Kamis, 07 Januari 2016

Tauhid



Kalau bukan karena nihilnya koherensi antara ritus masyarakat Arab jahiliyah dengan kehidupan mereka, barangkali Muhammad takkan pernah dinobatkan sebagai rasul. Sebab ajaran Muhammad mula-mula datang sebagai jawaban atas kegelisahan runtuhnya nilai-nilai sosialis masyarakat Arab (muruwah adalah jantung nomenklatur tribalisme Arab kuno yang begitu egalitarian). Kearifan lokal tersebut digantikan oleh kapitalisme yang menyeramkan; yang tak lagi acuh terhadap orang-orang lemah.
            Keberhasilan ekonomi telah membawa suku Quraisy kepada superioritas dan klaim pusat jagat raya. Dampaknya, tak ada sikap tanggung jawab sosial dan kultural. Sikap takabur mengalihkan mereka dari rasa syukur atas rahmat Tuhan. Dari inilah Muhammad tampil untuk menghidupkan kembali etika Arab kuno yang selama dua generasi terakhir dikubur dalam-dalam oleh pemberhalaan uang. Hanifiyah—sebuah sekte yang ingin mengembalikan kemurnian ajaran Ibrahim pada saat itu—tampaknya tidak berhasil mengatasi krisis tersebut.
            Misi utama dan pertama Muhammad sebenarnya tidak terlalu teologis. Sebab nama “Allah” telah dikenal oleh masyarakat Arab jahiliyah sebagai dewa tertinggi dan dipercaya pula sebagai tuhan yang diaku oleh dua kolega bisnis mereka, Yahudi Persia dan Kristen Bizantium. Di sinilah ideologi tauhid dikenalkan. Tujuannya untuk mengubah dampak ritual relijius mereka yang selama ini tidak berimplikasi pada kehidupan nyata.
            Tauhid tidak sekadar monoteisme; tidak sekadar sifat tuhan yang numerikal—bahkan teologi spekulatif (zhannah) seperti itu dilarang Quran. Tauhid lebih luas daripada itu. Efeknya mengembalikan orientasi relijius, yakni mengintegrasikan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kehidupan sosial. Dengan demikian, tangan Tuhan menjadi imanen—sebagaimana yang telah dilakukan-Nya kepada bangsa Israel dari perbudakan di Mesir.
            Salat adalah salah satu metafora teologi tauhid. Ritual tersebut menyadarkan seorang muslim bahwa ia bukanlah pusat jagat raya; ia hanya setitik debu yang berserak. Gerakan sujud mengingatkan manusia bahwa ia bergantung kepada Tuhan. Orang-orang Quraisy jahiliyah terkejut melihat muslim perdana bersujud menyentuh tanah seperti budak; sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang Quraisy terhormat dan disegani. Perasaan bergantung kepada Tuhan akan menghilangkan egoistik, meluruhkan kesombongan, dan menumbuhkan sikap saling menolong antarsesama.
            Bagi seorang muslim, alam semesta adalah altar suci: hamparan alam raya adalah manifestasi dari napas Tuhan yang universal. Ke mana pun menghadap, di situlah wajah Tuhan tampak. Tetapi Quran memberi tahu bahwa tanda-tanda (ayat) tersebut hanya disadari oleh orang-orang yang berpikir. Sementara itu, masyarakat Arab jahiliyah tidak memiliki kesadaran transendental semacam itu. Mereka memang percaya bahwa dunia diciptakan oleh Allah, tetapi hal itu tidak berpengaruh apa pun terhadap kehidupan mereka. Oleh karena itu mereka disebut sebagai orang yang kufur ni’mah; orang-orang yang menutupi diri dari karunia Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar