Minggu, 06 November 2016

Spirit Tat Tvam Asi, Spirit Rampa’ Naong Baringin Korong




Apa yang dilakukan oleh lebih kurang seratus tujuh puluh penulis dari berbagai belahan dunia ketika berkumpul dalam satu venue pada sebuah pekan literasi? Apakah mereka membicarakan tetek-bengek menulis, proses kreatif, dan industri perbukuan? Mungkin ya. Tetapi apa yang dibincangkan dalam Ubud Writers & Readers Festival 2016 tidak sekadar itu.
            Dengan mengangkat tema Tat Tvam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku), sebuah kalimat bijaksana dalam kitab Upanishad, para penulis membagikan rasa sakit, luka, dan kebebasan sekaligus. Mereka berbicara tentang represi dari lingkungan, diskriminasi yang dilatari oleh perbedaan ras dan agama, perbudakan seksual, dan sebagainya. Akhirnya, tulisan maujud sebagai corong untuk menyaringkan gema dari kegelapan kejahatan kemanusiaan.
            Sebagai penulis emerging yang diundang tampil dalam festival internasional tersebut, saya pun membagikan rasa sakit kepada khalayak mancanegara. Rasa sakit itu disebabkan oleh iritasi ekologis dan kebudayaan. Misalnya, dalam relasinya dengan alam, saya berpikir bahwa orang-orang Madura memegang etika antroposentrisme. Manusia adalah poros dunia (axis mundi). Alam tidak dipandang sebagai entitas yang bernilai intrinsik (ekosentrisme). Oleh karena itulah orang-orang Madura mudah sekali mengeksploitas alam. Nelayan-nelayan di desa saya menggunakan pukat harimau yang amat merusak terumbu karang. Orang-orang di Sumenep menjual lahan kepada investor untuk dijadikan tambak udang yang dapat mencemari tanah. Alam hanya dipelihara selama ia berguna bagi umat manusia.
            Saya juga mempertanyakan asal-usul inferioritas perempuan dalam relasi gender di Madura. Inferioritas perempuan di Madura tergolong aneh. Seringkali perempuan menjadi inferior karena tak memiliki kekuatan ekonomi. Perempuan Madura tentu saja bukan golongan yang tidak berdaya secara ekonomi. Mereka memiliki etos kerja yang tinggi, bahkan menjadi tulang punggung taneyan (istilah ini lebih cocok diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, home, daripada dalam bahasa Indonesia). Akhirnya saya menarik simpulan bahwa inferioritas perempuan terjadi karena penafsiran yang patriarkal terhadap teks-teks agama.
            Arung Wardhana, salah seorang penulis emerging yang juga mewakili Madura dalam festival tersebut mengecam carok sebagai tradisi yang harus dihancurkan. Ia hidup dalam lingkungan di mana generasi tua memupuk kekerasan kepada generasi mudanya sehingga berimplikasi pada kesadaran bahwa nyawa manusia adalah persoalan yang banal. Bahkan Arung menganggap bahwa sejumlah budayawan elite Madura tidak bersikap tegas—untuk menghindari kata romantisasi—terhadap carok.  
            Lalu apa strategi yang bisa ditawarkan penulis untuk menjujung spirit tat tvam asi? Saya sendiri memproyeksikan karya-karya saya sebagai dokumentasi atas penafsiran ulang terhadap mitologi dan kosmologi Madura agar sesuai dengan semangat kesetaraan. Reinterpretasi tersebut disuarakan di tengah krisis kemanusiaan dan lingkungan. 
Akhirnya, tat tvam asi tidak hanya mengatur relasi manusia dengan sesama manusia, tetapi juga menumbuhkan welas asih terhadap makhluk-makhluk lain sebagai bagian dari anggota komunitas biotik. Dalam konteks kemaduraan, misalnya, tat tvam asi tidak hanya menjadi landasan filosofis untuk mengadvokasi lingkungan hidup, tetapi juga menolak penyiksaan binatang atas nama budaya sebagaimana yang direpresentasikan dalam olahraga-tradisi karapan sapi.
            Kalau mau dikomparasikan, filsafat tat tvam asi paralel dengan peribahasa Madura, rampa’ naong baringin korong; sebuah nasihat dan ajakan untuk saling menolong antarsesama (manusia dan makhluk lain). Baringin merupakan pohon yang menjadi peneduh, rumah bagi binatang, dan penjaga air yang andal. Satu pohon beringin adalah penyedia kebutuhan air bagi tiga puluh rumah.
            Rampa’ naong baringin korong merupakan premis dari ajaran etis andhap asor yang menjunjung martabat orang lain; menghilangkan sikap egosentrisme dan berupaya lebur dengan sang liyan. Baik tat tvam asi maupun rampa’ naong baringin korong memiliki visi ultim yang sama: menciptakan rasa kesatuan antarmakhluk di seluruh kosmos. Dus, menyakiti liyan berarti menyakiti diri sendiri; memeliharan liyan berarti memelihara diri sendiri. Liyan adalah cermin sejati diri. 

Radar Madura, 6 November 2016