Kamis, 07 Januari 2016

Mi'raj



Terlepas dari segala kontroversinya, mi’raj (secara harfiah berarti “tangga”) barangkali merupakan mukjizat legendaris Muhammad setelah Quran. Peristiwa ini dipercaya sebagai rangkaian perjalanan malam (isra’) Muhammad yang termaktub dalam Quran. Pada saat itulah jumlah waktu salat diformulasikan.
            Dalam khazanah sufisme, peristiwa mi’raj acapakali dianggap sebagai pengalaman mistik sang Nabi di mana terjadi peleburan hamba dengan Tuhan dalam kesatuan rahasia (unio mystica). Sidratul muntaha (pohon bidara terjauh) yang merupakan batas terakhir penghalang (hijab) yang menyelubungi kemanusiaan Muhammad tersibak sehingga jarak antara Nabi dengan Dia hanya sedekat dua busur panah (qaba qasain)—dan selanjutnya kita tak tahu apa yang terjadi.
            Sayangnya, khazanah sufisme jarang mengelaborasikan mi’raj dengan perintah salat. Di sini saya nyeletuk sedikit tentang relasi salat dengan pengalaman mistik Nabi. Bagi saya, peristiwa mi’raj bisa menjadi alegori bagaimana seorang hamba memperoleh puncak kesadaran ilahiah.
            Peristiwa magis tersebut terjadi tatkala Muhammad meratapi kematian dua orang terkasih, yakni Khadijah sang istri dan Abu Thalib sang paman. Tak dapat dipungkiri bahwa kedua sosok tersebut telah berjasa besar pada misi kenabian Muhammad. Oleh karena itulah tahun itu disebut tahun kesedihan (amul huzni). Tentunya, kematian tersebut menggetarkan Muhammad, sebab aktivitas dakwahnya ditopang oleh kedua orang itu.
            Mi’raj seolah-olah menjadi peringatan kepada Nabi bahwa satu-satunya yang pantas menjadi sandaran adalah Tuhan, bukan objek-objek fana. Kalau kau menggantungkan hidup kepada makhluk, mereka tidak bisa apa-apa. Namun, jika kau berserah diri kepada Tuhan, dia bisa mendatangkan kebahagiaan sejati. Lalu apa kebahagiaan sejati itu?
            Kebahagiaan sejati adalah perjumpaan mistis antara hamba dengan Tuhan. Pada saat itulah seseorang tercerabut dari keakuan rendahnya (yang inheren dalam diri manusia) yang dipenuhi oleh nafsu-nafsu tak tarbatas. Nafsu-nafsu tersebut menjadi hijab manusia untuk menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari jagat. Kesadaran sejati adalah pencapaian puncak tauhid ketika seseorang merasa bahwa ia adalah bagian dari kesatuan kosmik. Segala yang terhampar di alam adalah representasi (tajalli) dari Eksisten Tertinggi.
            Peristiwa mi’raj membuat kita tahu bahwa untuk mencapai kesadaran hakiki, manusia membutuhkan jalan (thariq). Jalan itu adalah salat. Hal ini juga sekaligus menepis anggapan bahwa penempuh jalan rohani (salik) dapat mencapai hakikat tanpa syariat. Salat menjadi semacam tangga menuju dimensi tak terbayangkan seperti yang dialami Nabi.
            Sebelum melesat dengan burok (semacam kendaraan samawi), sebuah legenda mencatat bahwa malaikat membedah perut Muhammad, lalu hatinya dibersihkan dengan salju. Kejadian ini barangkali adalah arketipe wudu bahwa sebelum melaksanakan salat (menaiki tangga menuju Yang Mahakudus), seseorang harus membersihkan lahir-batinnya, sebab untuk mencapai keberhasilan liturgi tersebut, prasyarat yang harus dipenuhi adalah suci. Hal ini mengingatkan kita pada perjumpaan Musa dengan penjelmaan Tuhan melalui pohon yang terbakar di atas gunung. Di situ, Musa diperintah untuk menanggalkan terompahnya.
            Maka ketika telah terlatih berkonsentrasi dalam menunaikan salat, seseorang akan terus-menerus mendekati puncak kesadaran ilahiah. Dampak praktisnya, hidupnya akan tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, sebab ia telah merasa menjadi bagian dari kosmos. Merawat kosmos berarti merawat diri, sedangkan merusak kosmos berarti merusak diri. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar