Royyan Julian
Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Madura
Jalan Raya
Panglegur Km 3,5 Pamekasan
Abstrak
Eksistensi
tokoh perempuan dalam cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (DMKM) karya
Seno Gumira Ajidarma merupakan faktor yang menyebabkan iritasi sosial. Namun,
sebenarnya yang menjadi pemicunya adalah imajinasi tentang tubuh perempuan itu
sendiri. Dengan menggunakan pembacaan orientalisme Edward Said, tulisan ini
mendedah cerpen tersebut dalam perspektif wacana poskolonial. Tujuannya adalah
untuk melihat wacana tubuh perempuan yang digunakan sebagai alat untuk
menghegemoni. Hasil pembacaan menunjukkan bahwa, sebagaimana imajinasi Barat
terhadap Timur, para tokoh laki-laki dalam cerpen tersebut memandang tubuh (feminin)
perempuan sebagai entitas yang asing, liar, misterius, dan erotis. Dengan cara
pandang tersebut, posisi perempuan menjadi liyan (others). Dalam isu-isu kontemporer, imajinasi syahwati tubuh
perempuan diperkuda sebagai premis untuk melegitimasi norma-norma yang
menguntungkan pihak tertentu (laki-laki).
Kata kunci: tubuh perempuan,
Timur yang imajiner, orientalisme, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, Seno
Gumira Ajidarma.
Latar Belakang
Dalam
bukunya, Orientalisme (1978), Edward
Said berkata bahwa orang Eropa menganggap Timur sebagai barang temuan mereka.
Bahkan, sejak zaman dahulu, Timur telah menjadi tempat yang penuh romansa,
makhluk-makhluk eksotik, kenangan, panorama yang indah, dan pengalaman-pengalaman
yang mengesankan (1978:1). Timur adalah dunia yang asing, misterius, primitif,
brutal, feminin; ia perlu disibak dan ditemukan bagai harta karun.
Keingintahuan Barat yang penuh nafsu itulah yang menjadi alasan munculnya apa
yang dinamakan orientalisme.
Orientalisme adalah suatu cara untuk
memahami dunia Timur yang didasarkan pada keeksotikannya di mata orang Eropa
(Said, 1978:2). Orientalisme menjadi sebuah disiplin, wacana, atau sebuah cara
memahami Timur (sebagai objek kajiannya) untuk menyingkapkan misterinya dan
pada ujung-ujungnya dimaksudkan untuk didominasi/dikuasai. Uniknya,
orientalisme tidak memiliki wacana tandingan (oksidentalisme).
Tulisan ini hendak mengupas cerpen Seno
Gumira Ajidarma, DMKM, dengan kacamata orientalisme. Salah satu hal menarik di
dalam cerpen tersebut adalah kehadiran tokoh sentral, yakni seorang perempuan.
Tokoh perempuan mandi tersebut dapat dianalogkan dengan Timur yang imajiner
(bagi Barat) sehingga perlu ditaklukan atau dikuasai.
Dengan menggunakan wacana poskolonial
saidian, analisis terhadap cerpen DMKM menampakkan isu-isu seputar peliyanan
terhadap perempuan. Peliyanan tersebut bermula dari imajinasi (laki-laki)
terhadap tubuh perempuan yang dipandang penuh dengan potensi erotis dan seksual.
Bukannya tidak mungkin jika akumulasi imajinasi tersebut disengaja, sebab pada
akhirnya, asumsi-asumsi terhadap tubuh perempuan digunakan sebagai alat untuk
mengobjektivikasi perempuan itu sendiri. Sudut pandang pembacaan itulah yang
lebih jauh akan dibahas dalam tulisan ini.
Tujuan
Tulisan
ini bertujuan untuk mengupas wacana tubuh perempuan sebagai Timur yang imajiner
dalam cerpen DMKM dengan perspektif orientalisme. Pada pandangan yang lebih
luas, pembacaan poskolonial tersebut dapat digunakan sebagai postulat untuk
melihat persoalan yang menyangkut isu-isu objektivikasi/hegemoni terhadap
perempuan.
Pembahasan
Cerpen
DMKM mengisahkan sebuah kampung yang “diresahkan” oleh nyanyian seorang
perempuan di kamar mandi. Suara nyanyian perempuan tersebut selalu mengundang
para laki-laki kampung untuk mendengarnya dan membayangkan tengah bergumul di
atas ranjang dengan perempuan itu. Hal itu menyebabkan para istri cemburu
sehingga menuntut Pak RT untuk menghentikan nyanyian kamar mandi si perempuan.
Namun, setelah perempuan itu berhenti menyanyi, para laki-laki kampung tetap
saja mendengarkan suara perempuan itu mandi: suara baju yang ditanggalkan,
guyuran air, dan gosokan sabun pada tubuh. Semua itu tetap membangkitkan
imajinasi syahwati para laki-laki kampung. Karena demikian, para istri ingin
perempuan itu hengkang dari kampung mereka. Salah satu alasannya adalah karena
hal itu telah mengganggu keharmonisan aktivitas seksual pasutri kampung itu;
suami mereka malah membayangkan perempuan itu ketika tengah bersenggama dengan
istrinya. Akhirnya, karena keresahan para istri itulah perempuan itu terpaksa
diusir dari kampung tersebut. Ironisnya, meskipun perempuan itu telah tiada,
para laki-laki di kampung itu tetap saja berimajinasi bergumul di atas ranjang
dengannya. Imajinasi para laki-laki yang tidak bisa dijinakkan itulah yang
membuat Pak RT mengeluarkan sebuah aturan: dilarang menyanyi di kamar mandi.
Cerpen DMKM diawali dengan penggambaran
tempat terjadinya perkara. Bila dianogkan, kamar
mandi yang dideskripsikan sebagai tempat yang terpencil (digambarkan sebagai
satu-satunya tempat di ujung gang) adalah bentuk imajinasi Barat terhadap
Timur. Di tempat yang sulit dijangkau itulah Barat meletakkan imajinasi
magisnya tentang Timur, yaitu segala prasangka dan asumsi yang pada akhirnya
menggerakkan Barat untuk menyibak belantara Timur yang liar.
Tempat di ujung gang yang “terasa”
sulit dijangkau tersebut adalah sebuah tempat yang sebenarnya bersebelahan
dengan permukiman warga, bahkan adalah bagian dari permukiman mereka sendiri.
Namun, karena ia adalah kawasan yang “dianggap” melahirkan beragam misteri, ia
menjadi liyan. Batas abstrak tersebut kemudian menjadi garis imajinatif yang
membedakan antara “kita” dan “mereka”.
Hal ini bisa disamakan dengan Timur
dalam wacana orientalisme. Bagi orang-orang Eropa, Timur tidak hanya
bersebelahan dengan kawasan mereka… (tetapi juga) bagian dari imajinasi Eropa
yang terdalam. Timur adalah “yang lain” (the
other) bagi Eropa (Said, 1978:2). Dengan demikian, Timur yang antah
berantah adalah imajinasi Barat belaka. Kemisteriusan imajiner sebuah tempat di
ujung gang dalam cerpen DMKM hanyalah sebuah fantasi warga kampung.
Bagi Said (1978:6), apa yang mereka
(Barat) ketahui merupakan sesuatu yang telah mereka ciptakan. Artinya, sebelum
Timur dijangkau, Barat terlebih dahulu mengonstruksikan Timur dengan berbagai
prasangka: iklim yang aneh, panorama eksotis, budaya primitif, dan
makhluk-makhluknya yang abnormal. Prasangka-prasangka tersebut juga didasarkan
pada pengetahuan mereka yang sedikit tentang Timur.
Hal ini juga sama dengan apa yang
terjadi pada warga kampung dalam cerpen DMKM, yaitu pengetahuan yang tidak
banyak tentang tempat di ujung gang dan penghuninya (tokoh perempuan yang
menyanyi di kamar mandi) telah mengonstruksikan citra perempuan itu sesuai
dengan imajinasi yang diinginkan mereka (sensual, memuaskan, dan berbahaya).
Dalam orientalisme, despotisme Timur, keagungan Timur, kebrutalan Timur, dan
sensualitas Timur, berbagai sekte Timur, filsafat Timur, dan beragam
kearifannya disesuaikan dengan kepentingan lokal Eropa (Said, 1978:5).
Dalam cerpen DMKM, gambaran tentang
perempuan yang begitu erotis dan menggairahkan diimajinasikan untuk memenuhi
kebutuhan libidinal warga laki-laki. Di sisi lain, para istri berimajinasi
bahwa perempuan itu adalah sejenis makhluk berbahaya yang bisa memancing nafsu
birahi suami-suami mereka. Imajinasi-imajinasi tersebut disesuaikan dengan
kepentingan masing-masing pihak. Pada akhirnya, menurut V.G. Kiernan, imajinasi
tentang Timur merupakan mimpi kolektif
Eropa di siang bolong (Said, 1978:78). Di dalam cerpen DMKM, imajinasi tentang
tokoh perempuan yang mandi di ujung gang menjelma mimpi kolektif warga kampung.
Di dalam cerpen itu disebutkan, segala
sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak.
Imajinasi-imajinasi itulah yang kemudian
melahirkan representasi. Orientalisme mengungkapkan dan merepresentasikan Timur
secara kultural dan ideologis dalam bentuk wacana beserta dengan institusi,
kosakata, kesarjanaan, pencitraan, dan doktrin pendukungnya, bahkan dengan
birokrasi dan gaya-gaya kolonialnya (Said, 1978:2). Begitu juga dalam cerpen
DMKM, para laki-laki merepresentasikan perempuan yang menyanyi di kamar mandi
dengan pencitraan yang sensual untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Hal itu
misalnya terdapat pada bagian ketika mereka tengah mendramatisasi tahap-tahap
perempuan mandi.
Lantas segalanya
jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi
ritsleiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu,
yang jelas suara wanita. Lantas, byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-rupanya
mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantap
dan penuh semangat. Namun, yang dinanti-nantikan Pak RT bukan itu. Bukan pula
bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah yang sangat terbuka untuk ditafsirkan
sebebas-bebasnya.
Dengan
penggambaran seperti itu, sejatinya para laki-laki tersebut tengah melakukan
representasi. Reprensentasi itu tidak harus sesuai dengan kenyataannya. Barat
(para laki-laki) seperti memiliki semacam wewenang untuk merepresentasikan
Timur (perempuan itu) sebagai pihak yang inferior. Hal ini misalnya dikonsepsikan
Said (1978:31) dengan istilah “truisme” (kebenaran aksiomatik): bahwa
seandainya dunia Timur dapat menampilkan dirinya sendiri, tentu ia akan
melakukannya, tetapi karena ia tidak mampu melakukannya, para orientalis merasa
perlu untuk mewakilinya dalam bentuk teks-teks imajinatif dan ilmiah. Dalam
wacana feminisme, perempuan kerap dipandang sebagai pihak yang tidak mampu
menampilkan dirinya sendiri sehingga ia perlu direpresentasikan oleh orang lain
(laki-laki). Karena reprensentasi itu tidak selalu benar, ia berpotensi menjadi
stereotipe.
Di dalam cerpen DMKM, sebenarnya para
laki-laki tersebut tidak mengetahui betul atau bahkan tidak mengetahui sama
sekali perempuan yang menyanyi di kamar mandi. Segala yang diatributkan kepada
perempuan itu berasal dari imajinasi dan representasi. Representasi tersebut
berasal dari pengetahuan eksterior belaka, bukan dari pengetahuan yang mendalam
terhadap apa yang direpresentasikan. Kemudian representasi tersebut menjalar
dari mulut ke mulut. Alhasil, pengetahuan tentang perempuan itu hanya berasal
dari orang-orang yang juga sebelumnya tahu dari orang lain.
Hal inilah yang terjadi pada Timur yang
direpresentasikan. Timur yang dikaji pada umumnya adalah Timur yang berupa
dunia tekstual. Dunia Timur diciptakan melalui buku-buku dan
manuskrip-manuskrip (Said, 1978:77). Hal itu juga menunjukkan bahwa apa yang
mereka anggap sebagai Timur hanyalah Timur dari kulit luarnya. Mereka belum
menggambarkan Timur secara utuh, asli, dan yang belum didefinsikan. Oleh karena
itulah Said (1978:32) juga mengatakan bahwa
sesuatu yang lazimnya disebarluaskan oleh eksterioritas semacam itu pada
umumnya bukanlah “kebenaran”, melainkan sebatas representasi.
Bagi Said yang meminjam kata-kata
Wallace Steven (1978:7), konstelasi gagasan-gagasan (representasi) semacam itu
adalah sesuatu yang sangat penting mengenai Timur dan bukan mengacu pada
“wujudnya semata-mata”. Artinya, benar atau tidaknya representasi itu tidaklah
penting; yang penting adalah bagaimana representasi tersebut sesuai dan dapat memenuhi
hasrat Barat akan imajinasinya tentang Timur. Begitu juga yang terjadi pada
cerpen DMKM, kebenaran terhadap perempuan yang mandi itu tidaklah penting; yang
penting adalah citraan terhadap adegan mandi bisa memenuhi fantasi seksual para
laki-laki: Dan memang dendang kecil itu
segera menjadi nyanyian yang bisa dianggap seksi, sesuai dengan gambaran umum
mengenai suara yang seksi.
Karena representasi itu seringkali tidak
sesuai dengan kenyataannya, ia kerap terjebak pada penggambaran yang
berlebihan. Representasi para laki-laki kampung terhadap perempuan itu menjadi
berlebihan ketika mereka mendramatisasi tahap-tahap mandi, nyanyian yang
menggairahkan, dan bahkan sampai membayangkan persenggamaan yang begitu seru.
Dalam konteks orientalisme, pernyataan tentang Timur seringkali dilakukan
dengan cara pengucilan, pencerabutan, dan pencitraan secara berlebih-lebihan,
melebihi “dunia Timur” yang sebenarnya,
sebab ia tidak bergantung pada Timur dalam kenyataannya (Said, 1978:32).
Di dalam cerpen DMKM, representasi
terhadap perempuan yang mandi pada hakikatnya melangkahi wujud yang sebenarnya
(karena para laki-laki tersebut belum tahu benar tentang perempuan itu). Para
laki-laki menggunakan teknik representasi untuk menjadikan perempuan itu
seolah-olah hadir. Bayangan itu merasuki fantasi-fantasi seksual para laki-laki
hingga berimbas pada keharmonisan hubungan seksual dengan istri-istri mereka.
Gambaran tentang perempuan itu bukan
sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana yang diingingkan oleh para laki-laki.
Begitu pula yang dikeluhkan oleh para istri sebenarnya merupakan bentuk
berlebih-lebihan ketika merepresentasikan potensi ancaman perempuan itu. “Jangan-jangan, khayalan para ibu tentang
isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan!”
Representasi akan muncul ketika terjadi
relasi subjek-objek. Dalam cerpen DMKM, subjek adalah warga kampung (baik
laki-laki maupun para istrinya), sedangkan objek adalah perempuan yang menyanyi
di kamar mandi sebagai manusia yang tinggal di ujung gang. Warga kampung sebagai
subjek merasa berhak merepresentasikan perempuan itu (objek). Dalam konteks
orientalisme, Barat sebagai subjek berhak merepresentasikan Timur sebagai
subjek. Perempuan itu dan Timur adalah objek yang pada akhirnya menjadi liyan.
Secara geografis, biasanya liyan
dianggap sebagai makhluk yang tinggal di luar kawasan yang mengobjekkannya.
Liyan kemudian menjelma sesuatu yang tidak normal karena tidak sekawasan dengan
yang meliyankan. Menurut Said (1978:80), sekelompok orang yang tinggal di satu
tempat tertentu akan menciptkan batas-batas antara tanah tempat tinggal mereka
dengan lingkungan dan kawasan luar yang mereka sebut sebagai “tanah orang-orang
biadab”.
Bagi para istri di kampung tersebut,
perempuan yang menyanyi di kamar mandi adalah sejenis manusia “tidak biasa”,
tanpa adab yang tinggal di kawasan nun jauh di sana (ujung gang). Oleh karena
itu para istri mengaggap bahwa perempuan itu adalah makhluk yang meresahkan dan
menggoda (meski tidak disengaja). Perempuan sebagaimana Timur adalah hal-hal
yang tak biasa seperti orang asing, hal-hal yang menyalahi kebiasaan atau
perilaku abnormal (Said, 1978:80). Karena pandangan terhadap perempuan itu
diukur dengan norma-norma atau nilai-nilai para istri, akhirnya ia menjadi
misterius karena ke-lain-annya. Begitu juga rasionalitas Barat dirongrong oleh
eksotisme Timur yang dianggap sebagai sesuatu yang misterius yang diukur dari
nilai-nilai normal (Barat) pada umumnya (Said, 1978:85).
Padahal, sebenarnya yang menjadikan
perempuan itu sebagai liyan hanyalah imajinasi warga kampung. Perempuan itu
juga sama seperti manusia pada umumnya sebagaimana kutipan berikut.
Seorang wanita
muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita yang
hidup dengan sangat teratur. Pergi ke kantor dan pulang ke rumah pada waktu
yang tepat. Bangun tidur pada jam yang telah ditentukan. Makan dan membaca buku
pada saat yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi
dengan suara yang serak-serak basah.
Kutipan
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada yang abnormal pada perempuan itu. Hanya
cara pandang tertentulah yang membuatnya menjadi abnormal. Pandangan terhadap
Timur menjadi abnormal ketika Barat menggunakan kacamata kebaratannya untuk
menilai Timur.
Karena keliyanannya tersebut, perempuan
itu dianggap sebagai manusia yang berbahaya. Pandangan tersebut adalah sebentuk
paranoia yang biasanya menjangkiti orang/masyarakat yang terancam. Cerpen DMKM
menampilkan perempuan itu sebagaimana dunia Timur yang selalu digambarkan
menjadi sumber bencana bagi Barat (Said, 1978:85). “Timur” selalu berarti
“bahaya” dan “ancaman” (Said, 1978:39). Oleh karena dipandang sebagai musuh,
Timur diberi rasa kehampaan, kekalahan, dan malapetaka yang seolah menjadi
tantangan Barat untuk menghadapi dan mengurusnya (Said, 1978:83).
Mengusir perempuan itu dipandang sebagai
bentuk tindakan yang tepat agar keadaan kampung kembali kondusif. Dalam konteks
orientalisme, hal itu bisa berarti melakukan penguasaan terhadap Timur. Timur
yang liar dan liyan perlu dijinakkan agar tidak mengancam Barat. Barat
mengajarkannya, mencarikannya solusi, dan menguasainya. Singkatnya,
orientalisme adalah gaya Barat untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan
kekuasaan mereka terhadap dunia Timur (Said, 1978:4). Sebagai pihak yang “terzalimi”,
Timur seperti tidak memiliki kekuatan untuk menolak atau menegasikan hegemoni
Barat Said (1978:10).
Dalam cerpen DMKM, ketika dilarang
menyanyi atau diusir dari kampung tersebut, perempuan itu tidak protes. Ia
tidak membela kesalahan yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Ketika
dilarang menyanyi di kamar mandi, perempuan itu hanya berkata, “Baiklah Pak RT, saya usahakan untuk tidak
menyanyi di kamar mandi.” Begitu pula ketika diusir dari kampung, perempuan
itu hanya tersenyum penuh pengertian seraya berkata, “Sudahlah Pak, jangan dipikir, saya mau pindah ke kondominium saja,
supaya tidak mengganggu orang lain.”
Simpulan
Pembacaan
orientalisme terhadap cerpen itu menunjukkan bahwa asumsi kaotik yang
dilekatkan pada perempuan dipantik oleh imajinasi terhadap tubuh perempuan itu sendiri.
Fantasi seksual tentang perempuan yang ditonjolkan secara berlebihan sebagai
sebuah hiperealitas disebut sebagai proses seksualisasi (Candraningrum, 2014). Dalam kultur
patriarkal, prasangka atas tubuh perempuan adalah iblis, setan, dan dosa. Tubuh
perempuan merupakan tubuh sosial, yaitu tubuh yang dibayangkan, diimajinasikan,
didefinisikan oleh sebuah masyarakat modern (Candraningrum, 2014).
Demonisasi atas tubuh perempuan
mengharuskan ia untuk dinormalisasikan. Docile
body adalah istilah yang digunakan Foucault untuk menjelaskan tubuh yang
dijinakkan dan didisiplinkan atas nama peradaban. Untuk menguasai subjektivitas
liyan, tubuh feminin perempuan harus dikuasai dan dibungkam. Ketidakberdayaan
terus-menerus dipaksakan sehingga perempuan tidak sadar menerima itu sebagai
sebuah status. Tujuannya semata-mata untuk merampas kebebasan dan etos
pemberontakannya (Candraningrum, 2014).
Dengan demikian, sebagai objek, pada
akhirnya perempuan bukan pemilik tubuhnya sendiri. Ia ditentukan, dikendalikan,
dan dikontrol oleh laki-laki. Perempuan tidak dibiarkan memiliki otoritas
tubuhnya sendiri. Oleh karena itu, dalam praktik hidupnya, perempuan tidak
punya hak menolak hubungan seksual, mengatur jarak dan menunda kehamilan,
memilih kontrasepsi, menolak disunat, dan sebagainya. Perempuan tidak diperkenankan
memiliki seksualitasnya sendiri (Amiruddin, 2013).
Daftar Rujukan
Ajidarma,
Seno Gumira. (2006). Dilarang Menyanyi di
Kamar Mandi. Yogyakarta: Galang Press.
Amiruddin,
Mariana. (2013). Tes Keperawanan:
Kebodohan yang Mempermalukan Perempuan. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org.
Candraningrum,
Dewi. (2014). Industrialisasi dan
Seksualisasi Perempuan dalam Media. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org.
________
. (2014). Karir Patriarki. Diunduh
dari www.jurnalperempuan.org.
________
. (2014). Sozialkoerper des Islam dalam
Praktik Berjilbab Masyarakat Indonesia. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org.
Said,
Edward. (1978). Orientalisme: Menggugat
Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Terjemahan Achmad
Fawaid. 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Disajikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra pada 1 Juni 2016
Prodi Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar