Menyelidiki narasi Alkitab yang diangkat
dalam sebuah puisi akan menghasilkan temuan: apakah puisi itu merupakan hasil
pembacaan ulang terhadap teks suci tersebut atau tidak; apakah puisi itu
menjadi narasi baru yang berbeda dengan narasi yang ditampakkan teks suci atau
tidak. Maka sebuah puisi bisa dikatakan produktif bila ia menampilkan wajah
baru dari teks yang ditransformasikannya. Wajah baru tersebut ditulis dalam
bahasa khas karya literer: langgam puitis.
Karen
Armstrong (2007) berkata bahwa Alkitab memiliki makna yang melampui apa yang
tertulis di dalamnya. Ia tidak memiliki makna tunggal. Para penulis/editor
Alkitab dengan bebas merevisi teks-teks yang mereka warisi dan memaknainya
secara berbeda. Para ekseget kemudian hari mentransformasikan teks-teks Alkitab
sesuai dengan pandangan-pandangan dunia mereka sendiri dan mengaktualkannya
dengan konteks zaman mereka. Mereka tidak tertarik untuk mencari makna
primordial teks. Mereka menganggap bahwa teks Alkitab menjadi suci justru
karena maknanya dapat memancar dalam konteks apa pun, dalam ruang-waktu yang
berbeda dengan ketika teks itu ditulis pertama kali. Dengan demikian, wahyu
tidak berhenti turun. Ia masih tetap berkelanjutan, menjelma dengan wajah baru
sebagaimana pembacaan dan keinginan setiap generasi.
Di
Indonesia, Mario F. Lawi dikenal sebagai penyair muda yang menciptakan
puisi-puisinya dari bahan baku narasi Alkitab. Mario membaca ulang
narasi-narasi Alkitab, lalu mentransformasikannya dalam bahasa lain, yaitu
puisi. Dengan memerhatikan pendapat Armstrong, puisi-puisi alkitabiah Mario
bisa saja diletakkan pada salah satu titik dalam konstelasi khazanah eksegesi
Alkitab. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa karya sastra dapat menjadi medium
eksegesi Alkitab.
Ekstensi
dan Kristalisasi Narasi Alkitab
Dalam puisi-puisi Mario, fragmen baru
narasi Alkitab diciptakan dari dua hal. Pertama, fragmen tersebut diciptakan
dari narasi yang dipaparkan oleh ayat-ayat Alkitab. Kedua, fragmen tersebut tidak
ada rujukannya dalam ayat-ayat Alkitab. Ekstensi-ekstensi tersebut menciptakan
efek dramatis pada sebuah peristiwa dan efek emosional pada perasaan
karakter-karakter yang bermain di dalamnya. Alhasil, narasi kering yang
dikisahkan dalam Alkitab menjadi lebih hidup dalam puisi-puisi Mario.
Fragmen
baru paling radikal muncul pada puisi “Ararat” dalam frase metaforis “hutan
yang memanjang di belakang ayah Kanaan yang belia”. Secara implisit puisi
tersebut berkata bahwa Ham menuntun pasangan-pasangan hewan yang berarak dari
hutan menuju bahtera. Sementara dalam Alkitab, tak ada satu pun fragmen yang
menunjukkan bahwa putra kedua Nuh tersebut menjadi pemandu satwa-satwa yang
diselamatkan. Meminjam istilah Jauss (1983), penyair mengembangkan puisi dengan
memanfaatkan wilayah-wilayah indeterminan yang tidak dijelaskan oleh teks
Alkitab.
Selain menciptakan
fragmen-fragmen baru melalui ekstensi-ekstensi wilayah indeterminan, puisi
Mario juga memampatkan narasi Alkitab. Alhasil, narasi panjang-lebar yang
diceritakan dalam satu kitab mengkristal dalam sebuah puisi. “Rafael” yang
hanya terdiri atas 13 kata adalah contoh puisi yang berhasil mengekstraksi
narasi kitab Tobit yang terdiri atas 248 ayat. Untuk meringkas kitab Tobit, Mario
telah menemukan inti apa yang dibicarakan salah satu kitab Deuterokanonika
tersebut, yaitu kisah penyelamatan Tobit dan Sara oleh Tobia dengan petunjuk
malaikat Rafael.
Tuhan
yang Lunak
Dalam puisi-puisinya, Mario melakukan
reinterpretasi tabiat Tuhan dalam Alkitab. Tabiat tersebut kemudian muncul
dengan wajah lunak. Tabiat Tuhan yang berbeda tersebut memengaruhi peristiwa
dalam narasi. Hal inilah yang membuat narasi Perjanjian Baru dalam puisi-puisi Mario
menjadi kontradiktif dengan narasi Perjanjian Baru dalam Alkitab.
Puisi
“Ararat” menyebut Tuhan dengan nama “sang Pembaptis”, pun orang-orang yang
ditenggelamkan dalam air bah disebut “orang-orang yang dibaptis”. Bila
orang-orang yang ditenggelamkan dalam air bah pada puisi “Ararat” disebut
sebagai “orang-orang yang dibaptis dan Tuhan disebut sebagai “sang Pembaptis”,
itu berarti peristiwa mahadahsyat tersebut adalah upacara pertobatan dan Tuhan
telah mengampuni orang-orang yang ditenggelamkan.
Tuhan yang lembut juga
muncul dalam puisi “Samuel”. Berbeda dengan peristiwa pewahyuan pertama Tuhan
kepada nabi-nabi Israel yang cenderung intrusif, memaksa, dan
menyakitkan—sebagaimana yang terjadi kepada Musa, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel,
dsb.—peristiwa pewahyuan pertama Tuhan kepada Samuel dalam puisi ini bernada
mistikal. Dalam puisi ini, imaji tactile
seperti “kecup” kerap dipakai kaum mistikus untuk menggambarkan perjumpaan
Tuhan dengan hamba (unio mystica).
Begitu pula dengan imaji “anggur yang memabukkan” sering dipakai untuk menunjukkan
ekstase mistik.
Firman
yang Terus Bergema
Puisi-puisi alkitabiah Mario menunjukkan
bahwa otoritas penafsiran telah cair. Aktivitas eksegesi tak lagi menjadi
domain cendekiawan Geraja. Penyair, sebagai “sipil” komunitas orang beriman
berandil dalam aktivitas eksegesi—tentunya dengan cara khas sastra. Jika para
“ekseget resmi” menggunakan seperangkat metode untuk menjalankan aktivitas
eksegesi, refleksi atas teks mungkin lebih banyak menyita porsi penyair dalam
menjalankan aktivitas penafsiran, sebab sastra kerap berhubungan dengan
permenungan, intuisi, meski tentu saja, logika harus tetap dimainkan.
Apakah
kemudian puisi-puisi alkitabiah penyair menjadi teks heretik? Bagi penulis,
justru dengan melibatkan kalangan noncendekiawan, khazanah resepsi kitab suci
akan semakin kaya. Sebagai pemilik langgam bahasa yang lain, penyair dapat
menciptakan versi Alkitab dengan artikulasinya sendiri. Jika teks Alkitab itu
sendiri memang memiliki gaya bahasa yang cukup nyastra, puisi-puisi Mario akan meningkatkan derajat kesastraannya.
Ia menjadi karya seni yang di dalamnya menyimpan misi profetik—atau kalau boleh
hiperbola, puisi-puisi tersebut adekuat disebut sastra transenden, sebab bahan
bakunya adalah narasi kitab suci. Dengan demikian, pembaruan (tafsir) teks
Alkitab tidak hanya menggelinding di arena otoritas, tetapi juga bergulir di
wilayah anggota biasa komunitas orang beriman. Kontekstualisasi
Alkitab adalah tradisi yang terus dijalankan oleh cendekiawan Gereja selama
berabad-abad. Pembacaan ulang teks Alkitab oleh Mario adalah salah satu cara
memancarkan makna kitab suci. Dengan segala keahlian, gudang pengetahuan, dan
refleksi-intuisi yang dimilikinya, Mario telah meramu teks Alkitab sesuai
dengan konteks di mana ia hidup. Terlepas dari pertanyaan apakah puisi-puisi
tersebut mampu menjadi sebuah “pedoman alternatif” bagi umat manusia,
setidaknya Mario telah menunjukkan intensitasnya mentransformasikan Alkitab ke
dalam dialek yang lain. Bukankah tak ada yang lebih indah daripada bahasa
puisi?
Masterpoem, edisi IV, Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar