Yang paling zahir dalam cerpen “Wahyu
Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” karya Asef Saeful Anwar adalah
persoalan iman. Sejumlah fragmen—yang diwujudkan subbagian—dalam cerpen ini
merujuk pada isu iman. Fragmen “Kehamilan dalam Pertunangan”, misalnya, menguji
iman seseorang untuk percaya bahwa apabila Tuhan berkehandak, maka terjadilah
meski fenomena tersebut sukar—atau bahkan tak bisa—dinalar oleh pikiran manusia. Fragmen
“Perumpamaan Manusia Diciptakan” juga menunjukkan nada serupa. Sementara itu,
fragmen “Berguru pada Binatang” menunjukkan bahwa ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda yang terhampar di
alam) semestinya menjadi sumber iman bagi mereka yang berpikir.
Jika
dibaca sepintas, fragmen-fragmen dalam cerpen ini tampak tidak kohesif,
berserak, sebagaimana ketika kita
membaca kitab suci. Namun, sesungguhnya ada seutas benang merah yang
menghubungkan fragmen-fragmen tersebut, yakni iman. Meski ada beberapa fragmen
(misal “Kematian Demi Keteladanan” dan “Ketentuan Selibat”) seolah-olah tidak
menggunjingkan masalah iman (tersebab kedua fragmen tersebut membincang ibrah
dan syariat), bagian tersebut tetap tidak bisa dihindari, sebab cerpen ini
adalah hasil transformasi dari sebuah narasi dalam kitab suci. Tak dapat
dipungkiri bahwa sebuah narasi kitab suci tidak hanya berbicara masalah iman,
tetapi persoalan-persoalan penting lainnya. Lalu apakah persoalan-persoalan
tersebut tidak berkorelasi dengan iman? Jawabannya tentu saja berkorelasi.
Syariat, misalnya, adalah laku seseorang untuk menandakan bahwa dia orang yang
beriman. Oleh karena itu, koda cerpen ini berbunyi, “121Jika datang
waktunya, berpegangteguhlah kamu (Tatimmah) pada imanmu sebab tak ada kekuatan
manusia yang lebih besar selain keimanannya”; yang menunjukkan bahwa seluruh
bagian dalam cerpen ini dibangun dalam konteks iman.
Kisah Maria dalam Injil, Quran, dan Wahyu Tatimmah
Cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan
kepada Tatimmah” adalah transformasi dari narasi Maria dalam kitab suci. Cerpen
ini berusaha mendialogkan kisah Maria dalam Injil dan Quran. Alhasil, kisah
Maria dalam cerpen ini menjadi baru. Sejumlah fragmen yang ditampilkan cerpen
ini tidak ada rujukannya, baik dalam Injil maupun Quran.
Cerpen
ini dihidupkan oleh tiga karakter, yakni Sef (Yosef), Maria, dan bayi (Isa/Yesus).
Maria dan Yesus adalah karakter-karakter yang terdapat dalam Injil dan Quran,
tetapi Yosef si tukang kayu hanya terdapat dalam Injil. Yosef adalah tunangan
Maria yang pada akhirnya menjadi suami Maria. Dalam Injil diketahui bahwa ia
adalah keturunan Abraham—dan Adam—dalam pohon silsilah yang amat panjang.
Dalam cerpen ini, fragmen-fragmen yang melibatkan Yosef tidak merujuk pada
Injil, misalnya percakapan antara Yosef dengan orang-orang Israel, Maria, dan
sang bayi, pun fragmen terbakarnya Yosef.
Perhatikan
kutipan berikut.
8Ingatlah
ketika tukang kayu itu menemui tunangannya yang telah hamil di rumahnya. 9(Calon)
istrinya itu berkata: “Benar. Aku telah hamil. Alangkah baiknya kita batalkan
pertunangan. Bilakah telah lahir, ia anakku, bukan anakmu.” 10Ia
lelaki berdada karang lalu dipandanginya kekasihnya dengan likat dan
disenyuminya perempuan yang telah tiga bulan meninggalkannya. 11Berkatalah
Sef, “Duh perempuan berhati rembulan, aku telah tahu. Aku jauh telah tahu.
Untuk itulah aku meminangmu sebelum kamu hamil. Sejahtera dan bahagialah
orang-orang yang telah mendengar kehamilanmu.”
Dalam kutipan tersebut, lantaran begitu cintanya kepada Maria,
Yosef tetap ingin menikahinya. Ia tidak peduli gunjingan orang tentang Maria
dan ia juga mengabaikan kenyataan bahwa Maria telah hamil di luar ikatan
perkawinan. Dalam Injil, yang terjadi adalah sebaliknya. Karena tahu bahwa
Maria hamil, Yusuf berencana membatalkan ikatannya dengan perempuan itu hingga
malaikat Tuhan menampakkan diri kepadanya melalui mimpi.
Karena
Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama
isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya diam-diam. Tetapi ketika ia
mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan
berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai
isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus….”
Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat
Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya….
Segala
laku Yosef dalam cerpen ini digerakkan oleh motif cinta kepada kekasihnya.
Bahkan, mukjizat paling musykil pun—yang ditunjukkan dalam interaksi antara
Yosef dengan sang bayi—tidak mampu mengalihkan rasa percayanya yang begitu
besar kepada Maria. Kepercayaan yang begitu dalam itu hadir karena cinta.
Sebagian besar narasi Maria dalam
cerpen ini ditransformasikan dari teks Quran. Fragmen-fragmen yang
ditransformasikan dari teks Quran antara lain, pergunjingan orang-orang atas
kehamilan Maria;
proses kelahiran Yesus di bawah pohon; mukjizat
Yesus yang dapat berbicara ketika masih dalam buaian; mukjizat
Yesus yang membikin burung dari tanah.
Meski demikian, fragmen-fragmen dari
teks Quran itu tidak disalin mentah-mentah. Fragmen-fragmen tersebut telah dimodifikasi
sehingga narasi Maria dalam wahyu Tatimmah tampil dengan wajah yang berbeda
(meski tak sepenuhnya berbeda). Proses kelahiran bayi Yesus, misalnya, dalam
Quran digambarkan terjadi di bawah pohon kurma. Namun, dalam cerpen ini,
fragmen tersebut mengalami pelokalan dengan mengubah latar kelahiran tersebut
di bawah pohon pisang (tanaman tropis). Begitu juga fragmen Yesus yang membuat
burung dari tanah. Dalam Quran, Yesus mengandalkan mukjizat tersebut ketika ia berusia
dewasa dan peristiwa itu terjadi dalam konteks polemik sang rasul dengan
lawan-lawannya. Sementara itu, dalam cerpen ini, Yesus membuat burung dari
tanah ketika ia masih kanak-kanak dan peristiwa tersebut terjadi dalam konteks
tamsil tentang ihwal kejadian manusia. Kombinasi
kedua teks kitab suci dalam cerpen tersebut ditambah dengan pemodifikasian
konteks cerita telah menghasilkan semacam varian kisah Maria. Bila Injil dan
Quran merupakan korpus kanon yang merekam riwayat Maria, maka cerpen ini bisa
menjadi versi kisah Maria yang literer. Wahyu kesebelas yang diturunkan kepada
Tatimmah telah mencatat kisah Maria dalam langgam kenusantaraan (ditunjukkan
dengan artefak pohon pisang dan caping).
Narasi-Narasi Tradisi Islam
Selain
kisah Maria, cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” juga
memuat narasi-narasi tradisi Islam. Hadirnya narasi-narasi tersebut berfungsi
sebagai pendukung cerita. Melalui narasi-narasi tersebut, mungkin cerpenis
lebih mudah menyampaikan maksudnya. Narasi-narasi tersebut paling sering
disebutkan dalam fragmen “Berguru pada Binatang”. Dalam fragmen “Berguru pada
Binatang”, sebagian besar narasi tidak menjadi subcerita dalam cerpen.
Narasi-narasi tersebut hanya disinggung dalam satuan kalimat dan merupakan
bagian dari fragmen yang lebih besar.
Fragmen “Berguru pada Binatang”
dihadirkan dengan maksud bahwa manusia (laki-laki) selama ini mendapatkan
pelajaran hidup dari binatang. Kutipan-kutipan kisah tersebut diambil dari
parabel-parabel islami, baik yang dicatat oleh Quran maupun yang termaktub
dalam khazanah kitab tafsir dan tradisi sufisme. Cerita besar fragmen “Berguru pada
Binatang”, yaitu tentang tulang-tulang yang bangkit kembali menjadi seekor
kambing yang hidup dan utuh terinspirasi dari bangkitnya tulang belulang keledai
Uzair setelah mati seratus tahun yang lalu. ““… dan lihatlah kepada tulang
belulang keledai itu bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami
membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah
menghidupkan yang telah mati), dia pun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu.””
“Lelaki
yang mengubur saudaranya setelah melihat gagak menggali dan memasukkan jasad
sesamanya ke tanah” yang disinggung dalam cerpen tersebut merujuk kepada anak
sulung Adam yang tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap jenazah saudara
laki-laki yang telah dibunuhnya.
Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya dia menguburkan mayat saudaranya. Qabil
berkata, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung
gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu, jadilah
dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.
“Lelaki yang ditegur semut karena tak
berperilaku santun” merujuk kepada kisah Sulayman yang mendengar percakapan
semut.
Hingga
apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Hai
semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh
Sulayman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia tersenyum
dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu….
“Lelaki yang diajari bertaubat oleh
seekor paus” merujuk kepada kisah ditelannya Yunus oleh seekor paus setelah
diceburkan ke lautan.
Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah)
ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia
termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelan oleh ikan besar
dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang
banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai
hari berbangkit.
“Lelaki yang mengikuti ikan berenang
untuk belajar bersabar” merujuk kepada kisah Musa dan Yusak bin Nun sebelum
berjumpa dengan Khidir.
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku tidak
akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku
akan berjalan sampai bertahun-tahun.” Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan
dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil
jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa
kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa
letih karena perjalanan kita ini.” Muridnya menjawab, “Tahukah kamu tatkala
kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa
(menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk
menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan
cara yang aneh sekali.” Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu
keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan
seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat
di sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
“Lelaki yang disuapi remah-remah roti
oleh seekor burung untuk tetap hidup” bersumber dari kisah Malik bin Dinar yang
ketika melintasi gurun pasir untuk menunaikan haji ke Mekah, ia bertemu seorang
laki-laki di gua yang seluruh tubuhnya terikat. Laki-laki tersebut ternyata
juga sedang menuju Mekah, tetapi dalam perjalanan, hartanya dirampas oleh penyamun,
sedangkan dirinya diikat. Setelah lima hari kelaparan, Tuhan mengutus seekor
gagak untuk memberinya makan (roti) dan minum.
Dalam fragmen “Kematian Demi
Keteladanan”, diceritakan bahwa orang-orang yang marah lantaran sebagian yang
lain menuhankan anak lelaki Maria, membakar rumah Maria. Kebakaran tersebut
menyebabkan Yosef mati. Namun, Tuhan menyelamatkan Maria dengan “menjadikan api
itu air yang membasahi tubuh Maria.” Dari manakah sumber inspirasi fragmen
tersebut? Yang jelas bukan dari kisah Maria itu sendiri, baik kisah Maria dalam
Injil maupun Quran. Peristiwa tersebut tidak pernah dialami oleh Maria, tetapi fragmen
tersebut meminjam peristiwa pembakaran Ibrahim oleh Namrud dalam Quran. Ketika
Ibrahim dibakar, Tuhan berfirman, “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi
keselamatanlah bagi Ibrahim….”
Dalam fragmen “Ketentuan Selibat”
disinggung, “110Bukankah Kami pernah saling menukar anak-anak Manusia
Pertama agar sampai kepada kaummu? 111Dan Kami terima persembahan
yang tak dimuati nafsu telanjang binatang. 112Nafsu yang menyebabkan
pembunuhan pertama.” Bagian tersebut mencampuradukkan narasi kisah pembunuhan
pertama umat manusia dalam Quran dengan narasi dalam kitab tafsir.
Para mufasir seperti Tabari,
Zamarkhasyari, Razi, dan Baidlawi mencatat motif pembunuhan Habil. Adam
menghendaki Qabil kawin dengan saudara kembar Habil (bernama Labuda), dan
sebaliknya, Habil kawin dengan saudara kembar Qabil (Iklima). Namun, Qabil
menolak karena menganggap saudara kembarnya lebih cantik. Motif ini terdapat
dalam literatur Midras (Yahudi) dan Suryani (Kristen).
“111Dan Kami terima persembahan yang tak dimuati nafsu
telanjang binatang. 112Nafsu yang menyebabkan pembunuhan pertama”
merujuk kepada ayat-ayat yang menceritakan korban yang dipersembahkan anak-anak
Adam kepada Tuhan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak sulung Adam kepada
saudara laki-lakinya.
“Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya,
ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari
mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil)…. Maka hawa
nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu
dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”
Doktrin Tandingan
Polemik
antara Ulil Abshar Abdalla dengan Pendeta Ioanes Rakhmat tentang Penyaliban
Yesus dalam Quran menyimpulkan bahwa kitab suci Islam tersebut sedang
menciptakan teologi tandingan. Dengan merevisi kisah Penyaliban Yesus dalam
Injil, Quran hendak menolak doktrin soteriologi salib via dolorosa. Oleh karena itu, Quran mencatat bahwa Yesus tidak
wafat di tiang salib.
Tidak berbeda jauh dengan polemik
tersebut, cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” juga ingin menciptakan
doktrin tandingan, bukan tentang soteriologi salib, melainkan hidup selibat. Akibat
surat-surat Paulus yang bersikap ambivalen terhadap tubuh, dalam gereja abad
pertama, asketisme secara spesifik diartikulasikan dengan ide-ide tentang
kemartiran, keperawanan, dan hidup selibat yang dianggap sebagai pemasrahan
diri total kepada Tuhan.
Dalam fragmen “Ketentuan Selibat”,
narator (Kami/Tuhan) menganjurkan manusia untuk menikah. “108Tapi Aku tak memintamu
(Tatimmah) berselibat sebab memasukkan daging ke dalam daging adalah halal,
kecuali (daging) yang dicuri.” Yang dimaksud dengan “daging yang dicuri” dalam
cerpen itu barangkali adalah perselingkuan, pemerkosaan, dan hubungan badan
tanpa ikatan perkawinan. Bagi narator, hidup selibat hanyalah salah satu jalan
menundukkan nafsu telanjang binatang (nafsul amarah), yaitu nafsu rendah dan
keji yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang kegelapan.
Secara implisit,
cerpen ini menyiratkan bahwa manusia itu kompleks, terdiri atas raga dan jiwa. Hubungan
seksual adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ragawi, tetapi harus
dengan cara yang halal. Tidak sama dengan doktrin asketisme kekristenan, cerpen
ini tidak menegasikan nafsu yang bersumber dari tubuh. Dengan berhubungan
seksual, manusia juga dapat melindungi spesiesnya dari kepunahan.
Mungkinkah Beriman
Tanpa Perantara?
Lalu iman seperti apakah yang disoalkan secara spesifik dalam cerpen “Wahyu
Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah”? Dalam cerpen ini, kunci untuk
mengetahui persoalan iman terletak pada keyakinan Yosef. Pernyataan iman Yosef
direpresentasikan dalam dialog-dialognya. Ketika hamil oleh wahyu Tuhan, Maria
bertanya kepada tunangannya itu, 12“Apakah kamu percaya akan perkataan Tuhan?” Lelaki itu menjawab, 13“Bagaimana
aku percaya sementara Ia tak pernah berkata-kata padaku?” Atau ketika bayi Maria acap
bertanya kepada Yosef setelah mendemontrasikan mukjizat-mukjizatnya, “Masihkah kamu tidak percaya?” Lagi-lagi lelaki itu menjawab, 52“Aku
percaya pada ibumu.”
Iman
dalam cerpen ini adalah soal apakah ia bisa dibuktikan atau tidak. Agar dapat
dipercaya, eksistensi Tuhan beserta segala perbuatan-Nya harus bisa ditunjukkan
secara konkret. Pada mulanya, orang-orang menyangkal bahwa kehamilan Maria
disebabkan oleh wahyu Tuhan. Namun, setelah mukjizat-mukjizat itu tampak,
misalnya bayi Maria yang dapat berbicara, barulah mereka percaya bahwa
peristiwa itu terjadi karena kehendak Tuhan. Oleh karena itu tidak heran bila
cerpen ini seringkali menampilkan fenomena-fenomena mukjizati untuk menunjukkan
bahwa manusia membutuhkan tanda-tanda untuk dapat percaya.
Pertanyaannya,
mungkinkah manusia dapat beriman tanpa perantara? Sebab figur nabi, tanda-tanda
(baik yang kauliyah maupun kauniyah), mukjizat, menjadi perantara
manusia untuk beriman kepada eksisten yang lebih tinggi. Mungkin saja manusia
bisa beriman tanpa perantara, tetapi hal itu hanya terjadi pada manusia-manusia
yang berbicara langsung dengan Tuhan, misalnya para nabi. Sayangnya, tak semua
manusia dapat berbicara langsung dengan Tuhan. Maka, perantara menjadi jalan
iman bagi mereka yang tak pernah mendapatkan pengalaman tersebut. Kami (Tuhan)
dalam cerpen ini tak henti-hentinya berbicara bahwa manusia tak mungkin beriman
tanpa perantara. “19Sesungguhnya tak ada keimanan sebelum datang
kepercayaan padanya…. 64Kami
hidupkan kembali kambing itu agar kamu dapat belajar dan beriman…. 75Kami
kisahkan (kembali) kepadamu agar kamu mengingatnya. 76Sebab ingatan
manusia sering melemahkan iman. 77Jadi, masihkah kamu tidak
percaya?”
Meski
demikian, secara implisit cerpen ini hendak mengatakan bahwa manusia bisa
memperoleh pengalaman transendental melalui perantara tersebut. Prasyarat untuk
mendapatkan pengalaman ilahiah itu tidak lain adalah cinta—terma yang
seringkali didengung-dengungkan oleh para mistikus. Dalam cerpen ini, Yosef
hanya bisa memperoleh iman (transendental) karena ia cinta kepada Maria (sang
perantara). Yosef berkata, “Aku
percaya pada ibumu. Aku mencintainya.”
Begitulah
manusia, tak dapat berinteraksi langsung dengan Tuhan, tetapi dapat berhubungan
langsung dengan segala pancarannya. Manusia dapat mengenali Tuhan dalam
tanda-tanda, sebab segala yang terhampar di bumi adalah representasi wajah
Tuhan;
seluruh yang tergelar di alam adalah perlambang wujud Tuhan (tajalli).
Bahkan Tuhan lebih dekat daripada urat nadi manusia.
Kesadaran transendental semacam itu hanya dimiliki oleh seorang pecinta (asyiq).
Cerpen
ini begitu optimis berbicara tentang iman. “20Berimanlah
untuk kebaikanmu tanpa rasa ragu dan takut. 21Imanmu adalah
kekuatan. 22Tak ada kekuatan manusia yang lebih besar selain
keimanannya.”
Pernyataan demikian diulang kembali pada akhiran cerpen. Bagi cerpen ini,
orang-orang yang tidak beriman adalah “orang-orang
yang tak percaya bahwa Maria mengandung wahyu Kami.” Artinya, orang-orang yang tak
percaya adalah orang-orang yang menyangkal tanda-tanda atau perantara. Bahkan,
mungkin orang-orang yang tak percaya telah menyangkal dirinya sendiri, sebab
keberadaan manusia adalah salah satu tanda eksistensi Tuhan.
Penyangkalan
terhadap iman adalah penyangkalan terhadap fitrah diri sebagai makhluk yang
bertuhan. Sekufur bagaimanapun manusia, semestinya ia masih memiliki iman meski
hanya sekecil zarah, sebab sejak dalam janin, manusia telah mengikrarkan
perjanjian primordial dengan Tuhan. ““Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka berkata, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.””
Menuju Iman Hakiki
Apakah
iman berhenti sebatas iman (kepada Tuhan)? Tampaknya cerpen ini mengusung
semangat profetik dengan menghadirkan kesadaran ketuhanan sebagai kesadaran
kemanusiaan.
Beriman adalah perihal hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama
manusia.
Bahkan dalam cerpen ini Tuhan berkata, “116Dan janganlah berlebih-lebihan, juga dalam beribadah. 117Ibarat
anggur ibadah dapat memabukkan, melupakanmu dari apa yang ada di sekitarmu.”
Seseorang tidak
dikatakan lengkap keimanannya bila hanya mementingkan aspek ibadah formal
sembari mengabaikan penderitaan manusia lainnya. Iman yang hakiki adalah iman
yang menyapa orang-orang lemah, tertindas, dan termarjinalkan. Oleh karena
itulah dalam cerpen ini Tuhan berfirman, “118Tidaklah Aku ciptakan
manusia untuk menyembah-Ku kecuali bermanfaat bagi orang-orang di
sekelilingnya.”
Kenyataannya,
nafsu serakah telah mengalihkan manusia dari sensitif kemanusiaan. Sebagai
tanda keprihatinan, cerpen ini berkata, “119Akan datang waktunya
ketika manusia lebih suka berebutan daging daripada saling berbagi roti. 120Akan
datang waktunya ketika manusia lebih suka menumpahkan darah daripada saling
mengisi anggur.” Korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, pembegalan, dan kasus-kasus
kriminalitas lainnya terjadi karena buah ketamakan manusia. Lalu pada ayat
terakhir, cerpen ini menyeru, “121Jika datang waktunya,
berpegangteguhlah kamu (Tatimmah) pada imanmu sebab tak ada kekuatan manusia
yang lebih besar selain keimanannya,” yaitu kekuatan untuk memberi makan mereka
yang lapar, memberi minum mereka yang haus, memberi perlindungan bagi orang
asing, memberi pakaian mereka yang telanjang, dan merawat mereka yang sakit,
sebab apa yang kamu lakukan untuk mereka, kamu telah melakukannya untuk Tuhan.
Daftar Bacaan
Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etika dan Struktur Sastra.
Yogyakarta: Multi Presindo & LSBO PP Muhammadiyah.
Lembaga
Alkitab Indonesia. 2005. Alkitab.
Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Lings, Martin. 1991. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Terjemahan
Qamaruddin S.F. 2014. Jakarta: Serambi.
Muthari, Abdul Hadi Wiji. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan
Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Synnott, Anthony. 1993. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Terjemahan Pipit
Maizier. 2007. Yogyakarta: Jalasutra.
Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Al-Quran. 2004. Al-Jumanatul
Ali: Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: J-Art.
Zainuddin, Ahmad. 2012. Apakah Anda Termasuk Sebaik-baik Manusia?
(Online), (www.muslim.or.id), diakses
8 Mei 2015.