Minggu, 24 Januari 2016

Lakon yang Mendistorsi Tradisi Madura




Di latar bercahaya temaram, seorang perempuan mengeluh kepada suaminya tentang uang belanja yang tak pernah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kekesalan tersebut diekspresikan dengan berang oleh si istri sambil mewanti-wanti suaminya agar bekerja lebih keras lagi. Si suami hanya berkata bahwa ia bukan tak ingin bekerja teras, tetapi ia sedang bergairah mempertahankan tradisi via berkesenian. Maka secara implisit, si suami berkesimpulan bahwa mempertahankan seni tradisi tak kalah penting daripada mencari nafkah. Begitulah kira-kira adegan yang muncul secara repetitif dalam lakon Kembang Madura yang dipentaskan teater Akura Universitas Madura (03/01/16).
            Lalu kita bertanya-tanya, seperti apakah tradisi Madura? Benarkah bahwa bekerja keras hanyalah aktivitas banal jika dibandingkan dengan berkesenian? Sebagai penonton, saya meresepsi lakon tersebut dengan pandangan yang bertolak belakang. 

Filsafat Hidup Orang Madura
Kurangnya pengetahuan tentang pilar-pilar penting tradisi Madura membuat pegarap teater tersebut mereduksi etos kerja ke level yang lebih rendah. Bagi masyarakat Madura, etos kerja justru adalah salah satu dari holy trinity filsafat hidup mereka. Dua lainnya yaitu keimanan kepada Tuhan YME dan merawat nilai kemanusiaan.
            Trinitas suci filsafat hidup masyarakat Madura tersebut saling terkait. Mempertahankan hidup dengan bekerja keras sejatinya merupakan pengenjawantahan dari keimanan, sebab mencari nafkah adalah perintah Tuhan. Sintas adalah cara menjaga predikat manusia yang diamanatkan Tuhan sebagai khalifah. Oleh karena itu, agar tetap survive, anasir urgen lainnya yaitu menjaga kemanusiaan. Menjaga kemanusiaan tidak sebatas persoalan fisik (nyawa), tetapi juga merawat harkat, prestise, dan marwah individu/kelompok. Merendahkan harga diri seseorang seringkali diganjar dengan pelenyapan nyawa. Sanksi tersebut menunjukkan betapa berharganya sebuah kehormatan sebagaimana ungkapan masyarakat Madura, “lebih baik putih tulang ketimbang putih mata” (lebih baik mati daripada hidup berkalang malu).
            Etos kerja dimiliki orang Madura bukan karena mereka gemar menumpuk harta, melainkan untuk bertahan hidup. Kondisi geografis yang ganas mengharuskan masyarakat Madura mencari berbagai siasat guna menyambung nyawa. Situasi alam dan ekonomi yang kurang menguntungkan itulah yang menyebabkan diaspora besar-besaran masyarakat Madura. Jika orang Jawa punya jargon “makan nggak makan yang penting kumpul”, orang Madura sebaliknya, “kumpul nggak kumpul yang penting makan”.
            Dalam bahasa Madura, semangat kerja keras diungkapakan dengan beragam kosakata, peribahasa, dan lagu-lagu. “Berbantal ombak berselimut angin” merupakan peribahasa populer Masyarakat Madura yang menggambarkan kegigihan dan ketangguhan menghadapi hidup yang demikian buas. Narasi kerja keras inilah yang kemudian mengendap di dalam kesadaran masyarakat Madura, lalu didokumentasikan sebagai salah satu risalah kebajikan, filsafat, dan praktik hidup yang harus ditradisikan kepada setiap generasi.
           
Imajinasi Orientalisme  
Kredo seni tradisi yang dianut masyarakat Madura bukanlah seni untuk seni. Ia lebih dekat pada estetika marxisme. Seni tradisi tersebut tak lain dampak dari potret sejarah dan situasi material masyarakat Madura. Dalam konteks etos kerja, seni tradisi Madura adalah suprastruktur yang bergenealogi pada kondisi ekonomi masyarakatnya. Di sini, entitas materi memengaruhi entitas kesadaran. Maka akan menjadi ganjil jika seni tradisi (entitas kesadaran) ditempatkan pada posisi yang lebih superior daripada aktivitas ekonomi (entitas materi) sebagaimana isu yang diekspos oleh teater Akura.
             Sebagai masyarakat pragmatis, kebutuhan estetis bukan kebutuhan primer orang Madura. Oleh karena itu tidak heran jika tidak banyak orang Madura yang menjadikan berkesenian sebagai mata pencaharian (utama). Berkesenian hanyalah aktivitas sekunder yang kerap dilakukan sebagai pelipur lara saat waktu luang; pemanis ritual adat dan keagamaan. Namun itu tak berarti bahwa masyarakat Madura tidak sensitif terhadap “seni agung” dan hanya menghasilkan karya-karya medioker. Justru karena lahir dari rahim situasi sosial-ekonomi itulah seni tradisi Madura berbunyi sangat lantang. Sublimasi seni tradisi Madura merupakan hasil interpretasi dari aktivitas vital tersebut. Helen Bouvier (1994) mencatat bahwa kegiatan kesenian Madura bersandar pada irama kehidupan, melampaui batas keseharian, batas beban atau pun gairah hidup dengan menggali kekuatan dan jati dirinya.
            Romantisme Akura terhadap seni tradisi Madura hanya menjadikan wacana yang diangkat teater tersebut terasa majal dan kopong. Etos kerja (mencari nafkah) yang ironis dan dimarjinalkan telah mendistorsi kegiatan ekonomi dari kedudukannya sebagai filsafat hidup orang Madura. Akhirya, kegiatan berkesenian seolah-olah tidak kohesif dengan prinsip hidup yang diyakini masyarakat Madura, padahal etos kerja adalah entitas yang inheren dalam seni tradisi tersebut.
            Menyaksikan lakon Kembang Madura bagaikan menyimak retorika orientalisme yang kenes. Kepanikan orientalisme ala teater Akura mengingatkan kita pada obsesi UNESCO yang rutin mencatat artefak kebudayaan “kanon” karena dianggap harta karun dunia. Lakon tersebut seperti ingin memenuhi imajinasi orientalisme tentang eksotisme Timur dan memberi jawaban tentang perasaan atas kehilangan Timur yang molek. Disintegrasi seni tradisi dengan praktik hidup inilah yang membuat ornamen-ornamen dalam lakon Kembang Madura terasa tawar: tari-tarian yang nirmakna dan fragmen Panembahan Ranggasukawati yang disisipkan ke dalam salah satu babak, tetapi tidak koheren dengan struktur cerita. 

  Radar Madura, 24 Januari 2016 

1 komentar:

  1. Ulasan yang sangat menarik. "Berbantal ombak berselimut badai." Hidup memang begitu. Maturnuwun pencerahannya mas.

    BalasHapus