Senin, 01 Februari 2016

Nukleus Agama




Tentu saja ini bukan pemikiran orisinal dan saya bukan ahli agama. Saya hanya menyampaikan kembali (dengan bahasa yang sederhana) buku-buku yang telah saya baca. Di sini saya menjadi penyambung lidah para pakar agama yang tulisan-tulisannya sudah saya baca.
            Beberapa hari yang lalu, di tempat saya tinggal, diselenggarakan selamatan desa. Setiap kali diselenggarakan, ritus adat tersebut menuai proaktif dan kontraproduktif. Polemik tersebut tidak hanya zahir di masyarakat, tetapi berlanjut di media sosial (bahkan ketika acara tersebut telah usai). Bagi mereka yang kontraproduktif, acara tersebut dipandang syirik (menyekutukan Tuhan).
            Perdebatan tersebut bagi saya adalah miniatur dari seluruh lanskap kesadaran orang-orang di negeri ini yang terobsesi kepada agama. Orang-orang tergila-gila kepada akidah, syariah, dan moralitas abstrak. Orang-orang bertengkar tentang halal-haram, bid’ah, syirik, dan semacamnya. Lalu kita menjadi budak agama, budak teks. Kita lupa bahwa agama turun untuk melayani kita, bukan sebaliknya. Maka kalimat “Ayo kita bela agama” menjadi absurd, sebab semestinya agamalah yang membela manusia—konkretnya, mereka yang lemah. Untuk menghapus amnesia akut tersebut, kita perlu menelusuri kembali sejarah munculnya agama-agama. Dengan meneropong janin primordial agama, kita akan tahu persoalan apa yang melatari kelahiran sebuah agama.
Munculnya agama Yahudi (atau Ibrani—yang artinya “imigran”) pada abad ke-13, misalnya, adalah respons terhadap perbudakan Firaun atas orang-orang Israel selama empat ratus tahun. Tuhan mengutus Musa (dan Harun) untuk membebaskan bani Israel dari penindasan tersebut. Ketika pertama berjumpa dengan Tuhan, Musa bertanya, “Kamu siapa?” Jawaban Tuhan: “Aku adalah Aku.” Secara implisit, Tuhan menolak didefinisikan ke dalam sebuah nama, sebab selama itu, manusia telah merumuskan Tuhan. Dan karena itulah Tuhan menjadi sempit, kerdil, tidak mahabesar. Komando pertama Tuhan kepada Musa untuk membebaskan Israel dari perbudakan (bukan mengajarkan “siapa Tuhan”) juga menunjukkan bahwa persoalan kemanusiaan jauh lebih urgen ketimbang perkara teologi (bahkan syariat Yahudi yang maujud dalam dua tablet batu Sepuluh Perintah Tuhan turun setelah mereka eksodus menuju Kana’an). Menarik diperhatikan film Exodus: Gods and Kings, hasil interpretasi sutradara Ridley Scott atas kisah Musa. Dalam film tersebut, Tuhan berkata kepada Musa, “Aku butuh seorang jenderal.” Tuhan tidak butuh seorang rabi, seorang pendeta, seorang kiai. Hal itu menunjukkan bahwa misi utama kelahiran Yahudi adalah memerdekan Israel.
Kedatangan ajaran kristianitas tidak jauh berbeda dengan Yahudi. Isa Almasih (Yesus yang diurapi) adalah seorang nabi yang dipandang subversif. Tidak heran jika pada akhir riwayat hidupnya ia diburu oleh legiun Romawi—karena hasutan para rabi Yahudi. Pada saat Isa diutus, Yerusalem sedang digenggam dua rezim. Pertama, rezim penjajah Romawi. Kedua, rezim para otoritas Yahudi yang terobsesi pada hukum Taurat. Isa hadir untuk membebasakan anak-anak Israel dari belenggu itu. Isa—yang merupakan seorang ahli Taurat—ingin mengembalikan ajaran Yahweh ke dalam sebuah prinsip sederhana: Kasih.
Lalu saat Jazirah Hijaz dilanda oleh ideologi kapitalisme yang menyeramkan, Muhammad didelegasikan untuk memperbaiki situasi sosial dan moral di sana.  Pada saat itu, martabat kesukuan yang dilandasi oleh nilai-nilai komunal diruntuhkan oleh egosentrisme individu. Kepentingan puak tidak lagi menjadi prioritas. Orang-orang berlomba-lomba menumpuk kekayaan pribadi. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Etos sosialis Arab yang terhormat roboh dihadapan akumulasi kapital yang begitu spektakuler. Ajaran yang diusung Muhammad amat praktis. Ketika ditanya apa itu Islam, Muhammad menjawab, Islam adalah perbuatan. Muhammad mengajarkan bahwa Islam adalah ketika kamu memberi makan mereka yang lapar dan menebarkan kedamaian.
Merenungkan corak keberagamaan yang dijalankan orang-orang saat ini, kita seperti terlempar jauh dari inti agama. Kita sering bertengkar masalah baju dan membuang jantung paling penting. Kita terlalu ribet dengan urusan syariah dan akidah yang justru dirumuskan jauh setelah nabi-nabi pembawanya telah meninggal. Pembajakan terhadap agama telah membuatnya diam di tempat, lantas kita seperti diseret untuk mengimani penafsiran yang telah usang.  
Di tengah zaman yang kerap disesaki oleh konflik masalah agama, kita perlu menggali kembali visi agama yang kita anut. Dan semua agama memiliki substansi yang sama. Nukleus agama itu bernama Welas Asih (compassion).  Jika agama yang kita anut mengajarkan kekerasan, ketidakacuhan, penindasan terhadap minoritas liyan, kita pantas meninggalkannya, sebab ia telah menjadi agama yang karat. Ia bukan agama rahmat bagi seluruh alam.
Dokumentasi sejarah tentang kelahiran agama memaksa kita mengoreksi kembali cara kita menghayati ajaran agama yang kita anut, alih-alih menyerang kelompok lain. Setiap kali kita ingin mengerdilkan kelompok lain atas nama agama, buru-buru kita berkaca di hadapan Kaidah Emas agama. Di sanalah akan kita temukan wajah Kasih.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar