Kalau bukan karena nihilnya koherensi
antara ritus masyarakat Arab jahiliyah dengan kehidupan mereka, barangkali
Muhammad takkan pernah dinobatkan sebagai rasul. Sebab ajaran Muhammad
mula-mula datang sebagai jawaban atas kegelisahan runtuhnya nilai-nilai sosialis
masyarakat Arab (muruwah adalah jantung
nomenklatur tribalisme Arab kuno yang begitu egalitarian). Kearifan lokal
tersebut digantikan oleh kapitalisme yang menyeramkan; yang tak lagi acuh
terhadap orang-orang lemah.
Keberhasilan
ekonomi telah membawa suku Quraisy kepada superioritas dan klaim pusat jagat
raya. Dampaknya, tak ada sikap tanggung jawab sosial dan kultural. Sikap
takabur mengalihkan mereka dari rasa syukur atas rahmat Tuhan. Dari inilah
Muhammad tampil untuk menghidupkan kembali etika Arab kuno yang selama dua
generasi terakhir dikubur dalam-dalam oleh pemberhalaan uang. Hanifiyah—sebuah
sekte yang ingin mengembalikan kemurnian ajaran Ibrahim pada saat itu—tampaknya
tidak berhasil mengatasi krisis tersebut.
Misi
utama dan pertama Muhammad sebenarnya tidak terlalu teologis. Sebab nama
“Allah” telah dikenal oleh masyarakat Arab jahiliyah sebagai dewa tertinggi dan
dipercaya pula sebagai tuhan yang diaku oleh dua kolega bisnis mereka, Yahudi
Persia dan Kristen Bizantium. Di sinilah ideologi tauhid dikenalkan. Tujuannya
untuk mengubah dampak ritual relijius mereka yang selama ini tidak berimplikasi
pada kehidupan nyata.
Tauhid
tidak sekadar monoteisme; tidak sekadar sifat tuhan yang numerikal—bahkan
teologi spekulatif (zhannah) seperti
itu dilarang Quran. Tauhid lebih luas daripada itu. Efeknya mengembalikan
orientasi relijius, yakni mengintegrasikan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa dengan kehidupan sosial. Dengan demikian, tangan Tuhan menjadi
imanen—sebagaimana yang telah dilakukan-Nya kepada bangsa Israel dari
perbudakan di Mesir.
Salat
adalah salah satu metafora teologi tauhid. Ritual tersebut menyadarkan seorang
muslim bahwa ia bukanlah pusat jagat raya; ia hanya setitik debu yang berserak.
Gerakan sujud mengingatkan manusia bahwa ia bergantung kepada Tuhan.
Orang-orang Quraisy jahiliyah terkejut melihat muslim perdana bersujud
menyentuh tanah seperti budak; sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh
seorang Quraisy terhormat dan disegani. Perasaan bergantung kepada Tuhan akan
menghilangkan egoistik, meluruhkan kesombongan, dan menumbuhkan sikap saling
menolong antarsesama.
Bagi
seorang muslim, alam semesta adalah altar suci: hamparan alam raya adalah
manifestasi dari napas Tuhan yang universal. Ke mana pun menghadap, di situlah
wajah Tuhan tampak. Tetapi Quran memberi tahu bahwa tanda-tanda (ayat) tersebut hanya disadari oleh
orang-orang yang berpikir. Sementara itu, masyarakat Arab jahiliyah tidak
memiliki kesadaran transendental semacam itu. Mereka memang percaya bahwa dunia
diciptakan oleh Allah, tetapi hal itu tidak berpengaruh apa pun terhadap
kehidupan mereka. Oleh karena itu mereka disebut sebagai orang yang kufur ni’mah; orang-orang yang menutupi
diri dari karunia Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar