Periode terakhir
Arab kuno pra-Islam dikenal sebagai masa Jahiliyah. Jahiliyah yang
secara harfiah berarti “kebodohan” sama sekali tidak memiliki makna bahwa
masyarakat Arab kala itu tidak memiliki peradaban atau kemampuan intelektual
yang memadai. Sebab masyarakat Arab saat itu memiliki kebudayaan literasi yang
sangat tinggi.
Yang
dimaksud jahiliyah dalam konteks tersebut adalah terdegradisinya sikap
moral yang merujuk pada tradisi luhur etnik yang menjunjung tinggi nilai
komunal. Norma tak tertulis tersebut mengharuskan setiap anggota suku untuk
memerhatikan anggota yang lemah. Itu berarti kepentingan suku diletakkan di atas
kepentingan individu. Hal ini tercermin dari salah satu ideologi etnik bernama muruwah.
Seorang pakar agama semitik, Karen Armstrong mengartikan muruwah tidak
hanya sebagai “kejantanan” sebagaimana yang disinyalir oleh sarjana-sarjana
Barat. Ia memaknai muruwah lebih luas sebagai keberanian dalam
peperangan, kesabaran dan ketabahan dalam penderitaan, serta kesetiaan mutlak
kepada suku.
Sang
pemimpin suku (sayyid) membagi kekayaan yang dimilikinya secara merata
dan adil kepada anggota suku. Gaya kepemimpinan yang bercorak sosialis ini
memang telah memberi keuntungan kepada semua anggota suku yang memiliki hidup
nomadik, rentan kelaparan, dan pertikaian antarsuku yang acapkali menggiring
mereka pada kebrutulan tak berkesudahan (lingkaran setan) akibat hukum rimba
“nyawa dibalas nyawa”.
Bencana
muncul ketika mereka mengalami sebuah kemajuan yang spektakuler. Gaya hidup
kapitalisme yang diserap dari dua peradaban besar (imperium Persia Sassanian
dan Byzantium) yang mengepung mereka telah mencerabut nilai-nilai adiluhung
etnik. Alhasil, yang kaya tak lagi peduli pada yang miskin dan yang kuat juga
tak peduli pada yang lemah.
Karuntuhan
moral masyakarat Arab telah membuat seorang pemuda bernama Muhammad mengalami
pukulan yang tak tertanggungkan. Ia adalah seorang anggota klan miskin, Bani
Hasyim yang terkena dampak dari kejamnya kapitalisme. Sebagaimana tradisi
masyarakat Jaziran Arab pada umumnya, setiap bulan Ramadan Muhammad kerap
bermeditasi di Gua Hira untuk berdoa kepada Tuhan, refleksi diri, memikirkan solusi
atas kerusakan akhlak masyarakatnya, dan membagi-bagikan sedekah kepada kaum
fakir miskin. Ia tak pernah tahu bahwa dari situlah ia akan mengalami sebuah
keajaiban yang menakjubkan.
Bermula
pada sebuah malam ketujuh belas bulan Ramadan. Muhammad sama sekali tak menduga
bahwa malam itu akan mengubah takdirnya dan takdir semua manusia di dunia.
Barangkali benar apa yang dikatakan Ben Okri, semua agama besar dimulai sebagai
serangkaian impian. Muhammad memang memiliki kesadaran bahwa yang bisa mengubah
kondisi terpuruk masyarakatnya adalah seorang messiah, tetapi tak
terbersit sedikit pun pikiran bahwa dirinyalah yang akan ditunjuk Tuhan sebagai
seorang nabi.
Yang
ia alami saat itu adalah didekap sesosok malaikat yang memberinya sebuah
perintah singkat, “Bacalah!” Sebagaimana nabi-nabi Israel pada umumnya yang
merasa berat lidah mengucapkan firman, ia menjawab, “Aku bukanlah seorang
pembaca.” Tetapi, pemaksaan yang dilakukan Jibril sang malaikat akhirnya
membuat Muhammad lancar mengucapkan kalimat-kalimat yang bukan berasal dari
dirinya. Sebuah wahyu telah diucapkan untuk pertama kalinya dalam bahasa Arab
yang kelak disebut quran (bacaan).
Kala
itu Muhammad merasa bahwa ia telah menjadi seorang kahin, dukun yang
kerap mengalami akstasi dan mengeluarkan syair-syair abstrak yang tak dapat
dijangkau maknanya. Ia tak bisa membayangkan, betapa tak terhormatnya bila
banyak orang meminta pendapatnya atas ternak mereka yang hilang. Kemampuan
seorang kahin diduga berasal dari jin-jin penghuni padang pasir yang
tengah menguasai tubuh dan bawah sadar.
Keraguan
itulah yang membuat Jibril meyakinkan Muhammad bahwa dirinya memang telah
menerima firman Tuhan dengan cara menampakkan diri sebagai sosok manusia di
segala penjuru ufuk sebagaimana yang termaktub dalam Sirah Ibnu Ishaq.
Secara naluriah, Muhammad terpekur di haribaan istrinya seraya bertanya dalam
keadaan menggigil, apakah ia telah menjadi majnun. Khadijah sang istri
meyakinkan suaminya bahwa Muhammad tak mungkin menjadi seorang majnun,
sebab ia adalah orang yang memiliki cinta kasih kepada sesama.
Dari
kondisi genting itulah Khadijah membawa Muhammad kepada sepupunya yang beragama
Kristen dan sedang mempelajari Alkitab, Waraqah bin Naufal untuk berkonsultasi.
Waraqah tak ragu bahwa Muhammad telah menerima wahyu dari Tuhan Ibrahim, Musa,
Isa dan menjadikannya nabi bangsa Arab.
Pada
masa-masa proses kreatif, Muhammad menerima firman Tuhan dalam berbagai
kondisi. Kadangkala Jibri menampakkan sosoknya seperti manusia, tetapi yang
paling berat adalah ketika firman itu muncul seperti gemerincing bunyi lonceng.
Ia merasa jiwanya akan tercerabut dari raganya. Ia mesti mesti hati-hati
menerjemahkan sesuatu yang tak kohern dan berada di luar dirinya yang kemudian
menjadi bagian dari dirinya. Ketekunan (yang oleh Wordsworth disebut “kepasifan
yang bijaksana”) itulah yang membuat firman (misterius) yang diterima Muhammad
menjadi terungkap.
Selama
proses pewahyuan, ayat-ayat (bagian terkecil dari Quran) hanya ditulis di atas
batu, pelepah, tulang binatang, dan perkamen. Kompilasi resmi Quran baru
tersusun pada zaman Khalifah Ustman atas kekuatirannya terhadap Quran yang
muncul dalam berbagai varian bahasa.
Bagi
beberapa sarjana Barat, Quran dinilai sebagai kitab suci yang aneh karena
susunannya acak dan bertele-tele. Kenyataan, Quran memang kitab yang unik.
Sebab ia tak memiliki kepentingan untuk menjadi sebuah “buku ilmiah” yang harus
runtut. Ayat-ayat Quran bersifat kontemporer, turun untuk menjawab situasi
penting yang kala itu sedang terjadi.
Bahasa
Quran yang tak lugas (metaforik) dan “di luar jangkauan manusia” dinilai
sebagai genre puisi baru dalam kusastraan Arab kuno. Tak sedikit orang pada
saat itu yang rela masuk Islam lantaran tergila-gila pada estetika bahasa
Quran. Di sini dapat dilihat bahwa Quran telah merasuk pada relung hati manusia
bukan sebagai “firman”, tetapi sebagai “efek seni”. Tak ada yang mengira bahwa
Muhammad sang empunya Quran telah menjadi seorang maestro yang menaklukkan para
penyair Arab kenamaan, sebut saja Umar bin Khattab yang dinilai memiliki otoritas
tinggi sebagai “presiden penyair” Arab pada saat itu. Oleh karena itu tak heran
bila Quran tidak hanya dibaca untuk menggali timbunan makna yang
terkandung di dalamnya, ia juga dibaca
dengan suara yang nyaring, liris, dan ritmik.
Salah
satu proyek raksasa yang diusung Muhammad adalah kesetaraan gender. Islam
datang untuk meruntuhkan nilai misoginis yang telah mengakar kuat dalam
ideologi dan tradisi Arab Jahiliyah. Islam datang untuk membawa kabar gembira
kepada para perempuan. Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam masalah
publik dan mendapat akses seluas-luasnya untuk menerima ilmu pengetahuan.
Orang-orang Arab tidak perlu lagi bersedih bila istri mereka melahirkan anak
perempuan. Dalam konteks ini, Muhammad bisa dikatakan sebagai feminis tanpa
jargon. Ia tak memiliki misi pribadi yang harus dipaksakan. Segala apa yang
diusungnya murni tak terduga, semua berasal dari Tuhan yang Maha Esa.
Sayangnya
pada beberapa generasi setelah Muhammad wafat, kaum laki-laki mengadopsi adat
Persia dan Byzantium, menjatuhkan derajat perempuan ke jurang harga diri yang
rendah. Tak ada lagi ruang terbuka bagi perempuan untuk beraktualisasi. Mereka
hanya bisa berangan-angan di dalam harem yang terisolasi. Oleh karena
itulah, para feminis muslim saat ini berjuang mengembalikan etos emansipatorik
yang pernah diusung Muhammad dulu.
Yang
paling berat dialami Muhammad adalah ketika ia menerima wahyu yang menegasikan
dewa-dewa sesembahan masyakarat Arab. Secara umum, masyarakat Arab kuno memuja
tiga dewa yang disebut sebagai banat Allah, antara lain: Latta (Dewi),
Uzza (Yang Perkasa), dan Manat (Sang Penentu). Ketiganya adalah dewa perantara
dan simbol perwujudan yang lebih rendah dari eksistensi tertinggi.
Hal
ini menjadi pukulan mematikan bagi masyakarat Arab saat itu sehingga pengikut
Muhammad menjadi berkurang. Mereka tak mungkin meninggalkan dewa-dewa yang
telah dipuja sejak nenek moyang. Munculnya ayat radikal tersebut
mengindikasikan bahwa Muhammad tak memberikan peluang tawar-menawar dalam
kepercayaan teologis.
Barangkali
inilah awal kemunculan ideologi tauhid dalam Islam. Secara hakikat, tauhid
mengharuskan segala aktivitas manusia terintegrasi pada satu tujuan yang
transenden. Poros yang fokus pada satu tujuan inilah yang telah menentang
kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah: menyembah dewa-dewa yang tak memiliki
koneksi apa pun pada kehidupan sehari-hari. Tuhan, dalam ideologi tauhid
tidak hanya bermakna matematis, tetapi juga bermakna kiblat dalam
menjalankan hidup yang serba banyak godaan.
Konsekuensi
dari ideologi tauhid tidak hanya membuat masyarakat Arab menjadi berang,
tetapi mereka juga memboikot transaksi ekonomi dengan kaum muslim. Kesulitan
ekonomi kaum muslimlah yang membuat Muhammad harus cepat bertindak. Kabar bahwa
masyarakat Yastrib (Madinah) ingin menerima ideologi baru yang diusung Muhammad
menjadi angin segar bagi kaum muslim Mekah. Tanpa ragu lagi, Muhammad dan
sekitar tujuh puluh orang muslim Mekah bermigrasi ke Yastrib. Gebrakan yang
dilakukan Muhammad dinilai melecehkan tradisi Arab: melakukan gerakan
sparatisme suku.
Tetapi
Muhammad memang orang yang jenius. Sebelum wafat, ia telah berhasil menyatukan
hampir seluruh suku di kawasan Jazirah Arab. Ia membentuk sebuah mega-suku yang
dikenal dengan istilah ummat. Berpijak dari landasan tauhid yang
terkesan transenden, misi imanen ummat adalah menyebarkan ajaran
keadilan, egalitarian, dan persatuan. Itulah visi universal dari lahirnya
Islam, dari lahirnya Muhammad Sang Nabi.
Komunikasi, Tahun 35 Nomor 284 Januari-Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar