Senin, 25 Januari 2016

Mitos Kecantikan dalam Cerita Snow White




Pendahuluan
Dongeng-dongeng yang dikenal sebagai cerita anak-anak pada dasarnya adalah cerita rakyat yang diartikulasikan kembali oleh para penulis supaya sesuai dengan bacaan anak. Karena bukan merupakan cerita yang ditujukan kepada anak-anak, dongeng-dongeng tersebut mengandung unsur-unsur yang barangkali “tidak cocok” bila dikonsumsi oleh anak-anak, misalnya kanibalisme, pembunuhan berdarah-darah, penggambaran seks yang vulgar, dan sebagainya. Penceritaan kembali dongeng-dongeng itu oleh sejumlah penulis agar sesuai dengan bacaan anak-anak terkadang masih menyisakan unsur-unsur yang sebenarnya tidak cocok dikonsumsi oleh anak-anak. Unsur-unsur tersebut seringkali luput disentuh karena memang implisit, misalnya, patriarki.
            Salah satu cerita rakyat yang telah diterjemahkan ke dalam versi bacaan anak-anak adalah “Snow White”. “Snow White adalah dongeng yang dikenal di seluruh kawasan Eropa dan kini telah menyebar di seluruh dunia.[1] Cerita tersebut tersebar di seluruh dunia barangkali berkat jasa dua linguis Jerman bersaudara, Jacob Grimm dan Wilhelm Grimm. Untuk mengisahkan ulang cerita-cerita rakyat tersebut, mereka melakukan riset, menyusun kata-kata, dan menyajikan cerita tersebut dalam bentuk yang lebih mudah dimengerti oleh anak-anak.[2]
            Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, terkadang, meskipun cerita-cerita tersebut telah disesuaikan sebagai bacaan anak, unsur-unsur yang semestinya tidak disampaikan kepada anak-anak masih tersisa. Misalnya, di dalam “Snow White” terdapat wacana mitos kecantikan yang oleh Naomi Wolf dinilai sebagai sebuah dekadensi. Di dalam cerita tersebut, “kecantikan” menjadi sifat yang distandarkan, penuh implikasi kekuasaan, dan ada pula persaingan tidak sehat. Tentu saja, objek-objek yang bermain di dalam arena “mitos kecantikan” di dalam cerita tersebut adalah perempuan.
            Tulisan ini akan menggunakan “Snow White” versi Grimm sebagai sumber data objek materialnya. Sementara itu, sebagai pisau analisisnya akan digunakan teori mitos kecantikan Naomi Wolf. Di dalam cerita tersebut akan ditemukan sejumlah penanda yang menunjukkan adanya mitos kecantikan yang masih direproduksi—atau tidak sengaja tidak dibuang—oleh Grimm. Penanda-penanda tersebut eksis di dalam narasi yang disampaikan, dialog, ikonografi-ikonografi, relasi kekuasaan, dan sebagainya. Selain itu, citraan-citraan tersebut juga akan disesuaikan dengan konteks mitos kecantikan yang berkembang di dalam konteks kekinian. Hal itu akan menunjukkan bahwa mitos kecantikan di dalam cerita tersebut masih terus diwariskan hingga ini, apalagi telah banyak film yang merupakan produk resepsi dari cerita tersebut. Adapun pertanyaan yang diajukan di dalam tulisan ini adalah, bagaimana mitos kecantikan dicitrakan di dalam “Snow White”?

Landasan Teori
Di dalam bukunya, Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan (2004), Naomi Wolf mengatakan bahwa banyak perempuan yang merasa malu karena mereka memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal semacam penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut, atau pakaian. Meskipun ada perasaan malu, bersalah dan terganggu, lebih banyak perempuan tetap saja membayangkan, bukanlah kenyataan bahwa mereka sendirian dan ketakutan itu saja yang menghantui, melainkan ada sesuatu yang jauh lebih penting, yang berhubungan dengan adanya pertentangan antara kebebasan dan kecantikan perempuan.
            Dalam hal perasaan tentang hal keadaan diri yang berkaitan dengan fisik, perempuan kini jauh lebih khawatir dibandingkan dengan perempuan generasi sebelumnya. Penelitian-penelitian baru secara konsisten menunjukkan bahwa meskipun mayoritas perempuan Barat hidup secara terkendali, tampil menarik dan sukses, kita bisa mendapati adanya alam bawah sadar rahasia yang nyaris meracuni semua pembicaraan tentang kecantikan. Alam ini dipenuhi oleh gambaran yang muram tentang kebencian terhadap diri sendiri, obsesi fisik, teror atas usia yang terus bertambah tua, dan ketakutan atas hilangnya kontrol diri.
            Bukan kebetulan jika kita menemukan kenyataan bahwa ada banyak perempuan berkuasa yang berpotensi pula mengalami hal ini. Perempuan berada di tengah-tengah pertentangan melawan feminisme yang menggunakan citra kecantikan perempuan sebagai senjata politis untuk menentang kemajuan perempuan. Itulah Mitos Kecantikan. Mitos kecantikan merupakan versi mutakhir dari refleksi sosial yang kuat sejak Revolusi Industri. Selepas perempuan dari mistik feminin (feminine mystique) tentang domestisitas, mitos kecantikanlah yang mengambil alih dasar yang hilang ini dan terus memperluas kekuasaannya sebagai kontrol sosial.
            Revolusi sosial mempromosikan penemuan seksualitas perempuan. Pornografi kecantikan—di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah, “kecantikan” yang terkomodifikasi” dihubungkan langsung secara artifisial dengan seksualitas—terus menggempur kelompok arus utama dalam rangka meruntuhkan perasaan perempuan tentang harga diri seksual mereka yang baru dan masih rapuh. Hak-hak reproduksi memberi perempuan hak untuk mengendalikan sendiri tubuhnya. Perempuan terus berusaha mempolitisasi kesehatan; teknologi-teknologi baru yang berfungsi sebagai alat penyebaran berhasil mengembangkan industri kosmetik sebagai kontrol medis bagi perempuan.
            Mitos kecantikan menyatakan hal ini kepada kita: Kualitas yang disebut dengan “cantik” benar-benar ada secara objektif dan universal. Perempuan pastilah ingin memiliki kecantikan dan laki-laki pastilah ingin memiliki perempuan yang cantik. Tekanan yang muncul akibat perasaan ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki. Situasi ini menjelma susuatu yang alamiah dan diperlukan karena hal itu bersifat  biologis, seksual, dan evolusioner. Para laki-laki perkasa selalu berperang demi perempuan cantik. Perempuan yang cantik selalu dihubungkan dengan kesuburan, dan sejak sistem yang berbasis seleksi seksual ini diterapkan, kecantikan bisa menjadi sesuatu yang bisa niscaya baku.
            Akan tetapi, hal-hal itu tidak sepenuhnya benar. Kecantikan adalah sistem pertukaran seperti halnya standar emas. Seperti semua yang ada dalam lingkaran ekonomi, kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik. Pada abad modern, di negara-negara Barat kecantikan menjadi “agama” terakhir dan terbaik yang meneguhkan dominasi kaum laki-laki. Dalam upaya memercikkan api perlawanan kaum perempuan dalam hierarki vertikal sesuai standar fisik, kecantikan merupakan ekspresi dari relasi kekuasaan di mana perempuan harus bersaing secara tidak alamiah demi sumber daya yang diberi harga oleh laki-laki.
            Kecantikan susungguhnya bukan hal universal atau pun tidak bisa diubah meskipun orang Barat percaya bahwa segenap kecantikan perempuan yang ideal berawal dari sosok platonis. Orang-orang suku Maori mengagumi tubuh yang gemuk. Orang-orang Padung menyukai buah dada yang montok. Kecantikan juga bukan bagian dari fungsi evolusi. Ukuran-ukuran idealnya berubah lebih cepat daripada proses evolusi spesies. Jelaslah bahwa tidak ada legitimasi historis atau pembenaran biologis bagi mitos kecantikan. Apa yang dilakukan terhadap perempuan pada masa kini tak lebih mulia daripada pemenuhan kebutuhan atas struktur kekuasaan, ekonomi, dan kebudayaan untuk membangun serangan balik melewan perempuan.
            Jika mitos kecantikan tidak didasarkan pada evolusi seks, gender, estetik atau Tuhan, lalu didasarkan pada apa?  Mitos itu mengukuhkan diri dalam persoalan keintiman, seks, dan kehidupan; hal-hal yang dirayakan oleh perempuan. Mitos itu merupakan kombinasi dari jarak emosional, represi politik, ekonomi, dan seksual. Mitos kecantikan sesungguhnya bukan semata-mata tentang perempuan. Mitos itu lebih cenderung merupakan persoalan institusi laki-laki dan kekuasaan institusional. Kualitas yang pada periode tertentu disebut sebagai kecantikan perempuan itu hanyalah simbol dari perilaku perempuan yang dianggap menggairahkan: Mitos perempuan sesungguhnya selalu merujuk pada perilaku dan bukan penampakan. Persaingan antarperempuan telah dijadikan bagian dari mitos yang membuat perempuan seolah-olah terpisah satu sama lain. Kemudaan dan keperawanan (bahkan sampai sekarang) menjadi ukuran kecantikan. Ketika mereka menunjukkan adanya pengabaian terhadap pengalaman seksualitas. Pertambahan umur bagi perempuan adalah hal yang tidak cantik karena perempuan jadi lebih berkuasa bersama waktu dan juga karena relasi antargenerasi perempuan harus senantiasa dipatahkan. Perempuan yang lebih tua takut pada perempuan yang lebih muda, sebaliknya, perempuan muda takut merasa tua dan mitos kecantikan memotong keseluruhan siklus kehidupan perempuan. Yang terpenting, identitas perempuan dianggap melekat pada kecantikan sehingga kita akan merasa perlu berhati-hati untuk menunjukkan pada dunia luar, menampakkan harga diri yang vital dan sensitif.
            Meskipun sejak lama mitos kecantikan telah memiliki bermacam-macam bentuk yang sama tuanya dengan sistem patriarki, versi mutakhir mitos kecantikan merupakan sebuah penemuan yang cukup baru. Mitos ini muncul ketika batasan-batasan material yang terdapat dalam diri perempuan nyaris hilang. Sebelum revolusi industri, rata-rata perempuan tidak punya selera yang sama tentang apa yang disebut sebagai kecantikan. Hal ini berbeda dengan yang mengalami mitos tersebut sebagai perbandingan yang terus-menerus dengan standar fisik ideal yang disebarluaskan secara massal.
            Sejak revolusi industri, para perempuan kelas menengah dalam masyarakat Barat dikendalikan oleh stereotipe dan citra-citra ideal sekuat mereka dikendalikan oleh tekanan material. Situasi unik kelompok ini mengisyarakatkan bahwa analisis-analisis yang menggambarkan “konspirasi kutural” sangat masuk akal jika terkait erat dengan mereka. Lahirnya mitos kecantikan hanyalah satu di antara fiksi-fiksi sosial yang menyamar sebagai komponen alamiah dari ranah feminin; sebuah wilayah yang lebih baik untuk menjebak perempuan di dalamnya.  

Pembahasan
Sejak awal, pembuka cerita “Snow White” versi Grimm telah mengumumkan standar kecantikan—setidaknya—menurut konteks kebudayaan yang menjadi latar cerita tersebut. Perhatikan kutipan berikut. Tidak lama setelah itu, sang Ratu melahirkan seorang putri yang kulitnya putih seputih salju, bibirnya merah semerah darah, dan rambutnya hitam sehitam kayu ebony, dan diberinya nama Snow White. Saat sang Putri lahir, sang Ratu pun meninggal dunia. Di dalam cerita tersebut, penulis memberi tahu pembaca bahwa Snow White adalah perempuan paling cantik di seluruh negeri—atau dunia. Hal itu berarti bahwa untuk menjadi cantik, seorang perempuan harus memiliki kulit seputih salju, bibir semerah darah, dan rambut sehitam kayu ebony. Itulah standar kecantikan superlatif yang digambarkan di dalam cerita tersebut.
            Di dalam “Snow White” versi Grimm terdapat ikon-ikon yang secara harfiah menujukkan eksisnya mitos kecantikan di dalam cerita tersebut. Ikon yang paling menonjol adalah cermin ajaib. Bahkan, bisa dikatakan bahwa cermin ajaiblah yang sesungguhnya menggerakkan peristiwa naratif cerita tersebut.
“Cermin di dinding, siapa yang tercantik di antara semua?” Sang cermin selalu menjawab, “Anda adalah yang tercantik dari semuanya.” Sang Ratu pun merasa puas karena tahu bahwa cermin ajaibnya tidak pernah berkata bohong. Cermin tersebut menjadi semacam alat untuk mengukur kecantikan seseorang; cermin tersebut menjadi patokan atau standar cantik atau tidaknya seorang perempuan. Cermin adalah indikator yang “tidak bisa diragukan” karena ia selalu berkata jujur.
Bila dihubungkan dengan konteks mitos kecantikan yang berkembang saat ini, cermin bisa dianggap sebagai teknologi kecantikan pada era industri dan kapitalisme. Cermin adalah iklan yang mempromosikan perempuan cantik ala industri. “Begini lo gambar perempuan cantik itu,” papar sang iklan dalam citraannya sembari memberi tahu konsumen bagaimana cara menjadi cantik, yaitu dengan cara membeli atau memakai jasa mereka: operasi plastik, botoks, payudara implan, silikon, sedot lemak, alat fitnes, krim antipenuaan dini, peremajaan kulit, cat rambut dan kuku, spa dan sauna, dan sebagainya.
             Suatu kali Ratu bertanya kembali kepada cermin ajaib tentang siapa yang paling cantik di antara semua. Dengan tidak terduga, cermin menjawab, "Ratu, Anda cantik, tetapi Snow White lebih cantik dari Anda." Pada akhirnya cermin memberi tahu tentang standar cantik menurut mitos kecantikan yang berkembang pada saat itu. Mitos kecantikan saat itu menjadikan sosok Snow White sebagai standar kecantikan paling cantik.
            Snow White, dalam industri kecantikan era kapitalisme adalah brand ambassador produk kosmetik: peralatan make up, sabun, sampo, pil pelangsing, dan sebagainya. Sebagai selebritas, Snow White menjadi kiblat perempuan modern untuk menata diri agar menjadi cantik. Begitulah standar perempuan cantik; Anda harus menjadi seperti perempuan dalam iklan.
            Sang Ratu menjadi terkejut dan warna mukanya menjadi kuning lalu hijau oleh rasa cemburu, dan semenjak saat itu, ia berbalik membenci Snow White. Kecemburuan sang Ratu memang beralasan, sebab ia tidak sesuai dengan standar kecantikan yang telah dipatok oleh cermin ajaib. Penderitaannya adalah karena ia merasa tidak cantik—seperti apa yang dikehendaki oleh cermin; seperti tubuh fisik Snow White.
            Dalam konteks kekinian, sang Ratu adalah wakil dari banyak perempuan yang mendambakan menjadi cantik sebagaimana “orang-orang televisi”. Orang-orang televisi tersebut menjadi trend setter yang kemudian hanya akan bertujuan menguntungkan mereka dan dunia industri. Kecantikan yang distandarkan televisi atau iklan akan menghasilkan produk-produk atau jasa yang laris dibeli oleh khususnya perempuan demi menjadi cantik seperti orang-orang televisi.
            Sikap Ratu terhadap Snow White bisa berarti persaingan antara perempuan untuk memperebutkan kecantikan menurut mitos. Persaingan tersebut bisa sehat dan bisa tidak sehat. Persaingan Ratu dengan Snow White adalah contoh persaingan tidak sehat.
            Pada era industri yang “beradab” ini, persaingan antara perempuan untuk mendapatkan predikat paling cantik diwujudkan dalam banyak kontes kecantikan. Kontes tersebut menstandarkan “cantik” menurut kriteria mereka, misalnya brain, beauty, and behavior. Bisa dipastikan bahwa memenangkan kontes kecantikan diimpikan oleh sebagian besar perempuan di dunia ini, terutama di kalangan perempuan muda. Sayangnya, tidak semua perempuan bisa menjadi pemenangnya sebagaimana sang Ratu yang tidak akan pernah bisa menjadi “secantik” Snow White.
            Di dalam cerita Grimm, bahwa Snow White cantik adalah maskot perempuan cantik menurut mitos kecantikan yang berkembang memang diakui oleh banyak kalangan, tidak hanya cermin. Misalnya tujuh kurcaci sebagai kalangan akar rumput juga mengakui kecantikan Snow White. “Ya Tuhan!” kata mereka. “Siapakah putri yang cantik ini.” Belum lagi kecantikan Snow White yang juga diaminkan oleh kalangan binatang, burung-burung. Hal itu menunjukkan bahwa standar kecantikan dalam sebuah kebudayaan diterima secara universal, dari berbagai kalangan, dari kalangan elite hingga kalangan akar rumput.
            Wolf mengatakan bahwa perempuan yang memiliki kuasa pun juga tunduk pada mitos kecantikan. Hal ini bisa diwakili oleh Ratu yang sebenarnya kehidupannya telah mapan dan punya kuasa, tetapi sebagai seorang perempuan, ia sangat berobsesif untuk menjadi perempuan paling cantik. Dan sang cermin menjawab, “Ratu, walaupun kecantikanmu hampir tidak ada bandingannya, Snow White yang hidup di sebuah rumah kecil beserta tujuh orang kurcaci seribu kali lebih cantik.”
            Di dalam kutipan tersebut dikontraskan kedudukan seorang Ratu dan Snow White yang hanya tinggal di rumah kecil bersama rakyat jelata (kurcaci—di dalam cerita tersebut para makhluk mungil tersebut digambarkan sebagai buruh tambang). Kutipan tersebut juga menunjukkan bahwa rakyat kecil pun (Snow White yang tinggal di rumah kecil) juga mengadopsi mitos kecantikan sehingga sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, mitos kecantikan berlaku secara universal dalam konteks kebudayaan tertentu. Dari sudut pandang cermin ajaib dalam konteks kapitalisme, kutipan tersebut juga berarti bahwa industri kecantikan  menawarkan produk-produk yang bisa membuat perempuan menjadi cantik yang sempurna (seribu kali lebih cantik).
Usaha Ratu untuk menghabisi Snow White tetapi selalu gagal mengandung implikatur bahwa perempuan tidak akan pernah puas terhadap apa yang dimilikinya. Ketidakpuasan tersebut menjadi peluang bagi industri untuk menciptakan produk-produk baru atau mengembangkan produk-produk lama menjadi berbagai macam, misalnya sebuah produk krim pemutih bisa dibuat dalam berbagai macam sesuai dengan waktu: krim pagi, siang (anti UV), dan krim malam—yang digunakan sebelum tidur. Ketidakpuasan perempuan tersebut bisa juga sebaliknya, yaitu diciptakan oleh industri kecantikan itu sendiri sebagai strategi bisnis. Oleh karena itulah, di dalam cerita tersebut, Ratu selalu gagal membunuh Snow White (sebagai usaha perempuan ingin menjadi cantik) dan cermin selalu member tahu hal itu (sebagai simbol penawaran produk alat kecantikan yang baru). Industri menjadi pemuas ilusif hasrat perempuan terhadap kecantikan; akan menjadikan perempuan berada di wilayah antara rasa nikmat dan menderita (sebagaimana ketersiksaan sang Ratu) atau dalam psikoanalisis lacanian disebut sebagai jouissance: kesempurnaan yang tidak akan pernah bisa digapai.[3]  
Obsesi perempuan terhadap kecantikan menjadikan perempuan bisa menghalalkan segala cara untuk mencapainya. “Snow White harus mati walaupun aku juga harus mati!” pekik Ratu karena rasa cemburunya yang begitu hebat bercampur dengan rasa putus asa. Apa yang dikatakan Ratu tersebut bisa berarti upaya menyakiti diri sendiri demi kecantikan; perempuan siap menderita demi bisa disebut cantik. Bulimia, anoreksia, kanker, kesalahan suntik silikon, dan bahkan kematian adalah kasus bagaimana perempuan menderita atau lebih tepatnya menyakiti diri sendiri untuk menjadi cantik ala mitos.
Kenyataannya, ternyata banyak produk kecantikan yang berbahaya dan mungkin tidak diambil pusing oleh perempuan yang mengonsumsinya. Produk-produk tersebut mengandung toksin atau zat-zat yang bisa menyebabkan kanker, kelumpuhan otak, dan kematian. Di dalam cerita “Snow White”, barangkali produk-produk kecantikan berbahaya tersebut bisa diwakili oleh adanya ikon sisir dan pita beracun dan pada skala yang paling berbahaya adalah apel (yang semua benda-benda tersebut nyaris membuat Snow White tewas).
 Pastinya, harga sebuah kecantikan sangat mahal dan perempuan rela mengeluarkan biaya yang sangat besar seolah-olah kecantikan tersebut bahkan tidak bisa dibayar dengan uang sekalipun. Tetapi kurcaci menolak dan mengatakan bahwa mereka tidak mau berpisah dengan Snow White walaupun dibayar dengan emas yang ada di seluruh dunia. Kutipan tersebut menunjukkan betapa mahalnya sebuah kecantikan. Industri kecantikan masa kini menawarkan jalan pintas yang harganya amat mahal untuk membuat perempuan bisa menjadi sangat cantik atau “sempurna”. Operasi plastik dan sedot lemak adalah beberapa contoh di antaranya. Tampaknya, jasa semacam itu hanya bisa dimiliki oleh kalangan atas. Oleh karena itu, di dalam cerita tersebut, orang yang hanya memungkinkan bisa menukar atau membeli kecantikan Snow White adalah sang Ratu dan Pangeran (orang-orang kalangan atas).
Apa konsekuensi setelah perempuan menjadi cantik? Snow White dan Pangeran hidup bahagia selama-lamanya. Kecantikan menurut mitos akan mengantarkan perempuan kepada kebahagiaan abadi, sebab kecantikan bisa ditukar dengan apa pun: cinta, diinginkan laki-laki, menjadi figur mahsyur (selebritas), dan konsekuensi “menakjubkan” lainnya. Mitos kecantikan menjelma agama (sebagaimana yang dikatakan Wolf), sebuah jalan menuju kehidupan “transenden” atau dalam istilah agama adalah surga (kebahagiaan abadi) yang sebenarnya ilusif karena perempuan tidak akan pernah puas (Wolf mengatakan bahwa mitos kecantikan akan berubah sangat cepat dari waktu ke waktu dan hal itu akan membuat perempuan menyesuaikan diri dengan mitos kecantikan yang selalu berubah—konsekuensinya, tujuan final untuk menjadi cantik tidak akan pernah bisa dicapai).   
 Lalu siapakah sebenarnya yang pada akhirnya berkepentingan dari beroperasinya mitos tersebut? Wolf mencurigai bahwa di balik beroperasinya mitos kecantikan adalah adanya kepentingan laki-laki. Mitos kecantikan dijadikan alat untuk mengontrol perempuan dan untuk memuaskan keinginan laki-laki.
Di dalam cerita tersebut, sejumlah tokoh laki-laki memang memiliki peran yang signifikan; peran yang menentukan hidup dan matinya tokoh sentral (Snow White). Sebut saja tokoh pemburu, para kurcaci, dan Pangeran. Tokoh-tokoh patriark tersebut hadir sebagai pengendali hidup perempuan dan tentunya mengimplikasikan bahwa mitos kecantikan diciptakan oleh mereka. Tokoh pemburu tidak tega membunuh tubuh cantik Snow White; para kurcaci mengakui dan melindungi tubuh cantik Snow White dengan konsekuensi Snow White mengerjakan tugas rumah tangga (hal ini menunjukkan bahwa perempuan terdomestifikasi dan berada pada peran yang inferior); Pangeran membeli kecantikan tubuh Snow White.
Kecantikan yang diupayakan oleh perempuan pada akhirnya bermuara kepada kepentingan laki-laki. Perempuan menjadi cantik demi laki-laki. Perempuan siap menderita demi laki-laki.

Penutup
Cerita “Snow White” yang ditulis ulang oleh Grimm bersaudara masih menyisakah masalah-masalah yang sebenarnya agar riskan bia dibaca oleh anak-anak. Salah satunya adalah jejak mitos kecantikan yang tersebar di sekujur cerita meskipun tidak disampaikan secara harfiah. Mitos kecantikan tersebut diwujudkan dalam narasi atau dialog yang menstandarkan kecantikan menurut mitos, usaha menjadi cantik, persaingan antarperempuan. Hal itu semakin tampak ketika direfleksikan ke dalam konteks masyarakat industri saat ini. Pada akhirnya usaha-usaha yang dilakukan perempuan tersebut tidak untuk dinikmati oleh perempuan sendiri, tetapi laki-laki. Hal itu menunjukkan bahwa di balik mitos kecantikan, ada kekuasaan dan kepentingan laki-laki.

Daftar Bacaan
Cerita Kecil. 2008. Brothers Grimm, (Online), (www.ceritakecil.com), diakses 21 Juni 2014.
Grimm, Brothers. 2008. Putri Salju dan Tujuh Kurcaci (Snow White), (Online), (www.ceritakecil.com), diakses 21 Juni 2014.
Sarup, Madan. 1993. Penduan Pengatar untuk Memahami Postrukturalisme & Posmodernisme. Terjemahan Medhy Aginta Hidayat. 2011. Yogyakarta: Jalasutra.
Wikipedia. 2014. Snow White, (Online), (www.wikipedia.org), diakses 21 Juni 2014.
Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Terjemahan Alia Swastika. 2004. Yogyakarta: Niagara. 


[1] Wikipedia, Snow White, , 2014.
[2] Cerita Kecil, Brothers Grimm: 1845 – 1893, 2014.
[3] Baca Sarup, 211.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar