Pendahuluan
Dongeng-dongeng yang dikenal sebagai
cerita anak-anak pada dasarnya adalah cerita rakyat yang diartikulasikan
kembali oleh para penulis supaya sesuai dengan bacaan anak. Karena bukan
merupakan cerita yang ditujukan kepada anak-anak, dongeng-dongeng tersebut
mengandung unsur-unsur yang barangkali “tidak cocok” bila dikonsumsi oleh
anak-anak, misalnya kanibalisme, pembunuhan berdarah-darah, penggambaran seks
yang vulgar, dan sebagainya. Penceritaan kembali dongeng-dongeng itu oleh
sejumlah penulis agar sesuai dengan bacaan anak-anak terkadang masih menyisakan
unsur-unsur yang sebenarnya tidak cocok dikonsumsi oleh anak-anak. Unsur-unsur
tersebut seringkali luput disentuh karena memang implisit, misalnya, patriarki.
Salah satu cerita rakyat yang telah
diterjemahkan ke dalam versi bacaan anak-anak adalah “Snow White”. “Snow White
adalah dongeng yang dikenal di seluruh kawasan Eropa dan kini telah menyebar di
seluruh dunia.[1]
Cerita tersebut tersebar di seluruh dunia barangkali berkat jasa dua linguis
Jerman bersaudara, Jacob Grimm dan Wilhelm Grimm. Untuk mengisahkan ulang
cerita-cerita rakyat tersebut, mereka melakukan riset, menyusun kata-kata, dan
menyajikan cerita tersebut dalam bentuk yang lebih mudah dimengerti oleh
anak-anak.[2]
Sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas, terkadang, meskipun cerita-cerita tersebut telah
disesuaikan sebagai bacaan anak, unsur-unsur yang semestinya tidak disampaikan
kepada anak-anak masih tersisa. Misalnya, di dalam “Snow White” terdapat wacana
mitos kecantikan yang oleh Naomi Wolf dinilai sebagai sebuah dekadensi. Di
dalam cerita tersebut, “kecantikan” menjadi sifat yang distandarkan, penuh
implikasi kekuasaan, dan ada pula persaingan tidak sehat. Tentu saja,
objek-objek yang bermain di dalam arena “mitos kecantikan” di dalam cerita
tersebut adalah perempuan.
Tulisan
ini akan menggunakan “Snow White” versi Grimm sebagai sumber data objek
materialnya. Sementara itu, sebagai pisau analisisnya akan digunakan teori
mitos kecantikan Naomi Wolf. Di dalam cerita tersebut akan ditemukan sejumlah
penanda yang menunjukkan adanya mitos kecantikan yang masih direproduksi—atau
tidak sengaja tidak dibuang—oleh Grimm. Penanda-penanda tersebut eksis di dalam
narasi yang disampaikan, dialog, ikonografi-ikonografi, relasi kekuasaan, dan
sebagainya. Selain itu, citraan-citraan tersebut juga akan disesuaikan dengan
konteks mitos kecantikan yang berkembang di dalam konteks kekinian. Hal itu akan
menunjukkan bahwa mitos kecantikan di dalam cerita tersebut masih terus
diwariskan hingga ini, apalagi telah banyak film yang merupakan produk resepsi
dari cerita tersebut. Adapun pertanyaan yang diajukan di dalam tulisan ini
adalah, bagaimana mitos kecantikan dicitrakan di dalam “Snow White”?
Landasan Teori
Di dalam bukunya, Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan (2004), Naomi
Wolf mengatakan bahwa banyak perempuan yang merasa malu karena mereka
memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal semacam penampilan fisik, tubuh,
wajah, rambut, atau pakaian. Meskipun ada perasaan malu, bersalah dan
terganggu, lebih banyak perempuan tetap saja membayangkan, bukanlah kenyataan
bahwa mereka sendirian dan ketakutan itu saja yang menghantui, melainkan ada
sesuatu yang jauh lebih penting, yang berhubungan dengan adanya pertentangan
antara kebebasan dan kecantikan perempuan.
Dalam
hal perasaan tentang hal keadaan diri yang berkaitan dengan fisik, perempuan
kini jauh lebih khawatir dibandingkan dengan perempuan generasi sebelumnya. Penelitian-penelitian
baru secara konsisten menunjukkan bahwa meskipun mayoritas perempuan Barat
hidup secara terkendali, tampil menarik dan sukses, kita bisa mendapati adanya alam
bawah sadar rahasia yang nyaris meracuni semua pembicaraan tentang kecantikan.
Alam ini dipenuhi oleh gambaran yang muram tentang kebencian terhadap diri
sendiri, obsesi fisik, teror atas usia yang terus bertambah tua, dan ketakutan
atas hilangnya kontrol diri.
Bukan
kebetulan jika kita menemukan kenyataan bahwa ada banyak perempuan berkuasa
yang berpotensi pula mengalami hal ini. Perempuan berada di tengah-tengah
pertentangan melawan feminisme yang menggunakan citra kecantikan perempuan
sebagai senjata politis untuk menentang kemajuan perempuan. Itulah Mitos
Kecantikan. Mitos kecantikan merupakan versi mutakhir dari refleksi sosial yang
kuat sejak Revolusi Industri. Selepas perempuan dari mistik feminin (feminine mystique) tentang domestisitas,
mitos kecantikanlah yang mengambil alih dasar yang hilang ini dan terus
memperluas kekuasaannya sebagai kontrol sosial.
Revolusi
sosial mempromosikan penemuan seksualitas perempuan. Pornografi kecantikan—di
mana untuk pertama kalinya dalam sejarah, “kecantikan” yang terkomodifikasi”
dihubungkan langsung secara artifisial dengan seksualitas—terus menggempur
kelompok arus utama dalam rangka meruntuhkan perasaan perempuan tentang harga
diri seksual mereka yang baru dan masih rapuh. Hak-hak reproduksi memberi
perempuan hak untuk mengendalikan sendiri tubuhnya. Perempuan terus berusaha
mempolitisasi kesehatan; teknologi-teknologi baru yang berfungsi sebagai alat
penyebaran berhasil mengembangkan industri kosmetik sebagai kontrol medis bagi
perempuan.
Mitos
kecantikan menyatakan hal ini kepada kita: Kualitas yang disebut dengan
“cantik” benar-benar ada secara objektif dan universal. Perempuan pastilah
ingin memiliki kecantikan dan laki-laki pastilah ingin memiliki perempuan yang
cantik. Tekanan yang muncul akibat perasaan ingin memiliki ini dirasakan oleh
perempuan, bukan laki-laki. Situasi ini menjelma susuatu yang alamiah dan
diperlukan karena hal itu bersifat biologis,
seksual, dan evolusioner. Para laki-laki perkasa selalu berperang demi
perempuan cantik. Perempuan yang cantik selalu dihubungkan dengan kesuburan,
dan sejak sistem yang berbasis seleksi seksual ini diterapkan, kecantikan bisa
menjadi sesuatu yang bisa niscaya baku.
Akan
tetapi, hal-hal itu tidak sepenuhnya benar. Kecantikan adalah sistem pertukaran
seperti halnya standar emas. Seperti semua yang ada dalam lingkaran ekonomi,
kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik. Pada abad modern, di
negara-negara Barat kecantikan menjadi “agama” terakhir dan terbaik yang
meneguhkan dominasi kaum laki-laki. Dalam upaya memercikkan api perlawanan kaum
perempuan dalam hierarki vertikal sesuai standar fisik, kecantikan merupakan
ekspresi dari relasi kekuasaan di mana perempuan harus bersaing secara tidak
alamiah demi sumber daya yang diberi harga oleh laki-laki.
Kecantikan
susungguhnya bukan hal universal atau pun tidak bisa diubah meskipun orang
Barat percaya bahwa segenap kecantikan perempuan yang ideal berawal dari sosok
platonis. Orang-orang suku Maori mengagumi tubuh yang gemuk. Orang-orang Padung
menyukai buah dada yang montok. Kecantikan juga bukan bagian dari fungsi
evolusi. Ukuran-ukuran idealnya berubah lebih cepat daripada proses evolusi
spesies. Jelaslah bahwa tidak ada legitimasi historis atau pembenaran biologis
bagi mitos kecantikan. Apa yang dilakukan terhadap perempuan pada masa kini tak
lebih mulia daripada pemenuhan kebutuhan atas struktur kekuasaan, ekonomi, dan
kebudayaan untuk membangun serangan balik melewan perempuan.
Jika
mitos kecantikan tidak didasarkan pada evolusi seks, gender, estetik atau
Tuhan, lalu didasarkan pada apa? Mitos
itu mengukuhkan diri dalam persoalan keintiman, seks, dan kehidupan; hal-hal
yang dirayakan oleh perempuan. Mitos itu merupakan kombinasi dari jarak
emosional, represi politik, ekonomi, dan seksual. Mitos kecantikan sesungguhnya
bukan semata-mata tentang perempuan. Mitos itu lebih cenderung merupakan
persoalan institusi laki-laki dan kekuasaan institusional. Kualitas yang pada
periode tertentu disebut sebagai kecantikan perempuan itu hanyalah simbol dari
perilaku perempuan yang dianggap menggairahkan: Mitos perempuan sesungguhnya
selalu merujuk pada perilaku dan bukan penampakan. Persaingan antarperempuan
telah dijadikan bagian dari mitos yang membuat perempuan seolah-olah terpisah
satu sama lain. Kemudaan dan keperawanan (bahkan sampai sekarang) menjadi
ukuran kecantikan. Ketika mereka menunjukkan adanya pengabaian terhadap
pengalaman seksualitas. Pertambahan umur bagi perempuan adalah hal yang tidak
cantik karena perempuan jadi lebih berkuasa bersama waktu dan juga karena
relasi antargenerasi perempuan harus senantiasa dipatahkan. Perempuan yang
lebih tua takut pada perempuan yang lebih muda, sebaliknya, perempuan muda
takut merasa tua dan mitos kecantikan memotong keseluruhan siklus kehidupan
perempuan. Yang terpenting, identitas perempuan dianggap melekat pada
kecantikan sehingga kita akan merasa perlu berhati-hati untuk menunjukkan pada
dunia luar, menampakkan harga diri yang vital dan sensitif.
Meskipun
sejak lama mitos kecantikan telah memiliki bermacam-macam bentuk yang sama
tuanya dengan sistem patriarki, versi mutakhir mitos kecantikan merupakan
sebuah penemuan yang cukup baru. Mitos ini muncul ketika batasan-batasan
material yang terdapat dalam diri perempuan nyaris hilang. Sebelum revolusi
industri, rata-rata perempuan tidak punya selera yang sama tentang apa yang
disebut sebagai kecantikan. Hal ini berbeda dengan yang mengalami mitos
tersebut sebagai perbandingan yang terus-menerus dengan standar fisik ideal
yang disebarluaskan secara massal.
Sejak
revolusi industri, para perempuan kelas menengah dalam masyarakat Barat
dikendalikan oleh stereotipe dan citra-citra ideal sekuat mereka dikendalikan
oleh tekanan material. Situasi unik kelompok ini mengisyarakatkan bahwa
analisis-analisis yang menggambarkan “konspirasi kutural” sangat masuk akal
jika terkait erat dengan mereka. Lahirnya mitos kecantikan hanyalah satu di
antara fiksi-fiksi sosial yang menyamar sebagai komponen alamiah dari ranah
feminin; sebuah wilayah yang lebih baik untuk menjebak perempuan di dalamnya.
Pembahasan
Sejak awal, pembuka cerita “Snow White”
versi Grimm telah mengumumkan standar kecantikan—setidaknya—menurut konteks
kebudayaan yang menjadi latar cerita tersebut. Perhatikan kutipan berikut. Tidak lama setelah itu, sang Ratu
melahirkan seorang putri yang kulitnya putih seputih salju, bibirnya merah
semerah darah, dan rambutnya hitam sehitam kayu ebony, dan diberinya nama Snow
White. Saat sang Putri lahir, sang Ratu pun meninggal dunia. Di dalam
cerita tersebut, penulis memberi tahu pembaca bahwa Snow White adalah perempuan
paling cantik di seluruh negeri—atau dunia. Hal itu berarti bahwa untuk menjadi
cantik, seorang perempuan harus memiliki kulit seputih salju, bibir semerah
darah, dan rambut sehitam kayu ebony. Itulah standar kecantikan superlatif yang
digambarkan di dalam cerita tersebut.
Di
dalam “Snow White” versi Grimm terdapat ikon-ikon yang secara harfiah
menujukkan eksisnya mitos kecantikan di dalam cerita tersebut. Ikon yang paling
menonjol adalah cermin ajaib. Bahkan, bisa dikatakan bahwa cermin ajaiblah yang
sesungguhnya menggerakkan peristiwa naratif cerita tersebut.
“Cermin
di dinding, siapa yang tercantik di antara semua?” Sang cermin selalu menjawab,
“Anda adalah yang tercantik dari semuanya.” Sang Ratu pun merasa puas karena
tahu bahwa cermin ajaibnya tidak pernah berkata bohong. Cermin
tersebut menjadi semacam alat untuk mengukur kecantikan seseorang; cermin
tersebut menjadi patokan atau standar cantik atau tidaknya seorang perempuan.
Cermin adalah indikator yang “tidak bisa diragukan” karena ia selalu berkata
jujur.
Bila dihubungkan dengan
konteks mitos kecantikan yang berkembang saat ini, cermin bisa dianggap sebagai
teknologi kecantikan pada era industri dan kapitalisme. Cermin adalah iklan
yang mempromosikan perempuan cantik ala industri. “Begini lo gambar perempuan
cantik itu,” papar sang iklan dalam citraannya sembari memberi tahu konsumen
bagaimana cara menjadi cantik, yaitu dengan cara membeli atau memakai jasa
mereka: operasi plastik, botoks, payudara implan, silikon, sedot lemak, alat
fitnes, krim antipenuaan dini, peremajaan kulit, cat rambut dan kuku, spa dan
sauna, dan sebagainya.
Suatu kali Ratu bertanya kembali kepada cermin
ajaib tentang siapa yang paling cantik di antara semua. Dengan tidak terduga,
cermin menjawab, "Ratu, Anda cantik,
tetapi Snow White lebih cantik dari Anda." Pada akhirnya cermin
memberi tahu tentang standar cantik menurut mitos kecantikan yang berkembang
pada saat itu. Mitos kecantikan saat itu menjadikan sosok Snow White sebagai
standar kecantikan paling cantik.
Snow
White, dalam industri kecantikan era kapitalisme adalah brand ambassador produk kosmetik: peralatan make up, sabun, sampo, pil pelangsing, dan sebagainya. Sebagai
selebritas, Snow White menjadi kiblat perempuan modern untuk menata diri agar
menjadi cantik. Begitulah standar perempuan cantik; Anda harus menjadi seperti
perempuan dalam iklan.
Sang Ratu menjadi terkejut dan warna mukanya
menjadi kuning lalu hijau oleh rasa cemburu, dan semenjak saat itu, ia berbalik
membenci Snow White. Kecemburuan sang Ratu memang beralasan, sebab ia tidak
sesuai dengan standar kecantikan yang telah dipatok oleh cermin ajaib.
Penderitaannya adalah karena ia merasa tidak cantik—seperti apa yang
dikehendaki oleh cermin; seperti tubuh fisik Snow White.
Dalam
konteks kekinian, sang Ratu adalah wakil dari banyak perempuan yang mendambakan
menjadi cantik sebagaimana “orang-orang televisi”. Orang-orang televisi
tersebut menjadi trend setter yang
kemudian hanya akan bertujuan menguntungkan mereka dan dunia industri.
Kecantikan yang distandarkan televisi atau iklan akan menghasilkan
produk-produk atau jasa yang laris dibeli oleh khususnya perempuan demi menjadi
cantik seperti orang-orang televisi.
Sikap
Ratu terhadap Snow White bisa berarti persaingan antara perempuan untuk
memperebutkan kecantikan menurut mitos. Persaingan tersebut bisa sehat dan bisa
tidak sehat. Persaingan Ratu dengan Snow White adalah contoh persaingan tidak
sehat.
Pada
era industri yang “beradab” ini, persaingan antara perempuan untuk mendapatkan
predikat paling cantik diwujudkan dalam banyak kontes kecantikan. Kontes
tersebut menstandarkan “cantik” menurut kriteria mereka, misalnya brain, beauty, and behavior.
Bisa dipastikan bahwa memenangkan kontes kecantikan diimpikan oleh sebagian
besar perempuan di dunia ini, terutama di kalangan perempuan muda. Sayangnya,
tidak semua perempuan bisa menjadi pemenangnya sebagaimana sang Ratu yang tidak
akan pernah bisa menjadi “secantik” Snow White.
Di
dalam cerita Grimm, bahwa Snow White cantik adalah maskot perempuan cantik
menurut mitos kecantikan yang berkembang memang diakui oleh banyak kalangan,
tidak hanya cermin. Misalnya tujuh kurcaci sebagai kalangan akar rumput juga
mengakui kecantikan Snow White. “Ya Tuhan!” kata mereka. “Siapakah putri yang
cantik ini.” Belum lagi kecantikan Snow White yang juga diaminkan oleh kalangan
binatang, burung-burung. Hal itu menunjukkan bahwa standar kecantikan dalam
sebuah kebudayaan diterima secara universal, dari berbagai kalangan, dari
kalangan elite hingga kalangan akar rumput.
Wolf
mengatakan bahwa perempuan yang memiliki kuasa pun juga tunduk pada mitos
kecantikan. Hal ini bisa diwakili oleh Ratu yang sebenarnya kehidupannya telah
mapan dan punya kuasa, tetapi sebagai seorang perempuan, ia sangat berobsesif
untuk menjadi perempuan paling cantik. Dan
sang cermin menjawab, “Ratu, walaupun kecantikanmu hampir tidak ada
bandingannya, Snow White yang hidup di sebuah rumah kecil beserta tujuh orang
kurcaci seribu kali lebih cantik.”
Di
dalam kutipan tersebut dikontraskan kedudukan seorang Ratu dan Snow White yang
hanya tinggal di rumah kecil bersama rakyat jelata (kurcaci—di dalam cerita
tersebut para makhluk mungil tersebut digambarkan sebagai buruh tambang).
Kutipan tersebut juga menunjukkan bahwa rakyat kecil pun (Snow White yang
tinggal di rumah kecil) juga mengadopsi mitos kecantikan sehingga sebagaimana
yang telah dikemukakan sebelumnya, mitos kecantikan berlaku secara universal
dalam konteks kebudayaan tertentu. Dari sudut pandang cermin ajaib dalam konteks
kapitalisme, kutipan tersebut juga berarti bahwa industri kecantikan menawarkan produk-produk yang bisa membuat
perempuan menjadi cantik yang sempurna (seribu kali lebih cantik).
Usaha Ratu untuk
menghabisi Snow White tetapi selalu gagal mengandung implikatur bahwa perempuan
tidak akan pernah puas terhadap apa yang dimilikinya. Ketidakpuasan tersebut
menjadi peluang bagi industri untuk menciptakan produk-produk baru atau
mengembangkan produk-produk lama menjadi berbagai macam, misalnya sebuah produk
krim pemutih bisa dibuat dalam berbagai macam sesuai dengan waktu: krim pagi,
siang (anti UV), dan krim malam—yang digunakan sebelum tidur. Ketidakpuasan
perempuan tersebut bisa juga sebaliknya, yaitu diciptakan oleh industri
kecantikan itu sendiri sebagai strategi bisnis. Oleh karena itulah, di dalam
cerita tersebut, Ratu selalu gagal membunuh Snow White (sebagai usaha perempuan
ingin menjadi cantik) dan cermin selalu member tahu hal itu (sebagai simbol
penawaran produk alat kecantikan yang baru). Industri menjadi pemuas ilusif
hasrat perempuan terhadap kecantikan; akan menjadikan perempuan berada di
wilayah antara rasa nikmat dan menderita (sebagaimana ketersiksaan sang Ratu)
atau dalam psikoanalisis lacanian disebut sebagai jouissance: kesempurnaan yang tidak akan pernah bisa digapai.[3]
Obsesi perempuan
terhadap kecantikan menjadikan perempuan bisa menghalalkan segala cara untuk
mencapainya. “Snow White harus mati
walaupun aku juga harus mati!” pekik Ratu karena rasa cemburunya yang begitu
hebat bercampur dengan rasa putus asa. Apa yang dikatakan Ratu tersebut bisa
berarti upaya menyakiti diri sendiri demi kecantikan; perempuan siap menderita
demi bisa disebut cantik. Bulimia, anoreksia, kanker, kesalahan suntik silikon,
dan bahkan kematian adalah kasus bagaimana perempuan menderita atau lebih
tepatnya menyakiti diri sendiri untuk menjadi cantik ala mitos.
Kenyataannya, ternyata
banyak produk kecantikan yang berbahaya dan mungkin tidak diambil pusing oleh
perempuan yang mengonsumsinya. Produk-produk tersebut mengandung toksin atau
zat-zat yang bisa menyebabkan kanker, kelumpuhan otak, dan kematian. Di dalam
cerita “Snow White”, barangkali produk-produk kecantikan berbahaya tersebut
bisa diwakili oleh adanya ikon sisir dan pita beracun dan pada skala yang
paling berbahaya adalah apel (yang semua benda-benda tersebut nyaris membuat
Snow White tewas).
Pastinya, harga sebuah kecantikan sangat mahal
dan perempuan rela mengeluarkan biaya yang sangat besar seolah-olah kecantikan
tersebut bahkan tidak bisa dibayar dengan uang sekalipun. Tetapi kurcaci menolak dan mengatakan bahwa mereka tidak mau berpisah
dengan Snow White walaupun dibayar dengan emas yang ada di seluruh dunia.
Kutipan tersebut menunjukkan betapa mahalnya sebuah kecantikan. Industri
kecantikan masa kini menawarkan jalan pintas yang harganya amat mahal untuk
membuat perempuan bisa menjadi sangat cantik atau “sempurna”. Operasi plastik
dan sedot lemak adalah beberapa contoh di antaranya. Tampaknya, jasa semacam
itu hanya bisa dimiliki oleh kalangan atas. Oleh karena itu, di dalam cerita
tersebut, orang yang hanya memungkinkan bisa menukar atau membeli kecantikan
Snow White adalah sang Ratu dan Pangeran (orang-orang kalangan atas).
Apa konsekuensi setelah
perempuan menjadi cantik? Snow White dan
Pangeran hidup bahagia selama-lamanya. Kecantikan menurut mitos akan
mengantarkan perempuan kepada kebahagiaan abadi, sebab kecantikan bisa ditukar
dengan apa pun: cinta, diinginkan laki-laki, menjadi figur mahsyur (selebritas),
dan konsekuensi “menakjubkan” lainnya. Mitos kecantikan menjelma agama
(sebagaimana yang dikatakan Wolf), sebuah jalan menuju kehidupan “transenden”
atau dalam istilah agama adalah surga (kebahagiaan abadi) yang sebenarnya
ilusif karena perempuan tidak akan pernah puas (Wolf mengatakan bahwa mitos
kecantikan akan berubah sangat cepat dari waktu ke waktu dan hal itu akan
membuat perempuan menyesuaikan diri dengan mitos kecantikan yang selalu berubah—konsekuensinya,
tujuan final untuk menjadi cantik tidak akan pernah bisa dicapai).
Lalu siapakah sebenarnya yang pada akhirnya
berkepentingan dari beroperasinya mitos tersebut? Wolf mencurigai bahwa di
balik beroperasinya mitos kecantikan adalah adanya kepentingan laki-laki. Mitos
kecantikan dijadikan alat untuk mengontrol perempuan dan untuk memuaskan
keinginan laki-laki.
Di dalam cerita
tersebut, sejumlah tokoh laki-laki memang memiliki peran yang signifikan; peran
yang menentukan hidup dan matinya tokoh sentral (Snow White). Sebut saja tokoh
pemburu, para kurcaci, dan Pangeran. Tokoh-tokoh patriark tersebut hadir
sebagai pengendali hidup perempuan dan tentunya mengimplikasikan bahwa mitos
kecantikan diciptakan oleh mereka. Tokoh pemburu tidak tega membunuh tubuh
cantik Snow White; para kurcaci mengakui dan melindungi tubuh cantik Snow White
dengan konsekuensi Snow White mengerjakan tugas rumah tangga (hal ini
menunjukkan bahwa perempuan terdomestifikasi dan berada pada peran yang
inferior); Pangeran membeli kecantikan tubuh Snow White.
Kecantikan yang
diupayakan oleh perempuan pada akhirnya bermuara kepada kepentingan laki-laki.
Perempuan menjadi cantik demi laki-laki. Perempuan siap menderita demi
laki-laki.
Penutup
Cerita “Snow White” yang ditulis ulang
oleh Grimm bersaudara masih menyisakah masalah-masalah yang sebenarnya agar
riskan bia dibaca oleh anak-anak. Salah satunya adalah jejak mitos kecantikan
yang tersebar di sekujur cerita meskipun tidak disampaikan secara harfiah.
Mitos kecantikan tersebut diwujudkan dalam narasi atau dialog yang
menstandarkan kecantikan menurut mitos, usaha menjadi cantik, persaingan
antarperempuan. Hal itu semakin tampak ketika direfleksikan ke dalam konteks
masyarakat industri saat ini. Pada akhirnya usaha-usaha yang dilakukan
perempuan tersebut tidak untuk dinikmati oleh perempuan sendiri, tetapi
laki-laki. Hal itu menunjukkan bahwa di balik mitos kecantikan, ada kekuasaan
dan kepentingan laki-laki.
Daftar Bacaan
Cerita
Kecil. 2008. Brothers Grimm,
(Online), (www.ceritakecil.com),
diakses 21 Juni 2014.
Grimm,
Brothers. 2008. Putri Salju dan Tujuh
Kurcaci (Snow White), (Online), (www.ceritakecil.com),
diakses 21 Juni 2014.
Sarup,
Madan. 1993. Penduan Pengatar untuk Memahami Postrukturalisme &
Posmodernisme. Terjemahan Medhy Aginta Hidayat. 2011. Yogyakarta: Jalasutra.
Wikipedia. 2014. Snow White,
(Online), (www.wikipedia.org),
diakses 21 Juni 2014.
Wolf, Naomi. 2004. Mitos
Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Terjemahan
Alia Swastika. 2004. Yogyakarta: Niagara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar