Terlepas dari segala kontroversinya, mi’raj (secara harfiah berarti “tangga”)
barangkali merupakan mukjizat legendaris Muhammad setelah Quran. Peristiwa ini
dipercaya sebagai rangkaian perjalanan malam (isra’) Muhammad yang termaktub dalam Quran. Pada saat itulah jumlah
waktu salat diformulasikan.
Dalam
khazanah sufisme, peristiwa mi’raj
acapakali dianggap sebagai pengalaman mistik sang Nabi di mana terjadi
peleburan hamba dengan Tuhan dalam kesatuan rahasia (unio mystica). Sidratul muntaha (pohon bidara terjauh)
yang merupakan batas terakhir penghalang (hijab)
yang menyelubungi kemanusiaan Muhammad tersibak sehingga jarak antara Nabi
dengan Dia hanya sedekat dua busur panah (qaba
qasain)—dan selanjutnya kita tak tahu apa yang terjadi.
Sayangnya,
khazanah sufisme jarang mengelaborasikan mi’raj
dengan perintah salat. Di sini saya nyeletuk
sedikit tentang relasi salat dengan pengalaman mistik Nabi. Bagi saya,
peristiwa mi’raj bisa menjadi alegori
bagaimana seorang hamba memperoleh puncak kesadaran ilahiah.
Peristiwa
magis tersebut terjadi tatkala Muhammad meratapi kematian dua orang terkasih,
yakni Khadijah sang istri dan Abu Thalib sang paman. Tak dapat dipungkiri bahwa
kedua sosok tersebut telah berjasa besar pada misi kenabian Muhammad. Oleh
karena itulah tahun itu disebut tahun kesedihan (amul huzni). Tentunya, kematian tersebut menggetarkan Muhammad,
sebab aktivitas dakwahnya ditopang oleh kedua orang itu.
Mi’raj seolah-olah menjadi peringatan
kepada Nabi bahwa satu-satunya yang pantas menjadi sandaran adalah Tuhan, bukan
objek-objek fana. Kalau kau menggantungkan hidup kepada makhluk, mereka tidak
bisa apa-apa. Namun, jika kau berserah diri kepada Tuhan, dia bisa mendatangkan
kebahagiaan sejati. Lalu apa kebahagiaan sejati itu?
Kebahagiaan
sejati adalah perjumpaan mistis antara hamba dengan Tuhan. Pada saat itulah seseorang
tercerabut dari keakuan rendahnya (yang inheren dalam diri manusia) yang
dipenuhi oleh nafsu-nafsu tak tarbatas. Nafsu-nafsu tersebut menjadi hijab
manusia untuk menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari jagat. Kesadaran
sejati adalah pencapaian puncak tauhid
ketika seseorang merasa bahwa ia adalah bagian dari kesatuan kosmik. Segala
yang terhampar di alam adalah representasi (tajalli)
dari Eksisten Tertinggi.
Peristiwa
mi’raj membuat kita tahu bahwa untuk
mencapai kesadaran hakiki, manusia membutuhkan jalan (thariq). Jalan itu adalah salat. Hal ini juga sekaligus menepis
anggapan bahwa penempuh jalan rohani (salik)
dapat mencapai hakikat tanpa syariat. Salat menjadi semacam tangga menuju
dimensi tak terbayangkan seperti yang dialami Nabi.
Sebelum
melesat dengan burok (semacam kendaraan samawi), sebuah legenda mencatat bahwa malaikat
membedah perut Muhammad, lalu hatinya dibersihkan dengan salju. Kejadian ini
barangkali adalah arketipe wudu bahwa sebelum melaksanakan salat (menaiki
tangga menuju Yang Mahakudus), seseorang harus membersihkan lahir-batinnya,
sebab untuk mencapai keberhasilan liturgi tersebut, prasyarat yang harus
dipenuhi adalah suci. Hal ini mengingatkan kita pada perjumpaan Musa dengan
penjelmaan Tuhan melalui pohon yang terbakar di atas gunung. Di situ, Musa
diperintah untuk menanggalkan terompahnya.
Maka
ketika telah terlatih berkonsentrasi dalam menunaikan salat, seseorang akan
terus-menerus mendekati puncak kesadaran ilahiah. Dampak praktisnya, hidupnya
akan tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, sebab ia telah merasa menjadi
bagian dari kosmos. Merawat kosmos berarti merawat diri, sedangkan merusak kosmos
berarti merusak diri. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar