Minggu, 07 Februari 2016

Kebebasan Melajang dan Indahnya Pernikahan




Beberapa tahun belakangan, istilah “jomblo” kian populer. Adanya media sosial membuat istilah tersebut kian dramatis, bahkan jatuh ke dalam stigma negatif. Jomblo kerap menjadi objek olok-olok, anekdot, konten meme, dan—sejauh saya memandang—diterima oleh orang yang terobjektivikasi. Dalam area semantik, dampak dramatisasi tersebut membelah satu makna menjadi dua penanda, yakni “jomblo” dan “single”. Jomblo memiliki petanda yang menjurus kepada konotasi negatif, sedangkan “single” mengandung konotasi positif. Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah yang sudah mapan, yaitu “lajang”.       
            Olok-olok terhadap lajang barangkali bikin baper buat sebagian orang, tetapi tidak mempan bagi sebagian yang lain. Bagi orang yang merespons negatif olok-olok tersebut, mungkin ia memang menderita hidup sebagai lajang. Oleh karena itu, dari saking intensnya olok-olok itu menimpa dirinya, pada akhirnya ia kerap menertawakan (atau menangisi) dirinya sendiri sebagai lajang yang nestapa; ia mereproduksi meme-meme kejombloan dengan maksud yang ironis. Inilah jenis orang yang tidak menghendaki dirinya lajang. Ia seperti diseret nasib sial yang menjatuhinya vonis lajang. Namun, jenis “lajang nasib” ini tidak sedikit juga yang resisten. Yang resisten inilah sering tersinggung dan merasa tertekan apabila diolok-olok. Dampaknya bisa berbahaya dan laten: depresi atau menikah dengan orang yang bukan pilihannya (asal nemu)—hanya untuk menghindari abjeksi yang secara kontinu menimpa dirinya.
            Lajang jenis kedua adalah lajang karena preferensi. Ia merasa belum/tidak harus menikah karena ia sudah merasa bahagia hidup sendiri. Lajang jenis ini semakin percaya diri bila ia telah hidup mandiri (punya karier layak). Baginya, pernikahan bukanlah prioritas atau kalau memang ingin menikah, waktu kini bukanlah saatnya. Bagi lajang jenis ini, definisi usia adalah “waktu yang dihayati” (meminjam terminologi Edmund Husserl). Ia merasa bahwa waktu masih panjang. Besok belum kiamat. Ada banyak waktu untuk berpetualang, menggiati passion, dan mengaktualisasikan diri tanpa memikirkan beban rumah tangga, sebab bila ia mendapat pasangan yang tidak tepat, seluruh gairah hidupnya akan dirintangi. Baginya, waktu adalah abadi.
Sebaliknya, orang yang menikah karena tuntutan waktu—Husserl menyebutnya “waktu berdasarkan jam”—padahal belum ingin menikah, ia hidup dalam waktu yang terfragmentasi: umur sekian harus punya karier bagus, umur sekian harus menikah, umur sekian harus punya anak, umur sekian boleh mati. Ia harus cepat-cepat karena besok dunia akan berakhir atau merasa umurnya sangat pendek. Kebanyakan, orang jenis ini menikah juga disebabkan oleh faktor lingkungan sosial. Perempuan umur segitu sudah saatnya menikah, misalnya. Ia tak mau disebut perawan tua, gadis tidak laku, atau bujang lapuk.
Bagi saya, melajang atau menikah sama saja. Keduanya sama-sama baik jika itu pilihan sendiri; bukan tekanan dari luar. Bagi orang yang lebih suka melajang, hidup adalah bebas tanpa ikatan. Ia bisa menjalin hubungan dengan siapa pun tanpa intervensi pasangan resmi; dapat nongkrong sepuas hati dengan teman-teman, dan gajinya bisa digunakan untuk apa pun tanpa berpikir harus menyisihkan untuk kebutuhan rumah tangga. Ia bisa mengejar cita-cita tanpa harus bernegosiasi dengan pasangan. Jika pada akhirnya ia gagal meraih cita-cita, setidaknya ia tidak mengecewakan orang lain.
Namun, menikah juga indah jika itu diselenggarakan atas kesadaran sendiri—dan pasangannya. Menikah menjadi indah jika yang bersangkutan merasa telah siap dan itulah saat yang paling baik. Ia menikah bukan karena telah “tua” atau ditekan orang lain untuk segera.
Mungkin banyak orang yang menyesali pernikahannya karena tak lagi bisa bebas bergaul dengan teman-temannya; tidak bisa bekerja atau melanjutkan studi karena harus mengurusi rumah tangga. Padahal aktualisasi diri adalah bagian dari kebutuhan eksistensial manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan eksistensial seseorang dapat menyebabkan perasaan minder, impoten, dan disfungsi diri. Oleh kerana itu, mencari pasangan yang baik, yang dapat melonggarkan kita, yang dapat memahami kebutuhan-kebutuhan kita, tidak semudah yang dibayangkan. Bagi orang yang memilih hidup lajang, menentukan pilihan pasangan hidup terbuka sangat lebar. Ia memiliki waktu yang panjang untuk memikirkan itu.
Kebebasan. Itulah kata kunci renungan ini. Jean Paul Sartre berkata, hakikat manusia adalah bebas. Manusia terlempar ke dalam kubangan yang bernama kebebasan. Setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang diselenggarakan di atas asas kebebasan. Jangan sampai lembaga perkawinan menjadi perangkap yang mematikan kebebasan Anda untuk bereksistensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar