Senin, 06 Juni 2016

TUBUH PEREMPUAN: TIMUR YANG IMAJINER (PEMBACAAN ORIENTALISME ATAS CERPEN “DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA)


Royyan Julian
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Madura
Jalan Raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan

Abstrak
Eksistensi tokoh perempuan dalam cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (DMKM) karya Seno Gumira Ajidarma merupakan faktor yang menyebabkan iritasi sosial. Namun, sebenarnya yang menjadi pemicunya adalah imajinasi tentang tubuh perempuan itu sendiri. Dengan menggunakan pembacaan orientalisme Edward Said, tulisan ini mendedah cerpen tersebut dalam perspektif wacana poskolonial. Tujuannya adalah untuk melihat wacana tubuh perempuan yang digunakan sebagai alat untuk menghegemoni. Hasil pembacaan menunjukkan bahwa, sebagaimana imajinasi Barat terhadap Timur, para tokoh laki-laki dalam cerpen tersebut memandang tubuh (feminin) perempuan sebagai entitas yang asing, liar, misterius, dan erotis. Dengan cara pandang tersebut, posisi perempuan menjadi liyan (others). Dalam isu-isu kontemporer, imajinasi syahwati tubuh perempuan diperkuda sebagai premis untuk melegitimasi norma-norma yang menguntungkan pihak tertentu (laki-laki).  

Kata kunci: tubuh perempuan, Timur yang imajiner, orientalisme, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, Seno Gumira Ajidarma.

Latar Belakang
Dalam bukunya, Orientalisme (1978), Edward Said berkata bahwa orang Eropa menganggap Timur sebagai barang temuan mereka. Bahkan, sejak zaman dahulu, Timur telah menjadi tempat yang penuh romansa, makhluk-makhluk eksotik, kenangan, panorama yang indah, dan pengalaman-pengalaman yang mengesankan (1978:1). Timur adalah dunia yang asing, misterius, primitif, brutal, feminin; ia perlu disibak dan ditemukan bagai harta karun. Keingintahuan Barat yang penuh nafsu itulah yang menjadi alasan munculnya apa yang dinamakan orientalisme.
            Orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur yang didasarkan pada keeksotikannya di mata orang Eropa (Said, 1978:2). Orientalisme menjadi sebuah disiplin, wacana, atau sebuah cara memahami Timur (sebagai objek kajiannya) untuk menyingkapkan misterinya dan pada ujung-ujungnya dimaksudkan untuk didominasi/dikuasai. Uniknya, orientalisme tidak memiliki wacana tandingan (oksidentalisme).
Tulisan ini hendak mengupas cerpen Seno Gumira Ajidarma, DMKM, dengan kacamata orientalisme. Salah satu hal menarik di dalam cerpen tersebut adalah kehadiran tokoh sentral, yakni seorang perempuan. Tokoh perempuan mandi tersebut dapat dianalogkan dengan Timur yang imajiner (bagi Barat) sehingga perlu ditaklukan atau dikuasai.
Dengan menggunakan wacana poskolonial saidian, analisis terhadap cerpen DMKM menampakkan isu-isu seputar peliyanan terhadap perempuan. Peliyanan tersebut bermula dari imajinasi (laki-laki) terhadap tubuh perempuan yang dipandang penuh dengan potensi erotis dan seksual. Bukannya tidak mungkin jika akumulasi imajinasi tersebut disengaja, sebab pada akhirnya, asumsi-asumsi terhadap tubuh perempuan digunakan sebagai alat untuk mengobjektivikasi perempuan itu sendiri. Sudut pandang pembacaan itulah yang lebih jauh akan dibahas dalam tulisan ini.

Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengupas wacana tubuh perempuan sebagai Timur yang imajiner dalam cerpen DMKM dengan perspektif orientalisme. Pada pandangan yang lebih luas, pembacaan poskolonial tersebut dapat digunakan sebagai postulat untuk melihat persoalan yang menyangkut isu-isu objektivikasi/hegemoni terhadap perempuan.

Pembahasan
Cerpen DMKM mengisahkan sebuah kampung yang “diresahkan” oleh nyanyian seorang perempuan di kamar mandi. Suara nyanyian perempuan tersebut selalu mengundang para laki-laki kampung untuk mendengarnya dan membayangkan tengah bergumul di atas ranjang dengan perempuan itu. Hal itu menyebabkan para istri cemburu sehingga menuntut Pak RT untuk menghentikan nyanyian kamar mandi si perempuan. Namun, setelah perempuan itu berhenti menyanyi, para laki-laki kampung tetap saja mendengarkan suara perempuan itu mandi: suara baju yang ditanggalkan, guyuran air, dan gosokan sabun pada tubuh. Semua itu tetap membangkitkan imajinasi syahwati para laki-laki kampung. Karena demikian, para istri ingin perempuan itu hengkang dari kampung mereka. Salah satu alasannya adalah karena hal itu telah mengganggu keharmonisan aktivitas seksual pasutri kampung itu; suami mereka malah membayangkan perempuan itu ketika tengah bersenggama dengan istrinya. Akhirnya, karena keresahan para istri itulah perempuan itu terpaksa diusir dari kampung tersebut. Ironisnya, meskipun perempuan itu telah tiada, para laki-laki di kampung itu tetap saja berimajinasi bergumul di atas ranjang dengannya. Imajinasi para laki-laki yang tidak bisa dijinakkan itulah yang membuat Pak RT mengeluarkan sebuah aturan: dilarang menyanyi di kamar mandi.
Cerpen DMKM diawali dengan penggambaran tempat terjadinya perkara. Bila dianogkan, kamar mandi yang dideskripsikan sebagai tempat yang terpencil (digambarkan sebagai satu-satunya tempat di ujung gang) adalah bentuk imajinasi Barat terhadap Timur. Di tempat yang sulit dijangkau itulah Barat meletakkan imajinasi magisnya tentang Timur, yaitu segala prasangka dan asumsi yang pada akhirnya menggerakkan Barat untuk menyibak belantara Timur yang liar.
            Tempat di ujung gang yang “terasa” sulit dijangkau tersebut adalah sebuah tempat yang sebenarnya bersebelahan dengan permukiman warga, bahkan adalah bagian dari permukiman mereka sendiri. Namun, karena ia adalah kawasan yang “dianggap” melahirkan beragam misteri, ia menjadi liyan. Batas abstrak tersebut kemudian menjadi garis imajinatif yang membedakan antara “kita” dan “mereka”.
Hal ini bisa disamakan dengan Timur dalam wacana orientalisme. Bagi orang-orang Eropa, Timur tidak hanya bersebelahan dengan kawasan mereka… (tetapi juga) bagian dari imajinasi Eropa yang terdalam. Timur adalah “yang lain” (the other) bagi Eropa (Said, 1978:2). Dengan demikian, Timur yang antah berantah adalah imajinasi Barat belaka. Kemisteriusan imajiner sebuah tempat di ujung gang dalam cerpen DMKM hanyalah sebuah fantasi warga kampung. 
Bagi Said (1978:6), apa yang mereka (Barat) ketahui merupakan sesuatu yang telah mereka ciptakan. Artinya, sebelum Timur dijangkau, Barat terlebih dahulu mengonstruksikan Timur dengan berbagai prasangka: iklim yang aneh, panorama eksotis, budaya primitif, dan makhluk-makhluknya yang abnormal. Prasangka-prasangka tersebut juga didasarkan pada pengetahuan mereka yang sedikit tentang Timur.
Hal ini juga sama dengan apa yang terjadi pada warga kampung dalam cerpen DMKM, yaitu pengetahuan yang tidak banyak tentang tempat di ujung gang dan penghuninya (tokoh perempuan yang menyanyi di kamar mandi) telah mengonstruksikan citra perempuan itu sesuai dengan imajinasi yang diinginkan mereka (sensual, memuaskan, dan berbahaya). Dalam orientalisme, despotisme Timur, keagungan Timur, kebrutalan Timur, dan sensualitas Timur, berbagai sekte Timur, filsafat Timur, dan beragam kearifannya disesuaikan dengan kepentingan lokal Eropa (Said, 1978:5).
Dalam cerpen DMKM, gambaran tentang perempuan yang begitu erotis dan menggairahkan diimajinasikan untuk memenuhi kebutuhan libidinal warga laki-laki. Di sisi lain, para istri berimajinasi bahwa perempuan itu adalah sejenis makhluk berbahaya yang bisa memancing nafsu birahi suami-suami mereka. Imajinasi-imajinasi tersebut disesuaikan dengan kepentingan masing-masing pihak. Pada akhirnya, menurut V.G. Kiernan, imajinasi tentang Timur  merupakan mimpi kolektif Eropa di siang bolong (Said, 1978:78). Di dalam cerpen DMKM, imajinasi tentang tokoh perempuan yang mandi di ujung gang menjelma mimpi kolektif warga kampung. Di dalam cerpen itu disebutkan, segala sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak.
Imajinasi-imajinasi itulah yang kemudian melahirkan representasi. Orientalisme mengungkapkan dan merepresentasikan Timur secara kultural dan ideologis dalam bentuk wacana beserta dengan institusi, kosakata, kesarjanaan, pencitraan, dan doktrin pendukungnya, bahkan dengan birokrasi dan gaya-gaya kolonialnya (Said, 1978:2). Begitu juga dalam cerpen DMKM, para laki-laki merepresentasikan perempuan yang menyanyi di kamar mandi dengan pencitraan yang sensual untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Hal itu misalnya terdapat pada bagian ketika mereka tengah mendramatisasi tahap-tahap perempuan mandi.

Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi ritsleiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas, byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-rupanya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantap dan penuh semangat. Namun, yang dinanti-nantikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya.  

Dengan penggambaran seperti itu, sejatinya para laki-laki tersebut tengah melakukan representasi. Reprensentasi itu tidak harus sesuai dengan kenyataannya. Barat (para laki-laki) seperti memiliki semacam wewenang untuk merepresentasikan Timur (perempuan itu) sebagai pihak yang inferior. Hal ini misalnya dikonsepsikan Said (1978:31) dengan istilah “truisme” (kebenaran aksiomatik): bahwa seandainya dunia Timur dapat menampilkan dirinya sendiri, tentu ia akan melakukannya, tetapi karena ia tidak mampu melakukannya, para orientalis merasa perlu untuk mewakilinya dalam bentuk teks-teks imajinatif dan ilmiah. Dalam wacana feminisme, perempuan kerap dipandang sebagai pihak yang tidak mampu menampilkan dirinya sendiri sehingga ia perlu direpresentasikan oleh orang lain (laki-laki). Karena reprensentasi itu tidak selalu benar, ia berpotensi menjadi stereotipe.
Di dalam cerpen DMKM, sebenarnya para laki-laki tersebut tidak mengetahui betul atau bahkan tidak mengetahui sama sekali perempuan yang menyanyi di kamar mandi. Segala yang diatributkan kepada perempuan itu berasal dari imajinasi dan representasi. Representasi tersebut berasal dari pengetahuan eksterior belaka, bukan dari pengetahuan yang mendalam terhadap apa yang direpresentasikan. Kemudian representasi tersebut menjalar dari mulut ke mulut. Alhasil, pengetahuan tentang perempuan itu hanya berasal dari orang-orang yang juga sebelumnya tahu dari orang lain.
Hal inilah yang terjadi pada Timur yang direpresentasikan. Timur yang dikaji pada umumnya adalah Timur yang berupa dunia tekstual. Dunia Timur diciptakan melalui buku-buku dan manuskrip-manuskrip (Said, 1978:77). Hal itu juga menunjukkan bahwa apa yang mereka anggap sebagai Timur hanyalah Timur dari kulit luarnya. Mereka belum menggambarkan Timur secara utuh, asli, dan yang belum didefinsikan. Oleh karena itulah Said (1978:32) juga mengatakan bahwa  sesuatu yang lazimnya disebarluaskan oleh eksterioritas semacam itu pada umumnya bukanlah “kebenaran”, melainkan sebatas representasi.
Bagi Said yang meminjam kata-kata Wallace Steven (1978:7), konstelasi gagasan-gagasan (representasi) semacam itu adalah sesuatu yang sangat penting mengenai Timur dan bukan mengacu pada “wujudnya semata-mata”. Artinya, benar atau tidaknya representasi itu tidaklah penting; yang penting adalah bagaimana representasi tersebut sesuai dan dapat memenuhi hasrat Barat akan imajinasinya tentang Timur. Begitu juga yang terjadi pada cerpen DMKM, kebenaran terhadap perempuan yang mandi itu tidaklah penting; yang penting adalah citraan terhadap adegan mandi bisa memenuhi fantasi seksual para laki-laki: Dan memang dendang kecil itu segera menjadi nyanyian yang bisa dianggap seksi, sesuai dengan gambaran umum mengenai suara yang seksi.
Karena representasi itu seringkali tidak sesuai dengan kenyataannya, ia kerap terjebak pada penggambaran yang berlebihan. Representasi para laki-laki kampung terhadap perempuan itu menjadi berlebihan ketika mereka mendramatisasi tahap-tahap mandi, nyanyian yang menggairahkan, dan bahkan sampai membayangkan persenggamaan yang begitu seru. Dalam konteks orientalisme, pernyataan tentang Timur seringkali dilakukan dengan cara pengucilan, pencerabutan, dan pencitraan secara berlebih-lebihan, melebihi “dunia Timur” yang sebenarnya, sebab ia tidak bergantung pada Timur dalam kenyataannya (Said, 1978:32).
Di dalam cerpen DMKM, representasi terhadap perempuan yang mandi pada hakikatnya melangkahi wujud yang sebenarnya (karena para laki-laki tersebut belum tahu benar tentang perempuan itu). Para laki-laki menggunakan teknik representasi untuk menjadikan perempuan itu seolah-olah hadir. Bayangan itu merasuki fantasi-fantasi seksual para laki-laki hingga berimbas pada keharmonisan hubungan seksual dengan istri-istri mereka.
Gambaran tentang perempuan itu bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana yang diingingkan oleh para laki-laki. Begitu pula yang dikeluhkan oleh para istri sebenarnya merupakan bentuk berlebih-lebihan ketika merepresentasikan potensi ancaman perempuan itu. “Jangan-jangan, khayalan para ibu tentang isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan!”
Representasi akan muncul ketika terjadi relasi subjek-objek. Dalam cerpen DMKM, subjek adalah warga kampung (baik laki-laki maupun para istrinya), sedangkan objek adalah perempuan yang menyanyi di kamar mandi sebagai manusia yang tinggal di ujung gang. Warga kampung sebagai subjek merasa berhak merepresentasikan perempuan itu (objek). Dalam konteks orientalisme, Barat sebagai subjek berhak merepresentasikan Timur sebagai subjek. Perempuan itu dan Timur adalah objek yang pada akhirnya menjadi liyan.
Secara geografis, biasanya liyan dianggap sebagai makhluk yang tinggal di luar kawasan yang mengobjekkannya. Liyan kemudian menjelma sesuatu yang tidak normal karena tidak sekawasan dengan yang meliyankan. Menurut Said (1978:80), sekelompok orang yang tinggal di satu tempat tertentu akan menciptkan batas-batas antara tanah tempat tinggal mereka dengan lingkungan dan kawasan luar yang mereka sebut sebagai “tanah orang-orang biadab”.
Bagi para istri di kampung tersebut, perempuan yang menyanyi di kamar mandi adalah sejenis manusia “tidak biasa”, tanpa adab yang tinggal di kawasan nun jauh di sana (ujung gang). Oleh karena itu para istri mengaggap bahwa perempuan itu adalah makhluk yang meresahkan dan menggoda (meski tidak disengaja). Perempuan sebagaimana Timur adalah hal-hal yang tak biasa seperti orang asing, hal-hal yang menyalahi kebiasaan atau perilaku abnormal (Said, 1978:80). Karena pandangan terhadap perempuan itu diukur dengan norma-norma atau nilai-nilai para istri, akhirnya ia menjadi misterius karena ke-lain-annya. Begitu juga rasionalitas Barat dirongrong oleh eksotisme Timur yang dianggap sebagai sesuatu yang misterius yang diukur dari nilai-nilai normal (Barat) pada umumnya (Said, 1978:85).
Padahal, sebenarnya yang menjadikan perempuan itu sebagai liyan hanyalah imajinasi warga kampung. Perempuan itu juga sama seperti manusia pada umumnya sebagaimana kutipan berikut.

Seorang wanita muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita yang hidup dengan sangat teratur. Pergi ke kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang tepat. Bangun tidur pada jam yang telah ditentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara yang serak-serak basah.

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada yang abnormal pada perempuan itu. Hanya cara pandang tertentulah yang membuatnya menjadi abnormal. Pandangan terhadap Timur menjadi abnormal ketika Barat menggunakan kacamata kebaratannya untuk menilai Timur.
Karena keliyanannya tersebut, perempuan itu dianggap sebagai manusia yang berbahaya. Pandangan tersebut adalah sebentuk paranoia yang biasanya menjangkiti orang/masyarakat yang terancam. Cerpen DMKM menampilkan perempuan itu sebagaimana dunia Timur yang selalu digambarkan menjadi sumber bencana bagi Barat (Said, 1978:85). “Timur” selalu berarti “bahaya” dan “ancaman” (Said, 1978:39). Oleh karena dipandang sebagai musuh, Timur diberi rasa kehampaan, kekalahan, dan malapetaka yang seolah menjadi tantangan Barat untuk menghadapi dan mengurusnya (Said, 1978:83).
Mengusir perempuan itu dipandang sebagai bentuk tindakan yang tepat agar keadaan kampung kembali kondusif. Dalam konteks orientalisme, hal itu bisa berarti melakukan penguasaan terhadap Timur. Timur yang liar dan liyan perlu dijinakkan agar tidak mengancam Barat. Barat mengajarkannya, mencarikannya solusi, dan menguasainya. Singkatnya, orientalisme adalah gaya Barat untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia Timur (Said, 1978:4). Sebagai pihak yang “terzalimi”, Timur seperti tidak memiliki kekuatan untuk menolak atau menegasikan hegemoni Barat Said (1978:10).
Dalam cerpen DMKM, ketika dilarang menyanyi atau diusir dari kampung tersebut, perempuan itu tidak protes. Ia tidak membela kesalahan yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Ketika dilarang menyanyi di kamar mandi, perempuan itu hanya berkata, “Baiklah Pak RT, saya usahakan untuk tidak menyanyi di kamar mandi.” Begitu pula ketika diusir dari kampung, perempuan itu hanya tersenyum penuh pengertian seraya berkata, “Sudahlah Pak, jangan dipikir, saya mau pindah ke kondominium saja, supaya tidak mengganggu orang lain.”

Simpulan
Pembacaan orientalisme terhadap cerpen itu menunjukkan bahwa asumsi kaotik yang dilekatkan pada perempuan dipantik oleh imajinasi terhadap tubuh perempuan itu sendiri. Fantasi seksual tentang perempuan yang ditonjolkan secara berlebihan sebagai sebuah hiperealitas disebut sebagai proses seksualisasi  (Candraningrum, 2014). Dalam kultur patriarkal, prasangka atas tubuh perempuan adalah iblis, setan, dan dosa. Tubuh perempuan merupakan tubuh sosial, yaitu tubuh yang dibayangkan, diimajinasikan, didefinisikan oleh sebuah masyarakat modern (Candraningrum, 2014).
Demonisasi atas tubuh perempuan mengharuskan ia untuk dinormalisasikan. Docile body adalah istilah yang digunakan Foucault untuk menjelaskan tubuh yang dijinakkan dan didisiplinkan atas nama peradaban. Untuk menguasai subjektivitas liyan, tubuh feminin perempuan harus dikuasai dan dibungkam. Ketidakberdayaan terus-menerus dipaksakan sehingga perempuan tidak sadar menerima itu sebagai sebuah status. Tujuannya semata-mata untuk merampas kebebasan dan etos pemberontakannya (Candraningrum, 2014).
            Dengan demikian, sebagai objek, pada akhirnya perempuan bukan pemilik tubuhnya sendiri. Ia ditentukan, dikendalikan, dan dikontrol oleh laki-laki. Perempuan tidak dibiarkan memiliki otoritas tubuhnya sendiri. Oleh karena itu, dalam praktik hidupnya, perempuan tidak punya hak menolak hubungan seksual, mengatur jarak dan menunda kehamilan, memilih kontrasepsi, menolak disunat, dan sebagainya. Perempuan tidak diperkenankan memiliki seksualitasnya sendiri (Amiruddin, 2013).

Daftar Rujukan
Ajidarma, Seno Gumira. (2006). Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Yogyakarta: Galang Press.
Amiruddin, Mariana. (2013). Tes Keperawanan: Kebodohan yang Mempermalukan Perempuan. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org.
Candraningrum, Dewi. (2014). Industrialisasi dan Seksualisasi Perempuan dalam Media. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org.
________ . (2014). Karir Patriarki. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org.
________ . (2014). Sozialkoerper des Islam dalam Praktik Berjilbab Masyarakat Indonesia. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org.
Said, Edward. (1978). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Terjemahan Achmad Fawaid. 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 
Disajikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra pada 1 Juni 2016
Prodi Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura.