Jumat, 29 Januari 2016

Menyoal Iman Sekecil Zarah




Yang paling zahir dalam cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” karya Asef Saeful Anwar adalah persoalan iman. Sejumlah fragmen—yang diwujudkan subbagian—dalam cerpen ini merujuk pada isu iman. Fragmen “Kehamilan dalam Pertunangan”, misalnya, menguji iman seseorang untuk percaya bahwa apabila Tuhan berkehandak, maka terjadilah[1] meski fenomena tersebut sukar—atau bahkan tak bisa—dinalar oleh pikiran manusia[2]. Fragmen “Perumpamaan Manusia Diciptakan” juga menunjukkan nada serupa. Sementara itu, fragmen “Berguru pada Binatang” menunjukkan bahwa ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda yang terhampar di alam) semestinya menjadi sumber iman bagi mereka yang berpikir.
            Jika dibaca sepintas, fragmen-fragmen dalam cerpen ini tampak tidak kohesif, berserak,  sebagaimana ketika kita membaca kitab suci. Namun, sesungguhnya ada seutas benang merah yang menghubungkan fragmen-fragmen tersebut, yakni iman. Meski ada beberapa fragmen (misal “Kematian Demi Keteladanan” dan “Ketentuan Selibat”) seolah-olah tidak menggunjingkan masalah iman (tersebab kedua fragmen tersebut membincang ibrah dan syariat), bagian tersebut tetap tidak bisa dihindari, sebab cerpen ini adalah hasil transformasi dari sebuah narasi dalam kitab suci. Tak dapat dipungkiri bahwa sebuah narasi kitab suci tidak hanya berbicara masalah iman, tetapi persoalan-persoalan penting lainnya. Lalu apakah persoalan-persoalan tersebut tidak berkorelasi dengan iman? Jawabannya tentu saja berkorelasi. Syariat, misalnya, adalah laku seseorang untuk menandakan bahwa dia orang yang beriman. Oleh karena itu, koda cerpen ini berbunyi, “121Jika datang waktunya, berpegangteguhlah kamu (Tatimmah) pada imanmu sebab tak ada kekuatan manusia yang lebih besar selain keimanannya”; yang menunjukkan bahwa seluruh bagian dalam cerpen ini dibangun dalam konteks iman.

Kisah Maria dalam Injil, Quran, dan Wahyu Tatimmah
Cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” adalah transformasi dari narasi Maria dalam kitab suci. Cerpen ini berusaha mendialogkan kisah Maria dalam Injil dan Quran. Alhasil, kisah Maria dalam cerpen ini menjadi baru. Sejumlah fragmen yang ditampilkan cerpen ini tidak ada rujukannya, baik dalam Injil maupun Quran.
            Cerpen ini dihidupkan oleh tiga karakter, yakni Sef (Yosef), Maria, dan bayi (Isa/Yesus). Maria dan Yesus adalah karakter-karakter yang terdapat dalam Injil dan Quran, tetapi Yosef si tukang kayu hanya terdapat dalam Injil. Yosef adalah tunangan Maria yang pada akhirnya menjadi suami Maria. Dalam Injil diketahui bahwa ia adalah keturunan Abraham—dan Adam—dalam pohon silsilah yang amat panjang[3]. Dalam cerpen ini, fragmen-fragmen yang melibatkan Yosef tidak merujuk pada Injil, misalnya percakapan antara Yosef dengan orang-orang Israel, Maria, dan sang bayi, pun fragmen terbakarnya Yosef.
            Perhatikan kutipan berikut.
8Ingatlah ketika tukang kayu itu menemui tunangannya yang telah hamil di rumahnya. 9(Calon) istrinya itu berkata: “Benar. Aku telah hamil. Alangkah baiknya kita batalkan pertunangan. Bilakah telah lahir, ia anakku, bukan anakmu.” 10Ia lelaki berdada karang lalu dipandanginya kekasihnya dengan likat dan disenyuminya perempuan yang telah tiga bulan meninggalkannya. 11Berkatalah Sef, “Duh perempuan berhati rembulan, aku telah tahu. Aku jauh telah tahu. Untuk itulah aku meminangmu sebelum kamu hamil. Sejahtera dan bahagialah orang-orang yang telah mendengar kehamilanmu.”

Dalam kutipan tersebut, lantaran begitu cintanya kepada Maria, Yosef tetap ingin menikahinya. Ia tidak peduli gunjingan orang tentang Maria dan ia juga mengabaikan kenyataan bahwa Maria telah hamil di luar ikatan perkawinan. Dalam Injil, yang terjadi adalah sebaliknya. Karena tahu bahwa Maria hamil, Yusuf berencana membatalkan ikatannya dengan perempuan itu hingga malaikat Tuhan menampakkan diri kepadanya melalui mimpi.
Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya diam-diam. Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus….” Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya….[4]

Segala laku Yosef dalam cerpen ini digerakkan oleh motif cinta kepada kekasihnya. Bahkan, mukjizat paling musykil pun—yang ditunjukkan dalam interaksi antara Yosef dengan sang bayi—tidak mampu mengalihkan rasa percayanya yang begitu besar kepada Maria. Kepercayaan yang begitu dalam itu hadir karena cinta.
            Sebagian besar narasi Maria dalam cerpen ini ditransformasikan dari teks Quran. Fragmen-fragmen yang ditransformasikan dari teks Quran antara lain, pergunjingan orang-orang atas kehamilan Maria[5]; proses kelahiran Yesus di bawah pohon[6]; mukjizat Yesus yang dapat berbicara ketika masih dalam buaian[7]; mukjizat Yesus yang membikin burung dari tanah[8].
            Meski demikian, fragmen-fragmen dari teks Quran itu tidak disalin mentah-mentah. Fragmen-fragmen tersebut telah dimodifikasi sehingga narasi Maria dalam wahyu Tatimmah tampil dengan wajah yang berbeda (meski tak sepenuhnya berbeda). Proses kelahiran bayi Yesus, misalnya, dalam Quran digambarkan terjadi di bawah pohon kurma. Namun, dalam cerpen ini, fragmen tersebut mengalami pelokalan dengan mengubah latar kelahiran tersebut di bawah pohon pisang (tanaman tropis). Begitu juga fragmen Yesus yang membuat burung dari tanah. Dalam Quran, Yesus mengandalkan mukjizat tersebut ketika ia berusia dewasa dan peristiwa itu terjadi dalam konteks polemik sang rasul dengan lawan-lawannya. Sementara itu, dalam cerpen ini, Yesus membuat burung dari tanah ketika ia masih kanak-kanak dan peristiwa tersebut terjadi dalam konteks tamsil tentang ihwal kejadian manusia.            Kombinasi kedua teks kitab suci dalam cerpen tersebut ditambah dengan pemodifikasian konteks cerita telah menghasilkan semacam varian kisah Maria. Bila Injil dan Quran merupakan korpus kanon yang merekam riwayat Maria, maka cerpen ini bisa menjadi versi kisah Maria yang literer. Wahyu kesebelas yang diturunkan kepada Tatimmah telah mencatat kisah Maria dalam langgam kenusantaraan (ditunjukkan dengan artefak pohon pisang dan caping).

Narasi-Narasi Tradisi Islam
Selain kisah Maria, cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” juga memuat narasi-narasi tradisi Islam. Hadirnya narasi-narasi tersebut berfungsi sebagai pendukung cerita. Melalui narasi-narasi tersebut, mungkin cerpenis lebih mudah menyampaikan maksudnya. Narasi-narasi tersebut paling sering disebutkan dalam fragmen “Berguru pada Binatang”. Dalam fragmen “Berguru pada Binatang”, sebagian besar narasi tidak menjadi subcerita dalam cerpen. Narasi-narasi tersebut hanya disinggung dalam satuan kalimat dan merupakan bagian dari fragmen yang lebih besar.
            Fragmen “Berguru pada Binatang” dihadirkan dengan maksud bahwa manusia (laki-laki) selama ini mendapatkan pelajaran hidup dari binatang. Kutipan-kutipan kisah tersebut diambil dari parabel-parabel islami, baik yang dicatat oleh Quran maupun yang termaktub dalam khazanah kitab tafsir dan tradisi sufisme. Cerita besar fragmen “Berguru pada Binatang”, yaitu tentang tulang-tulang yang bangkit kembali menjadi seekor kambing yang hidup dan utuh terinspirasi dari bangkitnya tulang belulang keledai Uzair setelah mati seratus tahun yang lalu. ““… dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), dia pun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.””[9]
            Lelaki yang mengubur saudaranya setelah melihat gagak menggali dan memasukkan jasad sesamanya ke tanah” yang disinggung dalam cerpen tersebut merujuk kepada anak sulung Adam yang tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap jenazah saudara laki-laki yang telah dibunuhnya.
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya dia menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.[10]
           
“Lelaki yang ditegur semut karena tak berperilaku santun” merujuk kepada kisah Sulayman yang mendengar percakapan semut.
Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulayman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu….[11]
           
“Lelaki yang diajari bertaubat oleh seekor paus” merujuk kepada kisah ditelannya Yunus oleh seekor paus setelah diceburkan ke lautan.
Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.[12]
           
“Lelaki yang mengikuti ikan berenang untuk belajar bersabar” merujuk kepada kisah Musa dan Yusak bin Nun sebelum berjumpa dengan Khidir.
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” Muridnya menjawab, “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat di sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.[13]
           
“Lelaki yang disuapi remah-remah roti oleh seekor burung untuk tetap hidup” bersumber dari kisah Malik bin Dinar yang ketika melintasi gurun pasir untuk menunaikan haji ke Mekah, ia bertemu seorang laki-laki di gua yang seluruh tubuhnya terikat. Laki-laki tersebut ternyata juga sedang menuju Mekah, tetapi dalam perjalanan, hartanya dirampas oleh penyamun, sedangkan dirinya diikat. Setelah lima hari kelaparan, Tuhan mengutus seekor gagak untuk memberinya makan (roti) dan minum.[14]
            Dalam fragmen “Kematian Demi Keteladanan”, diceritakan bahwa orang-orang yang marah lantaran sebagian yang lain menuhankan anak lelaki Maria, membakar rumah Maria. Kebakaran tersebut menyebabkan Yosef mati. Namun, Tuhan menyelamatkan Maria dengan “menjadikan api itu air yang membasahi tubuh Maria.” Dari manakah sumber inspirasi fragmen tersebut? Yang jelas bukan dari kisah Maria itu sendiri, baik kisah Maria dalam Injil maupun Quran. Peristiwa tersebut tidak pernah dialami oleh Maria, tetapi fragmen tersebut meminjam peristiwa pembakaran Ibrahim oleh Namrud dalam Quran. Ketika Ibrahim dibakar, Tuhan berfirman, “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim….”[15]  
            Dalam fragmen “Ketentuan Selibat” disinggung, “110Bukankah Kami pernah saling menukar anak-anak Manusia Pertama agar sampai kepada kaummu? 111Dan Kami terima persembahan yang tak dimuati nafsu telanjang binatang. 112Nafsu yang menyebabkan pembunuhan pertama.” Bagian tersebut mencampuradukkan narasi kisah pembunuhan pertama umat manusia dalam Quran dengan narasi dalam kitab tafsir.
Para mufasir seperti Tabari, Zamarkhasyari, Razi, dan Baidlawi mencatat motif pembunuhan Habil. Adam menghendaki Qabil kawin dengan saudara kembar Habil (bernama Labuda), dan sebaliknya, Habil kawin dengan saudara kembar Qabil (Iklima). Namun, Qabil menolak karena menganggap saudara kembarnya lebih cantik. Motif ini terdapat dalam literatur Midras (Yahudi) dan Suryani (Kristen).[16]
111Dan Kami terima persembahan yang tak dimuati nafsu telanjang binatang. 112Nafsu yang menyebabkan pembunuhan pertama” merujuk kepada ayat-ayat yang menceritakan korban yang dipersembahkan anak-anak Adam kepada Tuhan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak sulung Adam kepada saudara laki-lakinya.
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil)…. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”[17]

Doktrin Tandingan
Polemik antara Ulil Abshar Abdalla dengan Pendeta Ioanes Rakhmat tentang Penyaliban Yesus dalam Quran menyimpulkan bahwa kitab suci Islam tersebut sedang menciptakan teologi tandingan. Dengan merevisi kisah Penyaliban Yesus dalam Injil, Quran hendak menolak doktrin soteriologi salib via dolorosa. Oleh karena itu, Quran mencatat bahwa Yesus tidak wafat di tiang salib.[18]
            Tidak berbeda jauh dengan polemik tersebut, cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” juga ingin menciptakan doktrin tandingan, bukan tentang soteriologi salib, melainkan hidup selibat. Akibat surat-surat Paulus yang bersikap ambivalen terhadap tubuh, dalam gereja abad pertama, asketisme secara spesifik diartikulasikan dengan ide-ide tentang kemartiran, keperawanan, dan hidup selibat yang dianggap sebagai pemasrahan diri total kepada Tuhan.[19]
            Dalam fragmen “Ketentuan Selibat”, narator (Kami/Tuhan) menganjurkan manusia untuk menikah. “108Tapi Aku tak memintamu (Tatimmah) berselibat sebab memasukkan daging ke dalam daging adalah halal, kecuali (daging) yang dicuri.” Yang dimaksud dengan “daging yang dicuri” dalam cerpen itu barangkali adalah perselingkuan, pemerkosaan, dan hubungan badan tanpa ikatan perkawinan. Bagi narator, hidup selibat hanyalah salah satu jalan menundukkan nafsu telanjang binatang (nafsul amarah), yaitu nafsu rendah dan keji yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang kegelapan.
            Secara implisit, cerpen ini menyiratkan bahwa manusia itu kompleks, terdiri atas raga dan jiwa. Hubungan seksual adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ragawi, tetapi harus dengan cara yang halal. Tidak sama dengan doktrin asketisme kekristenan, cerpen ini tidak menegasikan nafsu yang bersumber dari tubuh. Dengan berhubungan seksual, manusia juga dapat melindungi spesiesnya dari kepunahan.

Mungkinkah Beriman Tanpa Perantara?
Lalu iman seperti apakah yang disoalkan secara spesifik dalam cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah”? Dalam cerpen ini, kunci untuk mengetahui persoalan iman terletak pada keyakinan Yosef. Pernyataan iman Yosef direpresentasikan dalam dialog-dialognya. Ketika hamil oleh wahyu Tuhan, Maria bertanya kepada tunangannya itu, 12“Apakah kamu percaya akan perkataan Tuhan?” Lelaki itu menjawab, 13“Bagaimana aku percaya sementara Ia tak pernah berkata-kata padaku?” Atau ketika bayi Maria acap bertanya kepada Yosef setelah mendemontrasikan mukjizat-mukjizatnya, “Masihkah kamu tidak percaya?” Lagi-lagi lelaki itu menjawab, 52“Aku percaya pada ibumu.
            Iman dalam cerpen ini adalah soal apakah ia bisa dibuktikan atau tidak. Agar dapat dipercaya, eksistensi Tuhan beserta segala perbuatan-Nya harus bisa ditunjukkan secara konkret. Pada mulanya, orang-orang menyangkal bahwa kehamilan Maria disebabkan oleh wahyu Tuhan. Namun, setelah mukjizat-mukjizat itu tampak, misalnya bayi Maria yang dapat berbicara, barulah mereka percaya bahwa peristiwa itu terjadi karena kehendak Tuhan. Oleh karena itu tidak heran bila cerpen ini seringkali menampilkan fenomena-fenomena mukjizati untuk menunjukkan bahwa manusia membutuhkan tanda-tanda untuk dapat percaya.
Pertanyaannya, mungkinkah manusia dapat beriman tanpa perantara? Sebab figur nabi, tanda-tanda (baik yang kauliyah maupun kauniyah), mukjizat, menjadi perantara manusia untuk beriman kepada eksisten yang lebih tinggi. Mungkin saja manusia bisa beriman tanpa perantara, tetapi hal itu hanya terjadi pada manusia-manusia yang berbicara langsung dengan Tuhan, misalnya para nabi. Sayangnya, tak semua manusia dapat berbicara langsung dengan Tuhan. Maka, perantara menjadi jalan iman bagi mereka yang tak pernah mendapatkan pengalaman tersebut. Kami (Tuhan) dalam cerpen ini tak henti-hentinya berbicara bahwa manusia tak mungkin beriman tanpa perantara. “19Sesungguhnya tak ada keimanan sebelum datang kepercayaan padanya…. 64Kami hidupkan kembali kambing itu agar kamu dapat belajar dan beriman…. 75Kami kisahkan (kembali) kepadamu agar kamu mengingatnya. 76Sebab ingatan manusia sering melemahkan iman. 77Jadi, masihkah kamu tidak percaya?”
Meski demikian, secara implisit cerpen ini hendak mengatakan bahwa manusia bisa memperoleh pengalaman transendental melalui perantara tersebut. Prasyarat untuk mendapatkan pengalaman ilahiah itu tidak lain adalah cinta—terma yang seringkali didengung-dengungkan oleh para mistikus. Dalam cerpen ini, Yosef hanya bisa memperoleh iman (transendental) karena ia cinta kepada Maria (sang perantara). Yosef berkata, “Aku percaya pada ibumu. Aku mencintainya.”
            Begitulah manusia, tak dapat berinteraksi langsung dengan Tuhan, tetapi dapat berhubungan langsung dengan segala pancarannya. Manusia dapat mengenali Tuhan dalam tanda-tanda, sebab segala yang terhampar di bumi adalah representasi wajah Tuhan[20]; seluruh yang tergelar di alam adalah perlambang wujud Tuhan (tajalli)[21]. Bahkan Tuhan lebih dekat daripada urat nadi manusia.[22] Kesadaran transendental semacam itu hanya dimiliki oleh seorang pecinta (asyiq).
            Cerpen ini begitu optimis berbicara tentang iman. “20Berimanlah untuk kebaikanmu tanpa rasa ragu dan takut. 21Imanmu adalah kekuatan. 22Tak ada kekuatan manusia yang lebih besar selain keimanannya.[23] Pernyataan demikian diulang kembali pada akhiran cerpen. Bagi cerpen ini, orang-orang yang tidak beriman adalah “orang-orang yang tak percaya bahwa Maria mengandung wahyu Kami.” Artinya, orang-orang yang tak percaya adalah orang-orang yang menyangkal tanda-tanda atau perantara. Bahkan, mungkin orang-orang yang tak percaya telah menyangkal dirinya sendiri, sebab keberadaan manusia adalah salah satu tanda eksistensi Tuhan.
Penyangkalan terhadap iman adalah penyangkalan terhadap fitrah diri sebagai makhluk yang bertuhan. Sekufur bagaimanapun manusia, semestinya ia masih memiliki iman meski hanya sekecil zarah, sebab sejak dalam janin, manusia telah mengikrarkan perjanjian primordial dengan Tuhan. ““Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka berkata, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.””[24]
           
Menuju Iman Hakiki
Apakah iman berhenti sebatas iman (kepada Tuhan)? Tampaknya cerpen ini mengusung semangat profetik dengan menghadirkan kesadaran ketuhanan sebagai kesadaran kemanusiaan.[25] Beriman adalah perihal hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia.[26] Bahkan dalam cerpen ini Tuhan berkata, “116Dan janganlah berlebih-lebihan, juga dalam beribadah. 117Ibarat anggur ibadah dapat memabukkan, melupakanmu dari apa yang ada di sekitarmu.”
            Seseorang tidak dikatakan lengkap keimanannya bila hanya mementingkan aspek ibadah formal sembari mengabaikan penderitaan manusia lainnya. Iman yang hakiki adalah iman yang menyapa orang-orang lemah, tertindas, dan termarjinalkan. Oleh karena itulah dalam cerpen ini Tuhan berfirman, “118Tidaklah Aku ciptakan manusia untuk menyembah-Ku kecuali bermanfaat bagi orang-orang di sekelilingnya.”[27]
            Kenyataannya, nafsu serakah telah mengalihkan manusia dari sensitif kemanusiaan. Sebagai tanda keprihatinan, cerpen ini berkata, “119Akan datang waktunya ketika manusia lebih suka berebutan daging daripada saling berbagi roti. 120Akan datang waktunya ketika manusia lebih suka menumpahkan darah daripada saling mengisi anggur.” Korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, pembegalan, dan kasus-kasus kriminalitas lainnya terjadi karena buah ketamakan manusia. Lalu pada ayat terakhir, cerpen ini menyeru, “121Jika datang waktunya, berpegangteguhlah kamu (Tatimmah) pada imanmu sebab tak ada kekuatan manusia yang lebih besar selain keimanannya,” yaitu kekuatan untuk memberi makan mereka yang lapar, memberi minum mereka yang haus, memberi perlindungan bagi orang asing, memberi pakaian mereka yang telanjang, dan merawat mereka yang sakit, sebab apa yang kamu lakukan untuk mereka, kamu telah melakukannya untuk Tuhan.[28]
           
Daftar Bacaan
Abdalla, Ulil Abshar. 2007. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar. Jakarta: Nalar.
Anam, Hairul. 2014. Sepenggal Kisah Tawakal Seekor Kijang, (Online), (www.nu.or.id), diakses 8 Mei 2015.
Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etika dan Struktur Sastra. Yogyakarta: Multi Presindo & LSBO PP Muhammadiyah.
Lembaga Alkitab Indonesia. 2005. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Lings, Martin. 1991. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Terjemahan Qamaruddin S.F. 2014. Jakarta: Serambi.
Muthari, Abdul Hadi Wiji. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sirry, Mun’im. 2015. Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis. Bandung: Mizan.
Synnott, Anthony. 1993. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Terjemahan Pipit Maizier. 2007. Yogyakarta: Jalasutra.
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran. 2004. Al-Jumanatul Ali: Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: J-Art.
Zainuddin, Ahmad. 2012. Apakah Anda Termasuk Sebaik-baik Manusia? (Online), (www.muslim.or.id), diakses 8 Mei 2015.


[1] meminjam Yasin: 82
[2] Peristiwa kehamilan Maria (Maryam) mengingatkan kita pada pengalaman Isra’ Mi’raj Muhammad. Sebagaimana tanggapan orang-orang terhadap kehamilan Maria, peristiwa ajaib yang dialami Muhammad tersebut juga ditanggapi secara negatif oleh orang-orang Quraisy di Mekah (Lings, Martin. 1991. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Terjemahan Qamaruddin S.F. 2014. Jakarta: Serambi.).
[3] Matius 1:1—16 dan Lukas 3:23—38
[4] Matius 1:19, 20, 24, dan 25
[5] Maryam: 27—28
[6] Maryam: 23—26
[7] Ali Imran: 46
[8] Ali Imran: 49
[9] Al-Baqarah: 259
[10] Al-Maidah: 31
[11] An-Naml: 18—19
[12] As-Saffat: 139—144
[13] Al-Kahfi: 60—65
[14] Anam, Hairul. 2014. Sepenggal Kisah Tawakal Seekor Kijang, (Online), (www.nu.or.id), diakses 8 Mei 2015.
[15] Al-Anbiya’: 69
[16] Sirry, Mun’im. 2015. Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis. Bandung: Mizan.
[17] Al-Maidah: 27 & 30
[18] Abdalla, Ulil Abshar. 2007. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar. Jakarta: Nalar.
[19] Synnott, Anthony. 1993. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Terjemahan Pipit Maizier. 2007. Yogyakarta: Jalasutra.
[20] Al-Baqarah: 15
[21] Muthari, Abdul Hadi Wiji. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[22] Qaf: 16
[23] Dengan iman sebiji sawi, seseorang dapat memindahkan gunung (Matius 17:20).
[24] Al-A’raf: 172
[25] Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etika dan Struktur Sastra. Yogyakarta: Multi Presindo & LSBO PP Muhammadiyah.
[26] Ali Imran:112
[27] Paralel dengan hadis riwayat Thabrani dan Daruquthni yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (Zainuddin, Ahmad. 2012. Apakah Anda Termasuk Sebaik-baik Manusia?[Online], [www.muslim.or.id], diakses 8 Mei 2015.).
[28] Matius 25: 31—46 

Disampaikan pada Diskusi Sastra PKKH UGM, Senin 25 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar