Apa yang dilakukan oleh lebih kurang
seratus tujuh puluh penulis dari berbagai belahan dunia ketika berkumpul dalam
satu venue pada sebuah pekan
literasi? Apakah mereka membicarakan tetek-bengek menulis, proses kreatif, dan
industri perbukuan? Mungkin ya. Tetapi apa yang dibincangkan dalam Ubud Writers
& Readers Festival 2016 tidak sekadar itu.
Dengan
mengangkat tema Tat Tvam Asi (aku
adalah kamu, kamu adalah aku), sebuah kalimat bijaksana dalam kitab Upanishad,
para penulis membagikan rasa sakit, luka, dan kebebasan sekaligus. Mereka
berbicara tentang represi dari lingkungan, diskriminasi yang dilatari oleh
perbedaan ras dan agama, perbudakan seksual, dan sebagainya. Akhirnya, tulisan
maujud sebagai corong untuk menyaringkan gema dari kegelapan kejahatan
kemanusiaan.
Sebagai
penulis emerging yang diundang tampil
dalam festival internasional tersebut, saya pun membagikan rasa sakit kepada
khalayak mancanegara. Rasa sakit itu disebabkan oleh iritasi ekologis dan kebudayaan.
Misalnya, dalam relasinya dengan alam, saya berpikir bahwa orang-orang Madura
memegang etika antroposentrisme. Manusia adalah poros dunia (axis mundi). Alam tidak dipandang
sebagai entitas yang bernilai intrinsik (ekosentrisme). Oleh karena itulah
orang-orang Madura mudah sekali mengeksploitas alam. Nelayan-nelayan di desa
saya menggunakan pukat harimau yang amat merusak terumbu karang. Orang-orang di
Sumenep menjual lahan kepada investor untuk dijadikan tambak udang yang dapat
mencemari tanah. Alam hanya dipelihara selama ia berguna bagi umat manusia.
Saya
juga mempertanyakan asal-usul inferioritas perempuan dalam relasi gender di
Madura. Inferioritas perempuan di Madura tergolong aneh. Seringkali perempuan
menjadi inferior karena tak memiliki kekuatan ekonomi. Perempuan Madura tentu
saja bukan golongan yang tidak berdaya secara ekonomi. Mereka memiliki etos
kerja yang tinggi, bahkan menjadi tulang punggung taneyan (istilah ini lebih cocok diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, home, daripada dalam bahasa
Indonesia). Akhirnya saya menarik simpulan bahwa inferioritas perempuan terjadi
karena penafsiran yang patriarkal terhadap teks-teks agama.
Arung
Wardhana, salah seorang penulis emerging
yang juga mewakili Madura dalam festival tersebut mengecam carok sebagai tradisi yang harus dihancurkan. Ia hidup dalam
lingkungan di mana generasi tua memupuk kekerasan kepada generasi mudanya
sehingga berimplikasi pada kesadaran bahwa nyawa manusia adalah persoalan yang
banal. Bahkan Arung menganggap bahwa sejumlah budayawan elite Madura tidak
bersikap tegas—untuk menghindari kata romantisasi—terhadap carok.
Lalu
apa strategi yang bisa ditawarkan penulis untuk menjujung spirit tat tvam asi? Saya sendiri
memproyeksikan karya-karya saya sebagai dokumentasi atas penafsiran ulang terhadap
mitologi dan kosmologi Madura agar sesuai dengan semangat kesetaraan. Reinterpretasi
tersebut disuarakan di tengah krisis kemanusiaan dan lingkungan.
Akhirnya, tat tvam asi tidak hanya mengatur relasi
manusia dengan sesama manusia, tetapi juga menumbuhkan welas asih terhadap
makhluk-makhluk lain sebagai bagian dari anggota komunitas biotik. Dalam
konteks kemaduraan, misalnya, tat tvam
asi tidak hanya menjadi landasan filosofis untuk mengadvokasi lingkungan
hidup, tetapi juga menolak penyiksaan binatang atas nama budaya sebagaimana
yang direpresentasikan dalam olahraga-tradisi karapan sapi.
Kalau
mau dikomparasikan, filsafat tat tvam asi
paralel dengan peribahasa Madura, rampa’
naong baringin korong; sebuah nasihat dan ajakan untuk saling menolong
antarsesama (manusia dan makhluk lain). Baringin
merupakan pohon yang menjadi peneduh, rumah bagi binatang, dan penjaga air yang
andal. Satu pohon beringin adalah penyedia kebutuhan air bagi tiga puluh rumah.
Rampa’ naong baringin korong merupakan
premis dari ajaran etis andhap asor
yang menjunjung martabat orang lain; menghilangkan sikap egosentrisme dan berupaya
lebur dengan sang liyan. Baik tat tvam
asi maupun rampa’ naong baringin
korong memiliki visi ultim yang sama: menciptakan rasa kesatuan antarmakhluk
di seluruh kosmos. Dus, menyakiti liyan berarti menyakiti diri sendiri; memeliharan
liyan berarti memelihara diri sendiri. Liyan adalah cermin sejati diri.
Radar Madura, 6 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar