Sabtu, 13 Februari 2016

Merawat Akal Sehat



Satu hal dari banyak hal yang sangat saya syukuri dalam hidup ini: saya memiliki kesadaran bahwa saya bebas berpikir sejauh apa pun, seliar apa pun, tanpa batas. Bagi saya, kesadaran demikian mahal harganya di tengah-tengah masyarakat kita yang kehilangan daya kritis, berpikir tertutup, bahkan takut untuk berpikir. Penyebabnya bisa karena dogma atau takut dibenci orang-orang terdekat.
            Dalam konteks agama, orang “relijius” cenderung tidak mau berpikir kritis karena takut murtad atau menjadi kafir. Mempertanyakan atau meragukan dogma dinilai sebagai bentuk kelemahan iman dan ujung-ujungnya dituduh melecehkan ajaran agama. Padahal di dalam kitab suci—dalam hal ini saya mencontohkan Quran—manusia diperintah untuk senantiasa berpikir. Hanya ada satu larangan berpikir, yaitu berpikir tentang zat Tuhan (hal ini menunjukkan bahwa manusia senantiasa berhadapan dengan eksistensi Misteri). Di luar itu, orang boleh memikirkan apa pun, termasuk mempertanyakan, meragukan, bahkan menggugat dogma.
            Sejarah telah menunjukkan bahwa peradaban Islam klasik salah satunya dibangun oleh kebebasan masyarakatnya untuk bernalar kritis. Pada masa itu, kebebasan berpikir telah mengantarkan mereka pada penemuan-penemuan ilmiah, karya-karya seni yang mengagumkan, dan pemikiran keagamaan yang beragam. Namun, sejak pintu ijtihad ditutup, pesona dunia Islam perlahan-lahan pudar. Dominasi dogmatisme pada sebuah masyarakat hanya melahirkan kegelapan. Kita bisa lihat contohnya di Afganistan, bagaimana kelompok Taliban telah menghancurkan negara tersebut.  
            Dikisahkan bahwa suatu kali Yakub bergelut dengan sosok ilahiah dan Yakub menang. Ia tidak mati. Karena peristiwa itulah Yakub disebut Israel (yang bergelut dengan Allah). Kisah tersebut menjadi semacam alegori bahwa “berdebat dengan Tuhan” tidak jadi masalah. Bersikap kritis terhadap dogma tidak akan membuat Tuhan marah. Lagi pula—sebagaimana yang telah saya singgung—Tuhan memerintah kita untuk berpikir. Tuhan takkan menciptakan otak jika memang manusia dilarang berpikir.
            Melalui karakter Parang Jati, Ayu Utami dalam novelnya, Bilangan Fu, memperkenalkan istilah “spiritualisme kritis”. Laku spiritualisme kritis menghendaki pemeluk agama untuk tetap bersikap kritis dan menghendaki sikap kritis untuk tetap terbuka kepada sesuatu yang tak diketahui. Menjalankan laku spiritualisme kritis adalah cara kita merawat akal sehat, tetapi tidak jatuh ke dalam arogansi. Dengan menjadi kritis, pemeluk agama akan senantiasa mendialogkan dogma dengan perubahan zaman sehingga ajaran-ajaran agama relevan dengan perkembangan peradaban manusia. Visi inilah yang kita sebuah sebagai “rahmat bagi seluruh alam”.
            Seorang feminis muslim Kanada, Irshad Manji memperjuangkan cita-cita nalar kritis—terutama di kalangan umat Islam—yang ia sebut sebagai Project Ijtihad. Baginya, sebagian besar umat Islam saat ini sedang berada pada situasi keterbungkaman; takut berhadapan dengan isi kepalanya sendiri sehingga terpaksa harus menyensor pikirannya sendiri, alih-alih berbicara dengan lantang. Pembungkaman pikiran inilah yang membuat mereka menjadi apatis dan tidak responsif terhadap hal-hal mengerikan yang sedang menjangkiti agama mereka, misal, terorisme dan kekerasan atas nama agama. Orang-orang “moderat” kerap berlindung pada argumen bahwa kekerasan tidak pernah diajarkan agama mereka. Tentu saja sikap eskapisme demikian tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak mengakui bahwa ada yang tidak beres di dalam agama sendiri tidak akan melahirkan sebuah sikap perlawanan terhadap kekerasan atas nama agama, sebab mereka merasa tidak bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan oleh para pelaku kekerasan.
            Bernalar kritis adalah sebuah proses penyadaran. Dengan memiliki kesadaran, kita dapat memilah apa yang harus kita lakukan dan apa yang tidak semestinya kita lakukan tanpa bayang-bayang dogma dan normativitas. Tentu, menghilangkan rasa takut adalah prasyarat untuk dapat bernalar kritis. Meyakinkan diri bahwa ada hal-hal yang jauh lebih penting daripada rasa takut memang tampak sulit. Konsekuensinya, kita bisa dijauhi oleh teman atau dikucilkan di lingkungan keluarga. Namun, larut di dalam keterbungkaman sama halnya dengan menegasikan anugerah Tuhan yang sangat besar: kebebasan. Dan bukankah para nabi diutus dengan misi pembebasan?   
            Bernalar kritis akan memaksa kita merevisi cara kita beriman bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih spiritual ketimbang dogma, yaitu kemanusiaan. Yesus berkata bahwa menolong orang-orang lemah sama halnya dengan berbuat kepada Tuhan. Muhammad bersabda bahwa Islam adalah cara kita memperlakukan orang lain. Kekerasan atas nama agama hanya akan merusak agama yang bersangkutan. Ia akan kehilangan fungsi ultimnya sebagai pelayanan kepada kemanusiaan.

Minggu, 07 Februari 2016

Kebebasan Melajang dan Indahnya Pernikahan




Beberapa tahun belakangan, istilah “jomblo” kian populer. Adanya media sosial membuat istilah tersebut kian dramatis, bahkan jatuh ke dalam stigma negatif. Jomblo kerap menjadi objek olok-olok, anekdot, konten meme, dan—sejauh saya memandang—diterima oleh orang yang terobjektivikasi. Dalam area semantik, dampak dramatisasi tersebut membelah satu makna menjadi dua penanda, yakni “jomblo” dan “single”. Jomblo memiliki petanda yang menjurus kepada konotasi negatif, sedangkan “single” mengandung konotasi positif. Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah yang sudah mapan, yaitu “lajang”.       
            Olok-olok terhadap lajang barangkali bikin baper buat sebagian orang, tetapi tidak mempan bagi sebagian yang lain. Bagi orang yang merespons negatif olok-olok tersebut, mungkin ia memang menderita hidup sebagai lajang. Oleh karena itu, dari saking intensnya olok-olok itu menimpa dirinya, pada akhirnya ia kerap menertawakan (atau menangisi) dirinya sendiri sebagai lajang yang nestapa; ia mereproduksi meme-meme kejombloan dengan maksud yang ironis. Inilah jenis orang yang tidak menghendaki dirinya lajang. Ia seperti diseret nasib sial yang menjatuhinya vonis lajang. Namun, jenis “lajang nasib” ini tidak sedikit juga yang resisten. Yang resisten inilah sering tersinggung dan merasa tertekan apabila diolok-olok. Dampaknya bisa berbahaya dan laten: depresi atau menikah dengan orang yang bukan pilihannya (asal nemu)—hanya untuk menghindari abjeksi yang secara kontinu menimpa dirinya.
            Lajang jenis kedua adalah lajang karena preferensi. Ia merasa belum/tidak harus menikah karena ia sudah merasa bahagia hidup sendiri. Lajang jenis ini semakin percaya diri bila ia telah hidup mandiri (punya karier layak). Baginya, pernikahan bukanlah prioritas atau kalau memang ingin menikah, waktu kini bukanlah saatnya. Bagi lajang jenis ini, definisi usia adalah “waktu yang dihayati” (meminjam terminologi Edmund Husserl). Ia merasa bahwa waktu masih panjang. Besok belum kiamat. Ada banyak waktu untuk berpetualang, menggiati passion, dan mengaktualisasikan diri tanpa memikirkan beban rumah tangga, sebab bila ia mendapat pasangan yang tidak tepat, seluruh gairah hidupnya akan dirintangi. Baginya, waktu adalah abadi.
Sebaliknya, orang yang menikah karena tuntutan waktu—Husserl menyebutnya “waktu berdasarkan jam”—padahal belum ingin menikah, ia hidup dalam waktu yang terfragmentasi: umur sekian harus punya karier bagus, umur sekian harus menikah, umur sekian harus punya anak, umur sekian boleh mati. Ia harus cepat-cepat karena besok dunia akan berakhir atau merasa umurnya sangat pendek. Kebanyakan, orang jenis ini menikah juga disebabkan oleh faktor lingkungan sosial. Perempuan umur segitu sudah saatnya menikah, misalnya. Ia tak mau disebut perawan tua, gadis tidak laku, atau bujang lapuk.
Bagi saya, melajang atau menikah sama saja. Keduanya sama-sama baik jika itu pilihan sendiri; bukan tekanan dari luar. Bagi orang yang lebih suka melajang, hidup adalah bebas tanpa ikatan. Ia bisa menjalin hubungan dengan siapa pun tanpa intervensi pasangan resmi; dapat nongkrong sepuas hati dengan teman-teman, dan gajinya bisa digunakan untuk apa pun tanpa berpikir harus menyisihkan untuk kebutuhan rumah tangga. Ia bisa mengejar cita-cita tanpa harus bernegosiasi dengan pasangan. Jika pada akhirnya ia gagal meraih cita-cita, setidaknya ia tidak mengecewakan orang lain.
Namun, menikah juga indah jika itu diselenggarakan atas kesadaran sendiri—dan pasangannya. Menikah menjadi indah jika yang bersangkutan merasa telah siap dan itulah saat yang paling baik. Ia menikah bukan karena telah “tua” atau ditekan orang lain untuk segera.
Mungkin banyak orang yang menyesali pernikahannya karena tak lagi bisa bebas bergaul dengan teman-temannya; tidak bisa bekerja atau melanjutkan studi karena harus mengurusi rumah tangga. Padahal aktualisasi diri adalah bagian dari kebutuhan eksistensial manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan eksistensial seseorang dapat menyebabkan perasaan minder, impoten, dan disfungsi diri. Oleh kerana itu, mencari pasangan yang baik, yang dapat melonggarkan kita, yang dapat memahami kebutuhan-kebutuhan kita, tidak semudah yang dibayangkan. Bagi orang yang memilih hidup lajang, menentukan pilihan pasangan hidup terbuka sangat lebar. Ia memiliki waktu yang panjang untuk memikirkan itu.
Kebebasan. Itulah kata kunci renungan ini. Jean Paul Sartre berkata, hakikat manusia adalah bebas. Manusia terlempar ke dalam kubangan yang bernama kebebasan. Setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang diselenggarakan di atas asas kebebasan. Jangan sampai lembaga perkawinan menjadi perangkap yang mematikan kebebasan Anda untuk bereksistensi.

Senin, 01 Februari 2016

Nukleus Agama




Tentu saja ini bukan pemikiran orisinal dan saya bukan ahli agama. Saya hanya menyampaikan kembali (dengan bahasa yang sederhana) buku-buku yang telah saya baca. Di sini saya menjadi penyambung lidah para pakar agama yang tulisan-tulisannya sudah saya baca.
            Beberapa hari yang lalu, di tempat saya tinggal, diselenggarakan selamatan desa. Setiap kali diselenggarakan, ritus adat tersebut menuai proaktif dan kontraproduktif. Polemik tersebut tidak hanya zahir di masyarakat, tetapi berlanjut di media sosial (bahkan ketika acara tersebut telah usai). Bagi mereka yang kontraproduktif, acara tersebut dipandang syirik (menyekutukan Tuhan).
            Perdebatan tersebut bagi saya adalah miniatur dari seluruh lanskap kesadaran orang-orang di negeri ini yang terobsesi kepada agama. Orang-orang tergila-gila kepada akidah, syariah, dan moralitas abstrak. Orang-orang bertengkar tentang halal-haram, bid’ah, syirik, dan semacamnya. Lalu kita menjadi budak agama, budak teks. Kita lupa bahwa agama turun untuk melayani kita, bukan sebaliknya. Maka kalimat “Ayo kita bela agama” menjadi absurd, sebab semestinya agamalah yang membela manusia—konkretnya, mereka yang lemah. Untuk menghapus amnesia akut tersebut, kita perlu menelusuri kembali sejarah munculnya agama-agama. Dengan meneropong janin primordial agama, kita akan tahu persoalan apa yang melatari kelahiran sebuah agama.
Munculnya agama Yahudi (atau Ibrani—yang artinya “imigran”) pada abad ke-13, misalnya, adalah respons terhadap perbudakan Firaun atas orang-orang Israel selama empat ratus tahun. Tuhan mengutus Musa (dan Harun) untuk membebaskan bani Israel dari penindasan tersebut. Ketika pertama berjumpa dengan Tuhan, Musa bertanya, “Kamu siapa?” Jawaban Tuhan: “Aku adalah Aku.” Secara implisit, Tuhan menolak didefinisikan ke dalam sebuah nama, sebab selama itu, manusia telah merumuskan Tuhan. Dan karena itulah Tuhan menjadi sempit, kerdil, tidak mahabesar. Komando pertama Tuhan kepada Musa untuk membebaskan Israel dari perbudakan (bukan mengajarkan “siapa Tuhan”) juga menunjukkan bahwa persoalan kemanusiaan jauh lebih urgen ketimbang perkara teologi (bahkan syariat Yahudi yang maujud dalam dua tablet batu Sepuluh Perintah Tuhan turun setelah mereka eksodus menuju Kana’an). Menarik diperhatikan film Exodus: Gods and Kings, hasil interpretasi sutradara Ridley Scott atas kisah Musa. Dalam film tersebut, Tuhan berkata kepada Musa, “Aku butuh seorang jenderal.” Tuhan tidak butuh seorang rabi, seorang pendeta, seorang kiai. Hal itu menunjukkan bahwa misi utama kelahiran Yahudi adalah memerdekan Israel.
Kedatangan ajaran kristianitas tidak jauh berbeda dengan Yahudi. Isa Almasih (Yesus yang diurapi) adalah seorang nabi yang dipandang subversif. Tidak heran jika pada akhir riwayat hidupnya ia diburu oleh legiun Romawi—karena hasutan para rabi Yahudi. Pada saat Isa diutus, Yerusalem sedang digenggam dua rezim. Pertama, rezim penjajah Romawi. Kedua, rezim para otoritas Yahudi yang terobsesi pada hukum Taurat. Isa hadir untuk membebasakan anak-anak Israel dari belenggu itu. Isa—yang merupakan seorang ahli Taurat—ingin mengembalikan ajaran Yahweh ke dalam sebuah prinsip sederhana: Kasih.
Lalu saat Jazirah Hijaz dilanda oleh ideologi kapitalisme yang menyeramkan, Muhammad didelegasikan untuk memperbaiki situasi sosial dan moral di sana.  Pada saat itu, martabat kesukuan yang dilandasi oleh nilai-nilai komunal diruntuhkan oleh egosentrisme individu. Kepentingan puak tidak lagi menjadi prioritas. Orang-orang berlomba-lomba menumpuk kekayaan pribadi. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Etos sosialis Arab yang terhormat roboh dihadapan akumulasi kapital yang begitu spektakuler. Ajaran yang diusung Muhammad amat praktis. Ketika ditanya apa itu Islam, Muhammad menjawab, Islam adalah perbuatan. Muhammad mengajarkan bahwa Islam adalah ketika kamu memberi makan mereka yang lapar dan menebarkan kedamaian.
Merenungkan corak keberagamaan yang dijalankan orang-orang saat ini, kita seperti terlempar jauh dari inti agama. Kita sering bertengkar masalah baju dan membuang jantung paling penting. Kita terlalu ribet dengan urusan syariah dan akidah yang justru dirumuskan jauh setelah nabi-nabi pembawanya telah meninggal. Pembajakan terhadap agama telah membuatnya diam di tempat, lantas kita seperti diseret untuk mengimani penafsiran yang telah usang.  
Di tengah zaman yang kerap disesaki oleh konflik masalah agama, kita perlu menggali kembali visi agama yang kita anut. Dan semua agama memiliki substansi yang sama. Nukleus agama itu bernama Welas Asih (compassion).  Jika agama yang kita anut mengajarkan kekerasan, ketidakacuhan, penindasan terhadap minoritas liyan, kita pantas meninggalkannya, sebab ia telah menjadi agama yang karat. Ia bukan agama rahmat bagi seluruh alam.
Dokumentasi sejarah tentang kelahiran agama memaksa kita mengoreksi kembali cara kita menghayati ajaran agama yang kita anut, alih-alih menyerang kelompok lain. Setiap kali kita ingin mengerdilkan kelompok lain atas nama agama, buru-buru kita berkaca di hadapan Kaidah Emas agama. Di sanalah akan kita temukan wajah Kasih.