepada setiap generasi.
Imajinasi
Orientalisme
Kredo seni tradisi yang dianut
masyarakat Madura bukanlah seni untuk seni. Ia lebih dekat pada estetika
marxisme. Seni tradisi tersebut tak lain dampak dari potret sejarah dan situasi
material masyarakat Madura. Dalam konteks etos kerja, seni tradisi Madura adalah
suprastruktur yang bergenealogi pada kondisi ekonomi masyarakatnya. Di sini,
entitas materi memengaruhi entitas kesadaran. Maka akan menjadi ganjil jika
seni tradisi (entitas kesadaran) ditempatkan pada posisi yang lebih superior
daripada aktivitas ekonomi (entitas materi) sebagaimana isu yang diekspos oleh
teater Akura.
Sebagai masyarakat pragmatis, kebutuhan estetis
bukan kebutuhan primer orang Madura. Oleh karena itu tidak heran jika tidak
banyak orang Madura yang menjadikan berkesenian sebagai mata pencaharian
(utama). Berkesenian hanyalah aktivitas sekunder yang kerap dilakukan sebagai
pelipur lara saat waktu luang; pemanis ritual adat dan keagamaan. Namun itu tak
berarti bahwa masyarakat Madura tidak sensitif terhadap “seni agung” dan hanya
menghasilkan karya-karya medioker. Justru karena lahir dari rahim situasi
sosial-ekonomi itulah seni tradisi Madura berbunyi sangat lantang. Sublimasi
seni tradisi Madura merupakan hasil interpretasi dari aktivitas vital tersebut.
Helen Bouvier (1994) mencatat bahwa kegiatan kesenian Madura bersandar pada
irama kehidupan, melampaui batas keseharian, batas beban atau pun gairah hidup
dengan menggali kekuatan dan jati dirinya.
Romantisme
Akura terhadap seni tradisi Madura hanya menjadikan wacana yang diangkat teater
tersebut terasa majal dan kopong.
Etos kerja (mencari nafkah) yang ironis dan dimarjinalkan telah mendistorsi
kegiatan ekonomi dari kedudukannya sebagai filsafat hidup orang Madura. Akhirya,
kegiatan berkesenian seolah-olah tidak kohesif dengan prinsip hidup yang
diyakini masyarakat Madura, padahal etos kerja adalah entitas yang inheren
dalam seni tradisi tersebut.
Menyaksikan
lakon Kembang Madura bagaikan
menyimak retorika orientalisme yang kenes.
Kepanikan orientalisme ala teater Akura mengingatkan kita pada obsesi UNESCO yang
rutin mencatat artefak kebudayaan “kanon” karena dianggap harta karun dunia. Lakon
tersebut seperti ingin memenuhi imajinasi orientalisme tentang eksotisme Timur
dan memberi jawaban tentang perasaan atas kehilangan Timur yang molek. Disintegrasi
seni tradisi dengan praktik hidup inilah yang membuat ornamen-ornamen dalam
lakon Kembang Madura terasa tawar:
tari-tarian yang nirmakna dan fragmen Panembahan Ranggasukawati yang disisipkan
ke dalam salah satu babak, tetapi tidak koheren dengan struktur cerita.
Radar Madura, 24 Januari 2016
Ulasan yang sangat menarik. "Berbantal ombak berselimut badai." Hidup memang begitu. Maturnuwun pencerahannya mas.
BalasHapus