Satu hal dari banyak hal yang sangat saya syukuri dalam hidup ini: saya memiliki kesadaran bahwa saya bebas berpikir sejauh apa pun, seliar apa pun, tanpa batas. Bagi saya, kesadaran demikian mahal harganya di tengah-tengah masyarakat kita yang kehilangan daya kritis, berpikir tertutup, bahkan takut untuk berpikir. Penyebabnya bisa karena dogma atau takut dibenci orang-orang terdekat.
Dalam
konteks agama, orang “relijius” cenderung tidak mau berpikir kritis karena
takut murtad atau menjadi kafir. Mempertanyakan atau meragukan dogma dinilai sebagai
bentuk kelemahan iman dan ujung-ujungnya dituduh melecehkan ajaran agama. Padahal
di dalam kitab suci—dalam hal ini saya mencontohkan Quran—manusia diperintah
untuk senantiasa berpikir. Hanya ada satu larangan berpikir, yaitu berpikir
tentang zat Tuhan (hal ini menunjukkan bahwa manusia senantiasa berhadapan
dengan eksistensi Misteri). Di luar itu, orang boleh memikirkan apa pun,
termasuk mempertanyakan, meragukan, bahkan menggugat dogma.
Sejarah
telah menunjukkan bahwa peradaban Islam klasik salah satunya dibangun oleh
kebebasan masyarakatnya untuk bernalar kritis. Pada masa itu, kebebasan
berpikir telah mengantarkan mereka pada penemuan-penemuan ilmiah, karya-karya
seni yang mengagumkan, dan pemikiran keagamaan yang beragam. Namun, sejak pintu
ijtihad ditutup, pesona dunia Islam perlahan-lahan
pudar. Dominasi dogmatisme pada sebuah masyarakat hanya melahirkan kegelapan.
Kita bisa lihat contohnya di Afganistan, bagaimana kelompok Taliban telah
menghancurkan negara tersebut.
Dikisahkan
bahwa suatu kali Yakub bergelut dengan sosok ilahiah dan Yakub menang. Ia tidak
mati. Karena peristiwa itulah Yakub disebut Israel
(yang bergelut dengan Allah). Kisah tersebut menjadi semacam alegori bahwa “berdebat
dengan Tuhan” tidak jadi masalah. Bersikap kritis terhadap dogma tidak akan
membuat Tuhan marah. Lagi pula—sebagaimana yang telah saya singgung—Tuhan memerintah
kita untuk berpikir. Tuhan takkan menciptakan otak jika memang manusia dilarang
berpikir.
Melalui
karakter Parang Jati, Ayu Utami dalam novelnya, Bilangan Fu, memperkenalkan istilah “spiritualisme kritis”. Laku
spiritualisme kritis menghendaki pemeluk agama untuk tetap bersikap kritis dan
menghendaki sikap kritis untuk tetap terbuka kepada sesuatu yang tak diketahui. Menjalankan laku spiritualisme kritis
adalah cara kita merawat akal sehat, tetapi tidak jatuh ke dalam arogansi.
Dengan menjadi kritis, pemeluk agama akan senantiasa mendialogkan dogma dengan
perubahan zaman sehingga ajaran-ajaran agama relevan dengan perkembangan
peradaban manusia. Visi inilah yang kita sebuah sebagai “rahmat bagi seluruh
alam”.
Seorang
feminis muslim Kanada, Irshad Manji memperjuangkan cita-cita nalar kritis—terutama
di kalangan umat Islam—yang ia sebut sebagai Project Ijtihad. Baginya, sebagian
besar umat Islam saat ini sedang berada pada situasi keterbungkaman; takut
berhadapan dengan isi kepalanya sendiri sehingga terpaksa harus menyensor
pikirannya sendiri, alih-alih berbicara dengan lantang. Pembungkaman pikiran
inilah yang membuat mereka menjadi apatis dan tidak responsif terhadap hal-hal
mengerikan yang sedang menjangkiti agama mereka, misal, terorisme dan kekerasan
atas nama agama. Orang-orang “moderat” kerap berlindung pada argumen bahwa kekerasan
tidak pernah diajarkan agama mereka. Tentu saja sikap eskapisme demikian tidak akan
menyelesaikan masalah. Tidak mengakui bahwa ada yang tidak beres di dalam agama
sendiri tidak akan melahirkan sebuah sikap perlawanan terhadap kekerasan atas
nama agama, sebab mereka merasa tidak bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukan oleh para pelaku kekerasan.
Bernalar
kritis adalah sebuah proses penyadaran. Dengan memiliki kesadaran, kita dapat
memilah apa yang harus kita lakukan dan apa yang tidak semestinya kita lakukan
tanpa bayang-bayang dogma dan normativitas. Tentu, menghilangkan rasa takut
adalah prasyarat untuk dapat bernalar kritis. Meyakinkan diri bahwa ada hal-hal
yang jauh lebih penting daripada rasa takut memang tampak sulit.
Konsekuensinya, kita bisa dijauhi oleh teman atau dikucilkan di lingkungan
keluarga. Namun, larut di dalam keterbungkaman sama halnya dengan menegasikan
anugerah Tuhan yang sangat besar: kebebasan. Dan bukankah para nabi diutus dengan
misi pembebasan?
Bernalar
kritis akan memaksa kita merevisi cara kita beriman bahwa ada sesuatu yang
lebih tinggi dan lebih spiritual ketimbang dogma, yaitu kemanusiaan. Yesus
berkata bahwa menolong orang-orang lemah sama halnya dengan berbuat kepada
Tuhan. Muhammad bersabda bahwa Islam adalah cara kita memperlakukan orang lain.
Kekerasan atas nama agama hanya akan merusak agama yang bersangkutan. Ia akan kehilangan
fungsi ultimnya sebagai pelayanan kepada kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar