Satu di antara sekian isu yang muncul
dalam kumpulan cerpen Dwi Ratih Ramadhany, Pemilin
Kematian (2015) adalah pertarungan antara pihak yang mengeruk kekayaan bumi
dengan oknum yang berdiri pada sisi konservasi alam. Pihak pertama diwakili
oleh lembaga korporasi, sedangkan oknum kedua adalah karakter-karakter yang
memiliki kualitas feminin dan merasa menjadi bagian dari—apa yang disebut Aldo
Leopold dalam A Sand County Almanac
(1949) sebagai—komunitas biotik. Maka wacana tersebut dapat didedah dengan
nomenklatur ekofeminisme.
Setidaknya
terdapat tiga cerpen yang mengangkat konflik ekofeminisme dalam Pemilin Kematian, antara lain “Janda
Sungai Gayam”, “Biaju Direngkuh Rengas Sungai Kahayan”, dan “Mangsen”. “Janda
Sungai Gayam” adalah cerpen yang paling zahir menampakkan adanya relasi
intrinsik antara perempuan dengan alam. Ratih, tokoh janda dalam cerpen
tersebut, digambarkan sebagai sosok yang memiliki sensibilitas komunitas biotik.
Ia adalah perempuan yang mempunyai keintiman dengan pohon gayam, sungai, dan
bahkan dengan entitas gaib.
Adegan
sadis dalam fragmen “Mereka mulai mengepung Ratih dan menyeretnya ke
bibir sungai. Rambut panjangnya dijambak semena-mena dan kulit mulusnya dicakar
dalam-dalam. Dengan segala upaya Ratih meronta dan berlari ke tengah sungai. Ia
menangis sejadi-jadinya” paralel dengan ratapan seorang kepala suku Indian
Smohalla yang dikutip Brian Easlea dalam Science
and Sexual Oppression (1981): “You
ask me to plough the ground: shall I take a knife and tear my mother's bosom?
You ask me to cut grass and make hay and sell it and be rich like white men;
but how dare I cut off my mother's hair?” Di sini ditunjukkan bahwa opresi
terhadap perempuan adalah kata lain dari eksploitasi terhadap alam atau
sebaliknya. Dalam cerpen tersebut, Ratih bersinonim dengan pohon gayam atau pada
asosiasi yang lebih makro, ia adalah Terra
Mater itu sendiri. Maka tak heran jika para pelaku kekerasan terhadap Ratih
(dan atau alam) diberangus oleh kekuatan misterius (bencana) Sungai Gayam yang
James Lovelock (2007) sebut sebagai “revenge
of Gaia”.
Baik
cerpen “Biaju Direngkuh Rengas Sungai Kahayan” maupun “Mangsen” secara eksplisit/implisit
menekankan perhatian pada soal eksploitasi alam yang dilakukan oleh korporasi.
Di sini, karya Vandana Shiva, Staying
Alive (1988) bisa digunakan sebagai kaca pembesar untuk meneropong isu yang
dibincangkan kedua cerpen tersebut. Dalam buku itu, Shiva mengkritik
habis-habisan kapitalisme sebagai lanjutan dari proyek kolonialisme dengan
mengatasnamakan angin surga “development”.
Baginya, apa yang disebut sebagai development
pada hakikatnya adalah maldevelopment,
sebab kapitalisme telah menancapkan kuku monsternya untuk menghancurkan
ekosistem demi—apa yang disebut Naomi Klein dalam This Changes Everything (2014) sebagai—“brutal money”. Untuk melegitimasi perusakan terhadap alam,
kapitalisme menjalin perselingkuhan setan dengan sains modern, sebab keduanya
memiliki basis ideologi gender yang sama, yakni patriarki.
Uniknya,
Tapang, karakter dalam “Biaju Direngkuh Rengas Sungai Kahayan” yang memiliki
perhatian terhadap konservasi alam bukanlah seorang perempuan. Shiva mencatat,
“In this non-gender based philosophy the
feminine principle is not exclusively embodied in women, but is the principle
of activity and creativity in nature, women and men.” Artinya, Tapang yang
berjenis kelamin laki-laki juga memiliki kualitas feminin karena ia telah
menunjukkan kepeduliannya terhadap alam.
Bertolak
belakang dengan Tapang, gadis-gadis dalam “Janda Sungai Gayam” justru memiliki tendensi
maskulinitas destruktif yang oleh Mary Daly dalam Gyn/Ecolgy (1978) disinggung sebagai perempuan yang beraliansi
dengan sistem falosentris nekrofilia. Gadis-gadis yang kulitnya melepuh
lantaran salah pakai buah gayam itu adalah representasi perempuan masa kini
yang gandrung terhadap kosmetik (arsenik yang meracuni tubuh) dan aksesoris
(diproduksi oleh pertambangan yang menghancurkan lingkungan). Jadi, dalam
cerpen-cerpen tersebut, wacananya bukan lagi kontestasi antara laki-laki dengan
perempuan, melainkan antara maskulinitas-destruktif dengan femininitas-kreatif.
Ratih,
Tapang, dan Mangsen adalah karakter-karakter yang memiliki kesadaran komunitas
biotik dan tahu bahwa kehancuran alam akan menjadi kematian umat manusia itu
sendiri. Mereka menanggalkan asumsi antroposentris dan berteguh bahwa alam
merupakan axis-mundi sejati. Karena
itulah “ribuan kali Ratih menjelaskan bahwa alam telah memilih gayam-gayam
terbaik dengan cara melepasnya dari ranting pohon dan bukan untuk dipetik.”
Tapang menasihati adiknya, “Tapang tak pernah serakah. Dulu waktu bapak masih
hidup, bapak ajari Tapang untuk pakai pohon seperlunya. Biar kita bisa tetap
hidup di lanting.” Sementara itu, Mangsen memiliki sebuah visi bahwa wabah yang
terjadi di desanya disebabkan oleh ketamakan korporasi tambang. Berbeda dengan
motif sintas Ratih dan Tapang, korporasi kapitalis merampas kekayaan alam
dengan orientasi profit.
Di
sinilah letak keberpihakan cerpen-cerpen tersebut. Berbeda dengan Prof. Djoko
Saryono dalam pengantar Pemilin Kematian
yang berpendapat bahwa cerpen-cerpen Ratih tak menampakkan “fungsi kritik dan
negasi”; cerpen-cerpen yang hanya “mengokohkan
estetika daripada konstruksi wacana meskipun bukan berarti kosong gagasan”,
saya justru menilik Ratih telah meletakkan aktivismenya dengan cara yang tepat,
yaitu advokasi khas seorang penulis fiksi. Dengan cara subtil, Ratih telah
menghindarkan karya-karyanya jatuh ke dalam khotbah atau retorika LSM. Dengan
jalan alternatif, cerpen-cerpen tersebut tidak hanya bermain-main dengan
bangunan estetika, tetapi menjadi wacana yang di dalamnya sarat praktik yang
mengorganisasi dan kalau mau bombas, berpotensi mengubah konstelasi sosial—meminjam
dalil Michel Foucault.
Lantas,
dengan berlaga ekofeminisme, apakah cerpen-cerpen Ratih adekuat untuk dianggap sebagai
karya feminisme? Barangkali perlu penyelidikan lebih dalam untuk dapat
menjawabnya, sebab sejumlah cerpen dalam buku tersebut masih menghadirkan penokohan
yang justru ditolak oleh beberapa feminis, yakni demonisasi (pengiblisan)
perempuan. Arketipe “perempuan laknat” tampak dalam sejumlah karakter, sebut
saja sang Janda Sungai Gayam, tokoh Ibu dalam “Malam Merah Ibu”, serta Putri
Salju dalam “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu”. Untuk menjadi hebat, apakah
perempuan harus menjelma hantu terlebih dahulu? Demikianlah tokoh-tokoh
tersebut membuka kotak pandora kita tentang pembakaran nenek sihir di Eropa;
tentang Lilith, Succubus, Medusa, Calonarang, Situbagendit, Mak Lampir, Kuntilanak,
Sundel Bolong, dsb. Maka untuk menjadi sastra feminisme yang purna, Ratih mesti
menyeret tokoh cerpen-cerpennya keluar dari mistifikasi perempuan yang berwatak
demonik.
Jawa Pos, 2 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar