Tentu saja ini bukan pemikiran orisinal
dan saya bukan ahli agama. Saya hanya menyampaikan kembali (dengan bahasa yang
sederhana) buku-buku yang telah saya baca. Di sini saya menjadi penyambung
lidah para pakar agama yang tulisan-tulisannya sudah saya baca.
Beberapa
hari yang lalu, di tempat saya tinggal, diselenggarakan selamatan desa. Setiap
kali diselenggarakan, ritus adat tersebut menuai proaktif dan kontraproduktif.
Polemik tersebut tidak hanya zahir di masyarakat, tetapi berlanjut di media
sosial (bahkan ketika acara tersebut telah usai). Bagi mereka yang
kontraproduktif, acara tersebut dipandang syirik
(menyekutukan Tuhan).
Perdebatan
tersebut bagi saya adalah miniatur dari seluruh lanskap kesadaran orang-orang
di negeri ini yang terobsesi kepada agama. Orang-orang tergila-gila kepada
akidah, syariah, dan moralitas abstrak. Orang-orang bertengkar tentang
halal-haram, bid’ah, syirik, dan semacamnya. Lalu kita menjadi budak agama,
budak teks. Kita lupa bahwa agama turun untuk melayani kita, bukan sebaliknya.
Maka kalimat “Ayo kita bela agama” menjadi absurd, sebab semestinya agamalah
yang membela manusia—konkretnya, mereka yang lemah. Untuk menghapus amnesia
akut tersebut, kita perlu menelusuri kembali sejarah munculnya agama-agama.
Dengan meneropong janin primordial agama, kita akan tahu persoalan apa yang melatari
kelahiran sebuah agama.
Munculnya agama Yahudi
(atau Ibrani—yang artinya “imigran”) pada abad ke-13, misalnya, adalah respons
terhadap perbudakan Firaun atas orang-orang Israel selama empat ratus tahun.
Tuhan mengutus Musa (dan Harun) untuk membebaskan bani Israel dari penindasan
tersebut. Ketika pertama berjumpa dengan Tuhan, Musa bertanya, “Kamu siapa?”
Jawaban Tuhan: “Aku adalah Aku.” Secara implisit, Tuhan menolak didefinisikan
ke dalam sebuah nama, sebab selama itu, manusia telah merumuskan Tuhan. Dan
karena itulah Tuhan menjadi sempit, kerdil, tidak mahabesar. Komando pertama
Tuhan kepada Musa untuk membebaskan Israel dari perbudakan (bukan mengajarkan “siapa
Tuhan”) juga menunjukkan bahwa persoalan kemanusiaan jauh lebih urgen ketimbang
perkara teologi (bahkan syariat Yahudi yang maujud dalam dua tablet batu Sepuluh Perintah Tuhan turun setelah
mereka eksodus menuju Kana’an). Menarik diperhatikan film Exodus: Gods and Kings, hasil interpretasi sutradara Ridley Scott
atas kisah Musa. Dalam film tersebut, Tuhan berkata kepada Musa, “Aku butuh
seorang jenderal.” Tuhan tidak butuh seorang rabi, seorang pendeta, seorang
kiai. Hal itu menunjukkan bahwa misi utama kelahiran Yahudi adalah memerdekan
Israel.
Kedatangan ajaran
kristianitas tidak jauh berbeda dengan Yahudi. Isa Almasih (Yesus yang diurapi)
adalah seorang nabi yang dipandang subversif. Tidak heran jika pada akhir
riwayat hidupnya ia diburu oleh legiun Romawi—karena hasutan para rabi Yahudi.
Pada saat Isa diutus, Yerusalem sedang digenggam dua rezim. Pertama, rezim penjajah
Romawi. Kedua, rezim para otoritas Yahudi yang terobsesi pada hukum Taurat. Isa
hadir untuk membebasakan anak-anak Israel dari belenggu itu. Isa—yang merupakan
seorang ahli Taurat—ingin mengembalikan ajaran Yahweh ke dalam sebuah prinsip
sederhana: Kasih.
Lalu saat Jazirah Hijaz
dilanda oleh ideologi kapitalisme yang menyeramkan, Muhammad didelegasikan
untuk memperbaiki situasi sosial dan moral di sana. Pada saat itu, martabat kesukuan yang
dilandasi oleh nilai-nilai komunal diruntuhkan oleh egosentrisme individu.
Kepentingan puak tidak lagi menjadi prioritas. Orang-orang berlomba-lomba
menumpuk kekayaan pribadi. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Etos
sosialis Arab yang terhormat roboh dihadapan akumulasi kapital yang begitu
spektakuler. Ajaran yang diusung Muhammad amat praktis. Ketika ditanya apa itu
Islam, Muhammad menjawab, Islam adalah perbuatan. Muhammad mengajarkan bahwa
Islam adalah ketika kamu memberi makan mereka yang lapar dan menebarkan
kedamaian.
Merenungkan corak
keberagamaan yang dijalankan orang-orang saat ini, kita seperti terlempar jauh
dari inti agama. Kita sering bertengkar masalah baju dan membuang jantung
paling penting. Kita terlalu ribet dengan urusan syariah dan akidah yang justru
dirumuskan jauh setelah nabi-nabi pembawanya telah meninggal. Pembajakan
terhadap agama telah membuatnya diam di tempat, lantas kita seperti diseret
untuk mengimani penafsiran yang telah usang.
Di tengah zaman yang
kerap disesaki oleh konflik masalah agama, kita perlu menggali kembali visi
agama yang kita anut. Dan semua agama memiliki substansi yang sama.
Nukleus agama itu bernama Welas Asih (compassion).
Jika agama yang kita anut mengajarkan
kekerasan, ketidakacuhan, penindasan terhadap minoritas liyan, kita pantas
meninggalkannya, sebab ia telah menjadi agama yang karat. Ia bukan agama rahmat
bagi seluruh alam.
Dokumentasi sejarah
tentang kelahiran agama memaksa kita mengoreksi kembali cara kita menghayati
ajaran agama yang kita anut, alih-alih menyerang kelompok lain. Setiap kali
kita ingin mengerdilkan kelompok lain atas nama agama, buru-buru kita berkaca
di hadapan Kaidah Emas agama. Di sanalah akan kita temukan wajah Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar