Beberapa tahun belakangan, istilah “jomblo”
kian populer. Adanya media sosial membuat istilah tersebut kian dramatis,
bahkan jatuh ke dalam stigma negatif. Jomblo kerap menjadi objek olok-olok,
anekdot, konten meme, dan—sejauh saya memandang—diterima oleh orang yang
terobjektivikasi. Dalam area semantik, dampak dramatisasi tersebut membelah
satu makna menjadi dua penanda, yakni “jomblo” dan “single”. Jomblo memiliki petanda yang menjurus kepada konotasi
negatif, sedangkan “single”
mengandung konotasi positif. Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah yang sudah
mapan, yaitu “lajang”.
Olok-olok
terhadap lajang barangkali bikin baper buat sebagian orang, tetapi tidak mempan
bagi sebagian yang lain. Bagi orang yang merespons negatif olok-olok tersebut,
mungkin ia memang menderita hidup sebagai lajang. Oleh karena itu, dari saking
intensnya olok-olok itu menimpa dirinya, pada akhirnya ia kerap menertawakan (atau
menangisi) dirinya sendiri sebagai lajang yang nestapa; ia mereproduksi
meme-meme kejombloan dengan maksud yang ironis. Inilah jenis orang yang tidak
menghendaki dirinya lajang. Ia seperti diseret nasib sial yang menjatuhinya
vonis lajang. Namun, jenis “lajang nasib” ini tidak sedikit juga yang resisten.
Yang resisten inilah sering tersinggung dan merasa tertekan apabila diolok-olok.
Dampaknya bisa berbahaya dan laten: depresi atau menikah dengan orang yang
bukan pilihannya (asal nemu)—hanya untuk menghindari abjeksi yang secara
kontinu menimpa dirinya.
Lajang
jenis kedua adalah lajang karena preferensi. Ia merasa belum/tidak harus
menikah karena ia sudah merasa bahagia hidup sendiri. Lajang jenis ini semakin
percaya diri bila ia telah hidup mandiri (punya karier layak). Baginya,
pernikahan bukanlah prioritas atau kalau memang ingin menikah, waktu kini
bukanlah saatnya. Bagi lajang jenis ini, definisi usia adalah “waktu yang
dihayati” (meminjam terminologi Edmund Husserl). Ia merasa bahwa waktu masih
panjang. Besok belum kiamat. Ada banyak waktu untuk berpetualang, menggiati passion, dan mengaktualisasikan diri
tanpa memikirkan beban rumah tangga, sebab bila ia mendapat pasangan yang tidak
tepat, seluruh gairah hidupnya akan dirintangi. Baginya, waktu adalah abadi.
Sebaliknya, orang yang
menikah karena tuntutan waktu—Husserl menyebutnya “waktu berdasarkan jam”—padahal
belum ingin menikah, ia hidup dalam waktu yang terfragmentasi: umur sekian
harus punya karier bagus, umur sekian harus menikah, umur sekian harus punya
anak, umur sekian boleh mati. Ia harus cepat-cepat karena besok dunia akan
berakhir atau merasa umurnya sangat pendek. Kebanyakan, orang jenis ini menikah
juga disebabkan oleh faktor lingkungan sosial. Perempuan umur segitu sudah
saatnya menikah, misalnya. Ia tak mau disebut perawan tua, gadis tidak laku,
atau bujang lapuk.
Bagi saya, melajang
atau menikah sama saja. Keduanya sama-sama baik jika itu pilihan sendiri; bukan
tekanan dari luar. Bagi orang yang lebih suka melajang, hidup adalah bebas
tanpa ikatan. Ia bisa menjalin hubungan dengan siapa pun tanpa intervensi
pasangan resmi; dapat nongkrong
sepuas hati dengan teman-teman, dan gajinya bisa digunakan untuk apa pun tanpa
berpikir harus menyisihkan untuk kebutuhan rumah tangga. Ia bisa mengejar
cita-cita tanpa harus bernegosiasi dengan pasangan. Jika pada akhirnya ia gagal
meraih cita-cita, setidaknya ia tidak mengecewakan orang lain.
Namun, menikah juga indah
jika itu diselenggarakan atas kesadaran sendiri—dan pasangannya. Menikah
menjadi indah jika yang bersangkutan merasa telah siap dan itulah saat yang paling
baik. Ia menikah bukan karena telah “tua” atau ditekan orang lain untuk segera.
Mungkin banyak orang
yang menyesali pernikahannya karena tak lagi bisa bebas bergaul dengan
teman-temannya; tidak bisa bekerja atau melanjutkan studi karena harus mengurusi
rumah tangga. Padahal aktualisasi diri adalah bagian dari kebutuhan
eksistensial manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan eksistensial seseorang dapat
menyebabkan perasaan minder, impoten, dan disfungsi diri. Oleh kerana itu,
mencari pasangan yang baik, yang dapat melonggarkan kita, yang dapat memahami
kebutuhan-kebutuhan kita, tidak semudah yang dibayangkan. Bagi orang yang
memilih hidup lajang, menentukan pilihan pasangan hidup terbuka sangat lebar.
Ia memiliki waktu yang panjang untuk memikirkan itu.
Kebebasan. Itulah kata
kunci renungan ini. Jean Paul Sartre berkata, hakikat manusia adalah bebas.
Manusia terlempar ke dalam kubangan yang bernama kebebasan. Setiap pilihan memiliki
konsekuensinya masing-masing. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang
diselenggarakan di atas asas kebebasan. Jangan sampai lembaga perkawinan
menjadi perangkap yang mematikan kebebasan Anda untuk bereksistensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar