Jumat, 29 Januari 2016

Mengenal Muhammad Lebih Dekat



Sudah bisa dipastikan bahwa untuk mengetahui sejarah Islam perdana, kita harus mengetahui riwayat hidup Muhammad. Islam dan Muhammad adalah dua hal yang identik. Dari dirinyalah Tuhan menurunkan wahyu yang ujung-ujungnya menjadi pengikat dari terbentuknya institusi monoteis baru yang dikenal dengan nama Islam.
            Buku Muslim Pertama karya penulis Inggris (yang berdomisili di Amerika) ini menjadi sebuah alternatif untuk memahami perjalanan hidup Muhammad di tengah banyaknya buku serupa. Bagi pembaca muslim, buku karya jurnalis Barat tersebut tidak perlu ditakuti karena jauh dari prasangka orientalisme Saidian. Meskipun Hazleton merujuknya pada biografi otoritatif, yakni Sirat Rasul Allah Ibnu Ishaq dan Tarikh ar-Rasul wa-al-Mulk a-Tabari, sebagai pengamat dari luar, ia tetap kritis dan memilih jalan seobjektif mungkin dengan berusaha memisahkan “yang legenda” dengan “yang faktual”. Alhasil, buku tersebut tampil apa adanya sebagai kenyataan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Muslim Pertama dimulai dengan masa kecil Muhammad yang begitu malang. Sebagai bocah yatim dengan konsekuensi adat Arab pra-Islam yang melingkupinya, kehidupan Muhammad bisa dikatakan sangat menyakitkan. Tak sama dengan apa yang selama ini kita dengar, Muhammad kecil tampaknya tidak memiliki tanda-tanda bahwa dirinya akan menjadi seorang nabi. “Terutama karena sejak awal,” tulis Hazleton, “terlepas dari berbagai legenda, tanda-tandanya tampak tidak menjanjikan. Bahkan, pengamat objektif mana pun barangkali akan menyimpulkan bahwa Muhammad adalah calon paling tidak mungkin untuk mengemban kenabian, karena bintang apa pun yang menaungi kelahirannya tidak tampak benderang.”
            Muhammad ala Hazleton adalah biografi yang begitu menyedihkan dalam menuturkan masa kecilnya. Siapa yang menyangka bahwa lelaki yang kelak dianggap sebagai rasul terakhir itu memiliki masa kecil yang kurang bahagia. Kelahirannya yang mungkin tidak dikehendaki oleh klannya sendiri, Bani Hasyim—lantaran ayahnya telah mati—membuatnya terlalu lama berada dalam asuhan inangnya, Halimah, seorang perempuan Badui miskin yang mengharapkan bayaran yang pantas atas jasanya. Akibatnya, sebagai anak Quraisy tulen, sejak kecil Muhammad telah mengalami keterputusan dengan identitasnya sendiri; takdir telah menjadikannya sebagai manusia yang mengalami krisis ontologis sejak usia dini.
            Namun, kehidupan keras itulah yang pada akhirnya menempa Muhammad sebagai manusia yang paling tangguh dalam mempertahankan hidupnya—dan barangkali prinsipnya. Muhammad remaja digambarkan sebagai pemuda yang sangat dedikatif dalam menghadapi setiap pekerjaan yang diembankan kepadanya. Oleh karena itulah, Abu Thalib, sang paman memercayakan komoditas bisnisnya kepada Muhammad meskipun kepala Bani Hasyim tersebut juga menolak mentah-mentah lamaran Muhammad terhadap putrinya, Fakhita.
            Penolakan Abu Thalib terhadap lamaran Muhammad memang ada untungnya. Seandainya Muhammad menjadi istri Fakhita, barangkali ia takkan pernah dilamar oleh seorang janda kaya wanita karir, Khadijah yang kelak berperan begitu penting dalam perjalanan awal misi kenabiannya. Sebagai orang yang “tidak memiliki apa-apa” dan “bukan siapa-siapa”, orang-orang kala itu menganggap Muhammad tengah dijangkiti sejenis “sindrom janda kaya”. Namun, terlepas dari apa pun yang orang-orang nilai tentang dirinya, kenyataannya tidaklah demikian. Di tengah banyaknya hubungan perkawinan yang didasari oleh motif pragmatis, rumah tangga Muhammad dengan Khadijah menunjukkan bahwa kisah cinta romantis itu memang ada.
            Bagi Muhammad, Khadijah adalah sosok yang takkan terganti. Memang, pada akhirnya Muhammad akan menikahi banyak perempuan. Namun, Hazleton menunjukkan bahwa pernikahan-pernikahan Muhammad di kemudian lebih digerakkan oleh alasan politik. Sebagai seorang negarawan yang sedang memperjuangkan ekspansi geografis, ia dituntut menikahi perempuan-perempuan dari banyak kalangan untuk membangun aliansi yang kokoh.
            Dalam buku tersebut, penuturan tentang sosok Aisyah menjadi cerita yang paling menarik. Putri sahabat lengket Muhammad, Abu Bakar tersebut digambarkan sebagai istri Muhammad yang paling cerewet dengan sifat khasnya sebagai seorang remaja. Muhammad yang dewasa dan begitu bijaksana tentu memaklumi kenakalan kekanak-kanakan Aisyah. Dan tentu saja tak ada yang lebih berani mengatakan “wanita tua ompong yang telah diganti Allah dengan yang lebih baik” kepada mendiang Khadijah selain Aisyah ketika gadis remaja tersebut begitu cemburu kepada istri pertama Muhammad itu.
            Dengan latar belakang akademiknya yang psikologi, Hazleton kerap menggunakan perangkat psikoanalisis untuk mendalami kepribadian Muhammad. Oleh karena itulah ia tidak menyia-nyiakan untuk tidak menceritakan masa kecil Muhammad dengan detail. Hal ini sangat membantu kita dalam memahami tindakan-tindakan Muhammad selama hidupnya yang merupakan efek dari masa lalunya. Perspektif ini pulalah yang barangkali tidak pernah ditulis oleh para biografer Muhammad yang lain.
            Muslim Pertama adalah riwayat hidup Muhammad yang ditulis dengan bahasa yang sangat emosional. Membaca beberapa bagian cerita akan membuat kita terenyuh—atau untuk beberapa yang sensitif niscaya akan meneteskan air mata. Misalnya adegan kematian ibu Muhammad, Aminah; dilarangnya Muhammad berdakwah oleh Abu Thalib; pertemuan Muhammad dengan kakak angkatnya, Syayma’ ketika penyerbuan Taif, ditulis dengan sangat dramatis. Lain dari itu, buku yang ditulis dengan gaya humor khas Amerika ini juga akan membuat kita tertawa. Penuturannya yang seperti novel drama-komedi akan membuat pembaca tidak merasa bosan; tidak merasa sedang membaca sebuah risalah ilmiah.
            Dibandingkan dengan Muhammad karya Karen Armstrong, biografi yang ditulis oleh Hazleton ini lebih tampak netral. Bila Armstrong selalu mengafirmasi setiap tindakan Muhammad yang dianggap negatif, Hazleton meminimalkan itu. Bahkan, Hazleton—tanpa tendensi pada apa pun—secara tersirat menganggap bahwa wahyu yang turun di Madinah turut serta melegitimasi setiap kebijakan politik Muhammad. Dengan wawasan tradisi Arab dan politik yang dimilikinya, Hazleton memperkirakan kemungkinan-kemungkinan terhadap kejadian-kejadian  yang tampak “tidak masuk akal” yang dialami Muhammad.
Tentu saja, ya, tentu saja, Muslim Pertama karya Lesley Hazlenton begitu berharga untuk dimiliki oleh seorang muslim atau nonmuslim yang menekuni Muhammad.

Visi Kelahiran Sang Nabi




Periode terakhir Arab kuno pra-Islam dikenal sebagai masa Jahiliyah. Jahiliyah yang secara harfiah berarti “kebodohan” sama sekali tidak memiliki makna bahwa masyarakat Arab kala itu tidak memiliki peradaban atau kemampuan intelektual yang memadai. Sebab masyarakat Arab saat itu memiliki kebudayaan literasi yang sangat tinggi.
Yang dimaksud jahiliyah dalam konteks tersebut adalah terdegradisinya sikap moral yang merujuk pada tradisi luhur etnik yang menjunjung tinggi nilai komunal. Norma tak tertulis tersebut mengharuskan setiap anggota suku untuk memerhatikan anggota yang lemah. Itu berarti kepentingan suku diletakkan di atas kepentingan individu. Hal ini tercermin dari salah satu ideologi etnik bernama muruwah. Seorang pakar agama semitik, Karen Armstrong mengartikan muruwah tidak hanya sebagai “kejantanan” sebagaimana yang disinyalir oleh sarjana-sarjana Barat. Ia memaknai muruwah lebih luas sebagai keberanian dalam peperangan, kesabaran dan ketabahan dalam penderitaan, serta kesetiaan mutlak kepada suku.
Sang pemimpin suku (sayyid) membagi kekayaan yang dimilikinya secara merata dan adil kepada anggota suku. Gaya kepemimpinan yang bercorak sosialis ini memang telah memberi keuntungan kepada semua anggota suku yang memiliki hidup nomadik, rentan kelaparan, dan pertikaian antarsuku yang acapkali menggiring mereka pada kebrutulan tak berkesudahan (lingkaran setan) akibat hukum rimba “nyawa dibalas nyawa”.
Bencana muncul ketika mereka mengalami sebuah kemajuan yang spektakuler. Gaya hidup kapitalisme yang diserap dari dua peradaban besar (imperium Persia Sassanian dan Byzantium) yang mengepung mereka telah mencerabut nilai-nilai adiluhung etnik. Alhasil, yang kaya tak lagi peduli pada yang miskin dan yang kuat juga tak peduli pada yang lemah.
Karuntuhan moral masyakarat Arab telah membuat seorang pemuda bernama Muhammad mengalami pukulan yang tak tertanggungkan. Ia adalah seorang anggota klan miskin, Bani Hasyim yang terkena dampak dari kejamnya kapitalisme. Sebagaimana tradisi masyarakat Jaziran Arab pada umumnya, setiap bulan Ramadan Muhammad kerap bermeditasi di Gua Hira untuk berdoa kepada Tuhan, refleksi diri, memikirkan solusi atas kerusakan akhlak masyarakatnya, dan membagi-bagikan sedekah kepada kaum fakir miskin. Ia tak pernah tahu bahwa dari situlah ia akan mengalami sebuah keajaiban yang menakjubkan.
Bermula pada sebuah malam ketujuh belas bulan Ramadan. Muhammad sama sekali tak menduga bahwa malam itu akan mengubah takdirnya dan takdir semua manusia di dunia. Barangkali benar apa yang dikatakan Ben Okri, semua agama besar dimulai sebagai serangkaian impian. Muhammad memang memiliki kesadaran bahwa yang bisa mengubah kondisi terpuruk masyarakatnya adalah seorang messiah, tetapi tak terbersit sedikit pun pikiran bahwa dirinyalah yang akan ditunjuk Tuhan sebagai seorang nabi.
Yang ia alami saat itu adalah didekap sesosok malaikat yang memberinya sebuah perintah singkat, “Bacalah!” Sebagaimana nabi-nabi Israel pada umumnya yang merasa berat lidah mengucapkan firman, ia menjawab, “Aku bukanlah seorang pembaca.” Tetapi, pemaksaan yang dilakukan Jibril sang malaikat akhirnya membuat Muhammad lancar mengucapkan kalimat-kalimat yang bukan berasal dari dirinya. Sebuah wahyu telah diucapkan untuk pertama kalinya dalam bahasa Arab yang kelak disebut quran (bacaan).
Kala itu Muhammad merasa bahwa ia telah menjadi seorang kahin, dukun yang kerap mengalami akstasi dan mengeluarkan syair-syair abstrak yang tak dapat dijangkau maknanya. Ia tak bisa membayangkan, betapa tak terhormatnya bila banyak orang meminta pendapatnya atas ternak mereka yang hilang. Kemampuan seorang kahin diduga berasal dari jin-jin penghuni padang pasir yang tengah menguasai tubuh dan bawah sadar.
Keraguan itulah yang membuat Jibril meyakinkan Muhammad bahwa dirinya memang telah menerima firman Tuhan dengan cara menampakkan diri sebagai sosok manusia di segala penjuru ufuk sebagaimana yang termaktub dalam Sirah Ibnu Ishaq. Secara naluriah, Muhammad terpekur di haribaan istrinya seraya bertanya dalam keadaan menggigil, apakah ia telah menjadi majnun. Khadijah sang istri meyakinkan suaminya bahwa Muhammad tak mungkin menjadi seorang majnun, sebab ia adalah orang yang memiliki cinta kasih kepada sesama.
Dari kondisi genting itulah Khadijah membawa Muhammad kepada sepupunya yang beragama Kristen dan sedang mempelajari Alkitab, Waraqah bin Naufal untuk berkonsultasi. Waraqah tak ragu bahwa Muhammad telah menerima wahyu dari Tuhan Ibrahim, Musa, Isa dan menjadikannya nabi bangsa Arab.
Pada masa-masa proses kreatif, Muhammad menerima firman Tuhan dalam berbagai kondisi. Kadangkala Jibri menampakkan sosoknya seperti manusia, tetapi yang paling berat adalah ketika firman itu muncul seperti gemerincing bunyi lonceng. Ia merasa jiwanya akan tercerabut dari raganya. Ia mesti mesti hati-hati menerjemahkan sesuatu yang tak kohern dan berada di luar dirinya yang kemudian menjadi bagian dari dirinya. Ketekunan (yang oleh Wordsworth disebut “kepasifan yang bijaksana”) itulah yang membuat firman (misterius) yang diterima Muhammad menjadi terungkap.
Selama proses pewahyuan, ayat-ayat (bagian terkecil dari Quran) hanya ditulis di atas batu, pelepah, tulang binatang, dan perkamen. Kompilasi resmi Quran baru tersusun pada zaman Khalifah Ustman atas kekuatirannya terhadap Quran yang muncul dalam berbagai varian bahasa.
Bagi beberapa sarjana Barat, Quran dinilai sebagai kitab suci yang aneh karena susunannya acak dan bertele-tele. Kenyataan, Quran memang kitab yang unik. Sebab ia tak memiliki kepentingan untuk menjadi sebuah “buku ilmiah” yang harus runtut. Ayat-ayat Quran bersifat kontemporer, turun untuk menjawab situasi penting yang kala itu sedang terjadi.
Bahasa Quran yang tak lugas (metaforik) dan “di luar jangkauan manusia” dinilai sebagai genre puisi baru dalam kusastraan Arab kuno. Tak sedikit orang pada saat itu yang rela masuk Islam lantaran tergila-gila pada estetika bahasa Quran. Di sini dapat dilihat bahwa Quran telah merasuk pada relung hati manusia bukan sebagai “firman”, tetapi sebagai “efek seni”. Tak ada yang mengira bahwa Muhammad sang empunya Quran telah menjadi seorang maestro yang menaklukkan para penyair Arab kenamaan, sebut saja Umar bin Khattab yang dinilai memiliki otoritas tinggi sebagai “presiden penyair” Arab pada saat itu. Oleh karena itu tak heran bila Quran tidak hanya dibaca untuk menggali timbunan makna yang terkandung  di dalamnya, ia juga dibaca dengan suara yang nyaring, liris, dan ritmik.
Salah satu proyek raksasa yang diusung Muhammad adalah kesetaraan gender. Islam datang untuk meruntuhkan nilai misoginis yang telah mengakar kuat dalam ideologi dan tradisi Arab Jahiliyah. Islam datang untuk membawa kabar gembira kepada para perempuan. Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam masalah publik dan mendapat akses seluas-luasnya untuk menerima ilmu pengetahuan. Orang-orang Arab tidak perlu lagi bersedih bila istri mereka melahirkan anak perempuan. Dalam konteks ini, Muhammad bisa dikatakan sebagai feminis tanpa jargon. Ia tak memiliki misi pribadi yang harus dipaksakan. Segala apa yang diusungnya murni tak terduga, semua berasal dari Tuhan yang Maha Esa.
Sayangnya pada beberapa generasi setelah Muhammad wafat, kaum laki-laki mengadopsi adat Persia dan Byzantium, menjatuhkan derajat perempuan ke jurang harga diri yang rendah. Tak ada lagi ruang terbuka bagi perempuan untuk beraktualisasi. Mereka hanya bisa berangan-angan di dalam harem yang terisolasi. Oleh karena itulah, para feminis muslim saat ini berjuang mengembalikan etos emansipatorik yang pernah diusung Muhammad dulu.
Yang paling berat dialami Muhammad adalah ketika ia menerima wahyu yang menegasikan dewa-dewa sesembahan masyakarat Arab. Secara umum, masyarakat Arab kuno memuja tiga dewa yang disebut sebagai banat Allah, antara lain: Latta (Dewi), Uzza (Yang Perkasa), dan Manat (Sang Penentu). Ketiganya adalah dewa perantara dan simbol perwujudan yang lebih rendah dari eksistensi tertinggi.
Hal ini menjadi pukulan mematikan bagi masyakarat Arab saat itu sehingga pengikut Muhammad menjadi berkurang. Mereka tak mungkin meninggalkan dewa-dewa yang telah dipuja sejak nenek moyang. Munculnya ayat radikal tersebut mengindikasikan bahwa Muhammad tak memberikan peluang tawar-menawar dalam kepercayaan teologis.
Barangkali inilah awal kemunculan ideologi tauhid dalam Islam. Secara hakikat, tauhid mengharuskan segala aktivitas manusia terintegrasi pada satu tujuan yang transenden. Poros yang fokus pada satu tujuan inilah yang telah menentang kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah: menyembah dewa-dewa yang tak memiliki koneksi apa pun pada kehidupan sehari-hari. Tuhan, dalam ideologi tauhid tidak hanya bermakna matematis, tetapi juga bermakna kiblat dalam menjalankan hidup yang serba banyak godaan.
Konsekuensi dari ideologi tauhid tidak hanya membuat masyarakat Arab menjadi berang, tetapi mereka juga memboikot transaksi ekonomi dengan kaum muslim. Kesulitan ekonomi kaum muslimlah yang membuat Muhammad harus cepat bertindak. Kabar bahwa masyarakat Yastrib (Madinah) ingin menerima ideologi baru yang diusung Muhammad menjadi angin segar bagi kaum muslim Mekah. Tanpa ragu lagi, Muhammad dan sekitar tujuh puluh orang muslim Mekah bermigrasi ke Yastrib. Gebrakan yang dilakukan Muhammad dinilai melecehkan tradisi Arab: melakukan gerakan sparatisme suku. 
Tetapi Muhammad memang orang yang jenius. Sebelum wafat, ia telah berhasil menyatukan hampir seluruh suku di kawasan Jazirah Arab. Ia membentuk sebuah mega-suku yang dikenal dengan istilah ummat. Berpijak dari landasan tauhid yang terkesan transenden, misi imanen ummat adalah menyebarkan ajaran keadilan, egalitarian, dan persatuan. Itulah visi universal dari lahirnya Islam, dari lahirnya Muhammad Sang Nabi.

Komunikasi, Tahun 35 Nomor 284 Januari-Februari 2013

Menyoal Iman Sekecil Zarah




Yang paling zahir dalam cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” karya Asef Saeful Anwar adalah persoalan iman. Sejumlah fragmen—yang diwujudkan subbagian—dalam cerpen ini merujuk pada isu iman. Fragmen “Kehamilan dalam Pertunangan”, misalnya, menguji iman seseorang untuk percaya bahwa apabila Tuhan berkehandak, maka terjadilah[1] meski fenomena tersebut sukar—atau bahkan tak bisa—dinalar oleh pikiran manusia[2]. Fragmen “Perumpamaan Manusia Diciptakan” juga menunjukkan nada serupa. Sementara itu, fragmen “Berguru pada Binatang” menunjukkan bahwa ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda yang terhampar di alam) semestinya menjadi sumber iman bagi mereka yang berpikir.
            Jika dibaca sepintas, fragmen-fragmen dalam cerpen ini tampak tidak kohesif, berserak,  sebagaimana ketika kita membaca kitab suci. Namun, sesungguhnya ada seutas benang merah yang menghubungkan fragmen-fragmen tersebut, yakni iman. Meski ada beberapa fragmen (misal “Kematian Demi Keteladanan” dan “Ketentuan Selibat”) seolah-olah tidak menggunjingkan masalah iman (tersebab kedua fragmen tersebut membincang ibrah dan syariat), bagian tersebut tetap tidak bisa dihindari, sebab cerpen ini adalah hasil transformasi dari sebuah narasi dalam kitab suci. Tak dapat dipungkiri bahwa sebuah narasi kitab suci tidak hanya berbicara masalah iman, tetapi persoalan-persoalan penting lainnya. Lalu apakah persoalan-persoalan tersebut tidak berkorelasi dengan iman? Jawabannya tentu saja berkorelasi. Syariat, misalnya, adalah laku seseorang untuk menandakan bahwa dia orang yang beriman. Oleh karena itu, koda cerpen ini berbunyi, “121Jika datang waktunya, berpegangteguhlah kamu (Tatimmah) pada imanmu sebab tak ada kekuatan manusia yang lebih besar selain keimanannya”; yang menunjukkan bahwa seluruh bagian dalam cerpen ini dibangun dalam konteks iman.

Kisah Maria dalam Injil, Quran, dan Wahyu Tatimmah
Cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” adalah transformasi dari narasi Maria dalam kitab suci. Cerpen ini berusaha mendialogkan kisah Maria dalam Injil dan Quran. Alhasil, kisah Maria dalam cerpen ini menjadi baru. Sejumlah fragmen yang ditampilkan cerpen ini tidak ada rujukannya, baik dalam Injil maupun Quran.
            Cerpen ini dihidupkan oleh tiga karakter, yakni Sef (Yosef), Maria, dan bayi (Isa/Yesus). Maria dan Yesus adalah karakter-karakter yang terdapat dalam Injil dan Quran, tetapi Yosef si tukang kayu hanya terdapat dalam Injil. Yosef adalah tunangan Maria yang pada akhirnya menjadi suami Maria. Dalam Injil diketahui bahwa ia adalah keturunan Abraham—dan Adam—dalam pohon silsilah yang amat panjang[3]. Dalam cerpen ini, fragmen-fragmen yang melibatkan Yosef tidak merujuk pada Injil, misalnya percakapan antara Yosef dengan orang-orang Israel, Maria, dan sang bayi, pun fragmen terbakarnya Yosef.
            Perhatikan kutipan berikut.
8Ingatlah ketika tukang kayu itu menemui tunangannya yang telah hamil di rumahnya. 9(Calon) istrinya itu berkata: “Benar. Aku telah hamil. Alangkah baiknya kita batalkan pertunangan. Bilakah telah lahir, ia anakku, bukan anakmu.” 10Ia lelaki berdada karang lalu dipandanginya kekasihnya dengan likat dan disenyuminya perempuan yang telah tiga bulan meninggalkannya. 11Berkatalah Sef, “Duh perempuan berhati rembulan, aku telah tahu. Aku jauh telah tahu. Untuk itulah aku meminangmu sebelum kamu hamil. Sejahtera dan bahagialah orang-orang yang telah mendengar kehamilanmu.”

Dalam kutipan tersebut, lantaran begitu cintanya kepada Maria, Yosef tetap ingin menikahinya. Ia tidak peduli gunjingan orang tentang Maria dan ia juga mengabaikan kenyataan bahwa Maria telah hamil di luar ikatan perkawinan. Dalam Injil, yang terjadi adalah sebaliknya. Karena tahu bahwa Maria hamil, Yusuf berencana membatalkan ikatannya dengan perempuan itu hingga malaikat Tuhan menampakkan diri kepadanya melalui mimpi.
Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya diam-diam. Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus….” Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya….[4]

Segala laku Yosef dalam cerpen ini digerakkan oleh motif cinta kepada kekasihnya. Bahkan, mukjizat paling musykil pun—yang ditunjukkan dalam interaksi antara Yosef dengan sang bayi—tidak mampu mengalihkan rasa percayanya yang begitu besar kepada Maria. Kepercayaan yang begitu dalam itu hadir karena cinta.
            Sebagian besar narasi Maria dalam cerpen ini ditransformasikan dari teks Quran. Fragmen-fragmen yang ditransformasikan dari teks Quran antara lain, pergunjingan orang-orang atas kehamilan Maria[5]; proses kelahiran Yesus di bawah pohon[6]; mukjizat Yesus yang dapat berbicara ketika masih dalam buaian[7]; mukjizat Yesus yang membikin burung dari tanah[8].
            Meski demikian, fragmen-fragmen dari teks Quran itu tidak disalin mentah-mentah. Fragmen-fragmen tersebut telah dimodifikasi sehingga narasi Maria dalam wahyu Tatimmah tampil dengan wajah yang berbeda (meski tak sepenuhnya berbeda). Proses kelahiran bayi Yesus, misalnya, dalam Quran digambarkan terjadi di bawah pohon kurma. Namun, dalam cerpen ini, fragmen tersebut mengalami pelokalan dengan mengubah latar kelahiran tersebut di bawah pohon pisang (tanaman tropis). Begitu juga fragmen Yesus yang membuat burung dari tanah. Dalam Quran, Yesus mengandalkan mukjizat tersebut ketika ia berusia dewasa dan peristiwa itu terjadi dalam konteks polemik sang rasul dengan lawan-lawannya. Sementara itu, dalam cerpen ini, Yesus membuat burung dari tanah ketika ia masih kanak-kanak dan peristiwa tersebut terjadi dalam konteks tamsil tentang ihwal kejadian manusia.            Kombinasi kedua teks kitab suci dalam cerpen tersebut ditambah dengan pemodifikasian konteks cerita telah menghasilkan semacam varian kisah Maria. Bila Injil dan Quran merupakan korpus kanon yang merekam riwayat Maria, maka cerpen ini bisa menjadi versi kisah Maria yang literer. Wahyu kesebelas yang diturunkan kepada Tatimmah telah mencatat kisah Maria dalam langgam kenusantaraan (ditunjukkan dengan artefak pohon pisang dan caping).

Narasi-Narasi Tradisi Islam
Selain kisah Maria, cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” juga memuat narasi-narasi tradisi Islam. Hadirnya narasi-narasi tersebut berfungsi sebagai pendukung cerita. Melalui narasi-narasi tersebut, mungkin cerpenis lebih mudah menyampaikan maksudnya. Narasi-narasi tersebut paling sering disebutkan dalam fragmen “Berguru pada Binatang”. Dalam fragmen “Berguru pada Binatang”, sebagian besar narasi tidak menjadi subcerita dalam cerpen. Narasi-narasi tersebut hanya disinggung dalam satuan kalimat dan merupakan bagian dari fragmen yang lebih besar.
            Fragmen “Berguru pada Binatang” dihadirkan dengan maksud bahwa manusia (laki-laki) selama ini mendapatkan pelajaran hidup dari binatang. Kutipan-kutipan kisah tersebut diambil dari parabel-parabel islami, baik yang dicatat oleh Quran maupun yang termaktub dalam khazanah kitab tafsir dan tradisi sufisme. Cerita besar fragmen “Berguru pada Binatang”, yaitu tentang tulang-tulang yang bangkit kembali menjadi seekor kambing yang hidup dan utuh terinspirasi dari bangkitnya tulang belulang keledai Uzair setelah mati seratus tahun yang lalu. ““… dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), dia pun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.””[9]
            Lelaki yang mengubur saudaranya setelah melihat gagak menggali dan memasukkan jasad sesamanya ke tanah” yang disinggung dalam cerpen tersebut merujuk kepada anak sulung Adam yang tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap jenazah saudara laki-laki yang telah dibunuhnya.
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya dia menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.[10]
           
“Lelaki yang ditegur semut karena tak berperilaku santun” merujuk kepada kisah Sulayman yang mendengar percakapan semut.
Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulayman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu….[11]
           
“Lelaki yang diajari bertaubat oleh seekor paus” merujuk kepada kisah ditelannya Yunus oleh seekor paus setelah diceburkan ke lautan.
Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.[12]
           
“Lelaki yang mengikuti ikan berenang untuk belajar bersabar” merujuk kepada kisah Musa dan Yusak bin Nun sebelum berjumpa dengan Khidir.
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” Muridnya menjawab, “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat di sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.[13]
           
“Lelaki yang disuapi remah-remah roti oleh seekor burung untuk tetap hidup” bersumber dari kisah Malik bin Dinar yang ketika melintasi gurun pasir untuk menunaikan haji ke Mekah, ia bertemu seorang laki-laki di gua yang seluruh tubuhnya terikat. Laki-laki tersebut ternyata juga sedang menuju Mekah, tetapi dalam perjalanan, hartanya dirampas oleh penyamun, sedangkan dirinya diikat. Setelah lima hari kelaparan, Tuhan mengutus seekor gagak untuk memberinya makan (roti) dan minum.[14]
            Dalam fragmen “Kematian Demi Keteladanan”, diceritakan bahwa orang-orang yang marah lantaran sebagian yang lain menuhankan anak lelaki Maria, membakar rumah Maria. Kebakaran tersebut menyebabkan Yosef mati. Namun, Tuhan menyelamatkan Maria dengan “menjadikan api itu air yang membasahi tubuh Maria.” Dari manakah sumber inspirasi fragmen tersebut? Yang jelas bukan dari kisah Maria itu sendiri, baik kisah Maria dalam Injil maupun Quran. Peristiwa tersebut tidak pernah dialami oleh Maria, tetapi fragmen tersebut meminjam peristiwa pembakaran Ibrahim oleh Namrud dalam Quran. Ketika Ibrahim dibakar, Tuhan berfirman, “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim….”[15]  
            Dalam fragmen “Ketentuan Selibat” disinggung, “110Bukankah Kami pernah saling menukar anak-anak Manusia Pertama agar sampai kepada kaummu? 111Dan Kami terima persembahan yang tak dimuati nafsu telanjang binatang. 112Nafsu yang menyebabkan pembunuhan pertama.” Bagian tersebut mencampuradukkan narasi kisah pembunuhan pertama umat manusia dalam Quran dengan narasi dalam kitab tafsir.
Para mufasir seperti Tabari, Zamarkhasyari, Razi, dan Baidlawi mencatat motif pembunuhan Habil. Adam menghendaki Qabil kawin dengan saudara kembar Habil (bernama Labuda), dan sebaliknya, Habil kawin dengan saudara kembar Qabil (Iklima). Namun, Qabil menolak karena menganggap saudara kembarnya lebih cantik. Motif ini terdapat dalam literatur Midras (Yahudi) dan Suryani (Kristen).[16]
111Dan Kami terima persembahan yang tak dimuati nafsu telanjang binatang. 112Nafsu yang menyebabkan pembunuhan pertama” merujuk kepada ayat-ayat yang menceritakan korban yang dipersembahkan anak-anak Adam kepada Tuhan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak sulung Adam kepada saudara laki-lakinya.
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil)…. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”[17]

Doktrin Tandingan
Polemik antara Ulil Abshar Abdalla dengan Pendeta Ioanes Rakhmat tentang Penyaliban Yesus dalam Quran menyimpulkan bahwa kitab suci Islam tersebut sedang menciptakan teologi tandingan. Dengan merevisi kisah Penyaliban Yesus dalam Injil, Quran hendak menolak doktrin soteriologi salib via dolorosa. Oleh karena itu, Quran mencatat bahwa Yesus tidak wafat di tiang salib.[18]
            Tidak berbeda jauh dengan polemik tersebut, cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah” juga ingin menciptakan doktrin tandingan, bukan tentang soteriologi salib, melainkan hidup selibat. Akibat surat-surat Paulus yang bersikap ambivalen terhadap tubuh, dalam gereja abad pertama, asketisme secara spesifik diartikulasikan dengan ide-ide tentang kemartiran, keperawanan, dan hidup selibat yang dianggap sebagai pemasrahan diri total kepada Tuhan.[19]
            Dalam fragmen “Ketentuan Selibat”, narator (Kami/Tuhan) menganjurkan manusia untuk menikah. “108Tapi Aku tak memintamu (Tatimmah) berselibat sebab memasukkan daging ke dalam daging adalah halal, kecuali (daging) yang dicuri.” Yang dimaksud dengan “daging yang dicuri” dalam cerpen itu barangkali adalah perselingkuan, pemerkosaan, dan hubungan badan tanpa ikatan perkawinan. Bagi narator, hidup selibat hanyalah salah satu jalan menundukkan nafsu telanjang binatang (nafsul amarah), yaitu nafsu rendah dan keji yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang kegelapan.
            Secara implisit, cerpen ini menyiratkan bahwa manusia itu kompleks, terdiri atas raga dan jiwa. Hubungan seksual adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ragawi, tetapi harus dengan cara yang halal. Tidak sama dengan doktrin asketisme kekristenan, cerpen ini tidak menegasikan nafsu yang bersumber dari tubuh. Dengan berhubungan seksual, manusia juga dapat melindungi spesiesnya dari kepunahan.

Mungkinkah Beriman Tanpa Perantara?
Lalu iman seperti apakah yang disoalkan secara spesifik dalam cerpen “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah”? Dalam cerpen ini, kunci untuk mengetahui persoalan iman terletak pada keyakinan Yosef. Pernyataan iman Yosef direpresentasikan dalam dialog-dialognya. Ketika hamil oleh wahyu Tuhan, Maria bertanya kepada tunangannya itu, 12“Apakah kamu percaya akan perkataan Tuhan?” Lelaki itu menjawab, 13“Bagaimana aku percaya sementara Ia tak pernah berkata-kata padaku?” Atau ketika bayi Maria acap bertanya kepada Yosef setelah mendemontrasikan mukjizat-mukjizatnya, “Masihkah kamu tidak percaya?” Lagi-lagi lelaki itu menjawab, 52“Aku percaya pada ibumu.
            Iman dalam cerpen ini adalah soal apakah ia bisa dibuktikan atau tidak. Agar dapat dipercaya, eksistensi Tuhan beserta segala perbuatan-Nya harus bisa ditunjukkan secara konkret. Pada mulanya, orang-orang menyangkal bahwa kehamilan Maria disebabkan oleh wahyu Tuhan. Namun, setelah mukjizat-mukjizat itu tampak, misalnya bayi Maria yang dapat berbicara, barulah mereka percaya bahwa peristiwa itu terjadi karena kehendak Tuhan. Oleh karena itu tidak heran bila cerpen ini seringkali menampilkan fenomena-fenomena mukjizati untuk menunjukkan bahwa manusia membutuhkan tanda-tanda untuk dapat percaya.
Pertanyaannya, mungkinkah manusia dapat beriman tanpa perantara? Sebab figur nabi, tanda-tanda (baik yang kauliyah maupun kauniyah), mukjizat, menjadi perantara manusia untuk beriman kepada eksisten yang lebih tinggi. Mungkin saja manusia bisa beriman tanpa perantara, tetapi hal itu hanya terjadi pada manusia-manusia yang berbicara langsung dengan Tuhan, misalnya para nabi. Sayangnya, tak semua manusia dapat berbicara langsung dengan Tuhan. Maka, perantara menjadi jalan iman bagi mereka yang tak pernah mendapatkan pengalaman tersebut. Kami (Tuhan) dalam cerpen ini tak henti-hentinya berbicara bahwa manusia tak mungkin beriman tanpa perantara. “19Sesungguhnya tak ada keimanan sebelum datang kepercayaan padanya…. 64Kami hidupkan kembali kambing itu agar kamu dapat belajar dan beriman…. 75Kami kisahkan (kembali) kepadamu agar kamu mengingatnya. 76Sebab ingatan manusia sering melemahkan iman. 77Jadi, masihkah kamu tidak percaya?”
Meski demikian, secara implisit cerpen ini hendak mengatakan bahwa manusia bisa memperoleh pengalaman transendental melalui perantara tersebut. Prasyarat untuk mendapatkan pengalaman ilahiah itu tidak lain adalah cinta—terma yang seringkali didengung-dengungkan oleh para mistikus. Dalam cerpen ini, Yosef hanya bisa memperoleh iman (transendental) karena ia cinta kepada Maria (sang perantara). Yosef berkata, “Aku percaya pada ibumu. Aku mencintainya.”
            Begitulah manusia, tak dapat berinteraksi langsung dengan Tuhan, tetapi dapat berhubungan langsung dengan segala pancarannya. Manusia dapat mengenali Tuhan dalam tanda-tanda, sebab segala yang terhampar di bumi adalah representasi wajah Tuhan[20]; seluruh yang tergelar di alam adalah perlambang wujud Tuhan (tajalli)[21]. Bahkan Tuhan lebih dekat daripada urat nadi manusia.[22] Kesadaran transendental semacam itu hanya dimiliki oleh seorang pecinta (asyiq).
            Cerpen ini begitu optimis berbicara tentang iman. “20Berimanlah untuk kebaikanmu tanpa rasa ragu dan takut. 21Imanmu adalah kekuatan. 22Tak ada kekuatan manusia yang lebih besar selain keimanannya.[23] Pernyataan demikian diulang kembali pada akhiran cerpen. Bagi cerpen ini, orang-orang yang tidak beriman adalah “orang-orang yang tak percaya bahwa Maria mengandung wahyu Kami.” Artinya, orang-orang yang tak percaya adalah orang-orang yang menyangkal tanda-tanda atau perantara. Bahkan, mungkin orang-orang yang tak percaya telah menyangkal dirinya sendiri, sebab keberadaan manusia adalah salah satu tanda eksistensi Tuhan.
Penyangkalan terhadap iman adalah penyangkalan terhadap fitrah diri sebagai makhluk yang bertuhan. Sekufur bagaimanapun manusia, semestinya ia masih memiliki iman meski hanya sekecil zarah, sebab sejak dalam janin, manusia telah mengikrarkan perjanjian primordial dengan Tuhan. ““Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka berkata, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.””[24]
           
Menuju Iman Hakiki
Apakah iman berhenti sebatas iman (kepada Tuhan)? Tampaknya cerpen ini mengusung semangat profetik dengan menghadirkan kesadaran ketuhanan sebagai kesadaran kemanusiaan.[25] Beriman adalah perihal hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia.[26] Bahkan dalam cerpen ini Tuhan berkata, “116Dan janganlah berlebih-lebihan, juga dalam beribadah. 117Ibarat anggur ibadah dapat memabukkan, melupakanmu dari apa yang ada di sekitarmu.”
            Seseorang tidak dikatakan lengkap keimanannya bila hanya mementingkan aspek ibadah formal sembari mengabaikan penderitaan manusia lainnya. Iman yang hakiki adalah iman yang menyapa orang-orang lemah, tertindas, dan termarjinalkan. Oleh karena itulah dalam cerpen ini Tuhan berfirman, “118Tidaklah Aku ciptakan manusia untuk menyembah-Ku kecuali bermanfaat bagi orang-orang di sekelilingnya.”[27]
            Kenyataannya, nafsu serakah telah mengalihkan manusia dari sensitif kemanusiaan. Sebagai tanda keprihatinan, cerpen ini berkata, “119Akan datang waktunya ketika manusia lebih suka berebutan daging daripada saling berbagi roti. 120Akan datang waktunya ketika manusia lebih suka menumpahkan darah daripada saling mengisi anggur.” Korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, pembegalan, dan kasus-kasus kriminalitas lainnya terjadi karena buah ketamakan manusia. Lalu pada ayat terakhir, cerpen ini menyeru, “121Jika datang waktunya, berpegangteguhlah kamu (Tatimmah) pada imanmu sebab tak ada kekuatan manusia yang lebih besar selain keimanannya,” yaitu kekuatan untuk memberi makan mereka yang lapar, memberi minum mereka yang haus, memberi perlindungan bagi orang asing, memberi pakaian mereka yang telanjang, dan merawat mereka yang sakit, sebab apa yang kamu lakukan untuk mereka, kamu telah melakukannya untuk Tuhan.[28]
           
Daftar Bacaan
Abdalla, Ulil Abshar. 2007. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar. Jakarta: Nalar.
Anam, Hairul. 2014. Sepenggal Kisah Tawakal Seekor Kijang, (Online), (www.nu.or.id), diakses 8 Mei 2015.
Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etika dan Struktur Sastra. Yogyakarta: Multi Presindo & LSBO PP Muhammadiyah.
Lembaga Alkitab Indonesia. 2005. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Lings, Martin. 1991. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Terjemahan Qamaruddin S.F. 2014. Jakarta: Serambi.
Muthari, Abdul Hadi Wiji. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sirry, Mun’im. 2015. Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis. Bandung: Mizan.
Synnott, Anthony. 1993. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Terjemahan Pipit Maizier. 2007. Yogyakarta: Jalasutra.
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran. 2004. Al-Jumanatul Ali: Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: J-Art.
Zainuddin, Ahmad. 2012. Apakah Anda Termasuk Sebaik-baik Manusia? (Online), (www.muslim.or.id), diakses 8 Mei 2015.


[1] meminjam Yasin: 82
[2] Peristiwa kehamilan Maria (Maryam) mengingatkan kita pada pengalaman Isra’ Mi’raj Muhammad. Sebagaimana tanggapan orang-orang terhadap kehamilan Maria, peristiwa ajaib yang dialami Muhammad tersebut juga ditanggapi secara negatif oleh orang-orang Quraisy di Mekah (Lings, Martin. 1991. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Terjemahan Qamaruddin S.F. 2014. Jakarta: Serambi.).
[3] Matius 1:1—16 dan Lukas 3:23—38
[4] Matius 1:19, 20, 24, dan 25
[5] Maryam: 27—28
[6] Maryam: 23—26
[7] Ali Imran: 46
[8] Ali Imran: 49
[9] Al-Baqarah: 259
[10] Al-Maidah: 31
[11] An-Naml: 18—19
[12] As-Saffat: 139—144
[13] Al-Kahfi: 60—65
[14] Anam, Hairul. 2014. Sepenggal Kisah Tawakal Seekor Kijang, (Online), (www.nu.or.id), diakses 8 Mei 2015.
[15] Al-Anbiya’: 69
[16] Sirry, Mun’im. 2015. Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis. Bandung: Mizan.
[17] Al-Maidah: 27 & 30
[18] Abdalla, Ulil Abshar. 2007. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar. Jakarta: Nalar.
[19] Synnott, Anthony. 1993. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Terjemahan Pipit Maizier. 2007. Yogyakarta: Jalasutra.
[20] Al-Baqarah: 15
[21] Muthari, Abdul Hadi Wiji. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[22] Qaf: 16
[23] Dengan iman sebiji sawi, seseorang dapat memindahkan gunung (Matius 17:20).
[24] Al-A’raf: 172
[25] Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etika dan Struktur Sastra. Yogyakarta: Multi Presindo & LSBO PP Muhammadiyah.
[26] Ali Imran:112
[27] Paralel dengan hadis riwayat Thabrani dan Daruquthni yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (Zainuddin, Ahmad. 2012. Apakah Anda Termasuk Sebaik-baik Manusia?[Online], [www.muslim.or.id], diakses 8 Mei 2015.).
[28] Matius 25: 31—46 

Disampaikan pada Diskusi Sastra PKKH UGM, Senin 25 Mei 2015