Royyan
Julian
Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura
Jalan
Raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan
royyanjulian@yahoo.co.id
Abstrak
Kajian ini mengangkat isu mitos
kecantikan dalam cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, yakni “Janda Sungai Gayam” dan
“Perempuan Bisu dan Cermin Ratu”. Perspektif yang digunakan adalah mitos
kecantikan Naomi Wolf. Hasilnya antara lain: (1) kedua cerpen tersebut menggambarkan
bahwa cantik memiliki standar baku rambut hitam panjang, leher jenjang, bibir
merekah, tubuh wangi, kulit kencang-putih-mulus, dan langsing; (2) dalam
cerpen-cerpen tersebut, sesungguhnya kualitas cantik lebih merujuk pada
perilaku yang dapat membangkitkan gairah daripada penampakan fisik; (3) karena
cantik bukan merupakan kualitas instrinsik, ia dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal, yaitu kosmetik dan kekuatan supranatural. Mitos kecantikan dalam
kedua cerpen tersebut berdiri di atas landasan kepentingan dan selera
laki-laki, serta motif perempuan untuk mendapatkan sumber daya yang disediakan
oleh laki-laki, yaitu kesetiaan, pengakuan, pujian, dan keterpesonaan.
Kata kunci: mitos
kecantikan, cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany.
Abstract
This study highlights the myth of beauty in
short stories written by Dwi Ratih Ramadhany, which are “Janda Sungai
Gayam" and “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu". The perspective utilized
in this study is the myth of beauty by Naomi Wolf. The results are: (1) both
the short stories illustrate standards of beauty identified by long black hair,
long neck, sensual lips, body fragrant, white-toned-smooth-skin, and slim body;
(2) in both short stories, the quality of beauty refers to behaviors that could
arouse an excitement rather than merely consider physical appearance; (3)
regarding beauty not as an intrinsic quality, it is affected by external
factors, for instance cosmetic and supernatural powers. Myth of beauty in both
short stories stands on the runway of men’s interest and taste, and women’s
motive to achieve resources provided by men, which are called loyalty,
recognition, praise and charm.
Keywords: myth of beauty, short stories
by Dwi Ratih Ramadhany.
Pendahuluan
Pentingkah menyoal isu
kecantikan jika hal itu kerap dianggap sebagai sesuatu yang profan—bahkan oleh
sebagian perempuan itu sendiri? Jika sebuah cerpen menjadikan kecantikan
sebagai konflik (utama) di antara karakter-karakter yang bermain di dalamnya,
itu berarti persoalan kecantikan barangkali memang bukan isu sepele. Dalam
wacana gender, kecantikan dihubungkan dengan institusi patriarki, kontestasi
antarperempuan, dan industri kapitalistik.
Dalam
cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, “Janda Sungai Gayam” (selanjutnya disingkat
JSG) serta “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” (selanjutnya disingkat PBCR),
persoalan kecantikan—yang menurut Naomi Wolf meracuni alam bawah sadar
perempuan—direpresentasikan. Ada persoalan khas dalam cerpen-cerpen Ramadhany
yang tidak sama dengan wacana kecantikan perempuan Dunia Pertama wolfian. Masalah
usia, misalnya. Menurut Wolf, bertambahnya usia adalah sesuatu yang sangat ditakuti
oleh perempuan dalam kaitannya dengan kecantikan. Namun, dalam cerpen Ramadhany,
ketuaan tidak menjadi masalah bila perempuan yang mengalaminya adalah seorang
janda. Identitas janda justru menjadi salah satu faktor perempuan menjadi
cantik. Uniknya, dalam sejumlah literatur/folklor di Indonesia, tokoh janda
juga kerap dikaitkan dengan sosok yang karib dengan sihir dan alam gaib. Lalu
bagaimana kaitan dunia supranatural tersebut dengan mitos kecantikan dalam
kedua cerpen tersebut?
JSG
mengisahkan seorang janda cantik bernama Ratih. Ia dikisahkan sebagai sosok
perempuan yang karena kecantikannya, banyak perempuan cemas; takut suami mereka
terpikat. Ia digunjingkan sebagai perempuan penggoda. Tidak hanya ibu-ibu, para
perempuan muda iri terhadap kecantikannya. Mereka mencuri resep kecantikannya,
yaitu buah gayam. Sayangnya mereka salah pakai sehingga lulur gayam merusak
tubuh. Warga menganggap bahwa Ratih telah bersekutu dengan entitas dari alam
gaib untuk keuntungan sendiri dengan menumbalkan gadis-gadis itu.
Sementara
itu, PBCR berkisah tentang Putri Salju yang dengki kepada ibu tirinya (Ratu) karena
cantik dan membuat banyak laki-laki terpesona. Putri Salju tidak ingin ada
seorang pun yang menyaingi kecantikannya sehingga dengan bantuan cermin ajaib,
ia bisa mengetahui siapa saja perempuan cantik. Lalu ia akan membunuh
perempuan-perempuan itu sehingga tidak ada lagi yang dapat menyainginya.
Penulis menganggap bahwa cerpen ini diresepsi dari kisah Snow White karya Grimm Bersaudara.
JSG
dan PBCR merupakan cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku Pemilin Kematian (2015) karya Dwi Ratih Ramadhany. Hampir semua
cerpen dalam buku tersebut memilih identitas seks perempuan sebagai heroin. Terlepas
dari persoalan apakah cerpen-cerpen tersebut mengangkat isu kesetaraan gender
atau tidak, yang jelas di dalamnya persoalan perempuan mendapatkan porsi lebih.
Dalam JSG dan PBCR, misalnya, wacana mitos kecantikan wolfian ditampakkan
paling pekat, bahkan menjadi konflik utama.
Mitos
kecantikan dalam JSG dan PBCR menarik untuk diamati, sebab sebagaimana yang
telah dipaparkan, persoalan-persoalan terkait kecantikan dalam cerpen-cerpen
tersebut memang sesuai dengan wacana mitos kecantikan wolfian. Namun, konteks
lokal memberi warna lain. Akhirnya, konteks lokal tersebut menjadi semacam
anomali dari wacana mitos kecantikan wolfian. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa persoalan perempuan Barat memang berbeda dengan masalah perempuan di
negara Dunia Ketiga yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dunia.
Tulisan ini mengangkat
wacana mitos kecantikan dalam cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany yang dalam hal
ini hanya dibatasi pada dua cerpen, yaitu JSG dan PBCR. Pokok-pokok masalah
yang akan dibahas ada tiga. Pertama,
mitos kecantikan memiliki ukuran tertentu. Penulis akan memaparkan standar
kecantikan yang digambarkan dalam cerpen-cerpen tersebut. Kedua, perilaku seperti apakah yang didemonstrasikan tokoh utamanya
sehingga kemudian ia disebut cantik. Ketiga,
karena kecantikan bukan nilai yang intrinsik, maka ada faktor eksternal yang
mengonstruksinya. Faktor tersebut adalah industri kecantikan. Namun, faktor
kecantikan dalam kedua cerpen tersebut juga diasosiasiakan dengan afiliasi
tokoh utama dengan dunia supranatural.
Tulisan ini
mendeskripsikan dan mengungkap wacana mitos kecantikan dalam cerpen JSG dan
PBCR. Dengan menganalisis cerpen-cerpen tersebut akan dilihat mitos kecantikan
perempuan Barat wolfian yang relevan dengan mitos kecantikan dalam cerpen-cerpen
tersebut. Hal ini juga sekaligus untuk mengetahui apa saja perbedaan mitos
kecantikan wolfian dengan mitos kecantikan yang dinarasikan cerpen-cerpen
tersebut. Perbedaan-perbedaan itulah yang kemudian dianggap merepresentasikan
mitos kecantikan yang khas Indonesia.
Mitos
Kecantikan Wolfian
Setelah berhasil
eksodus dari ranah domestik ke wilayah publik—berkat upaya Friedan dan
rekan-rekannya yang menolak mistik feminin—perempuan belum juga berada dalam
situasi yang benar-benar bebas. Ibarat lepas dari mulut harimau masuk ke dalam
mulut buaya, perempuan liberal Dunia Pertama kini bergelut dengan dirinya;
menghadapi monster yang tak kalah bengis. Menurut
Walby, patriarki berubah dan mengalami evolusi serta migrasinya dari ruang
privat (rumah) menuju luar rumah (publik) (Candraningrum, 2016). Patriarki
tersebut kini bernama mitos kecantikan.
Konflik
internal tersebut sesungguhnya dianggap sebagai persoalan sepele yang tak
pantas dipermasalahkan: rambut kusam, muka tembem, kuku tumpul, pinggul lebar,
lengan bergelambir, dan sebagainya. Beauvoir
menyebut hal ini sebagai narsisme, yaitu femininitas yang menguras waktu
produktif perempuan (Tong, 1998:270—271). Masalahnya, struktur
kekuasaan yang telah mereka dobrak pada dekade sebelumnya malih rupa menjadi
kebiasaan makan yang menyimpang, industri kosmetik, pornografi, dan hantu usia.
Meski gelombang emansipasi telah membuat perempuan menjadi mandiri secara
finansial, berkuasa, dan mendapatkan pengakuan hukum, alam bawah sadar mereka
dikontrol oleh perasaan tentang kondisi diri yang berkaitan dengan fisik. Obsesi
tersebut meracuni semua pembicaraan tentang kecantikan (Wolf, 2002:25).
Wolf
(2002:25) menganggap bahwa mitos kecantikan merupakan senjata politis baru para
penentang feminisme. Jika feminisme telah membebaskan perempuan untuk bekerja
di ruang publik dengan dilindungi oleh hukum, dengan segera, muncul kasus-kasus
di Inggris dan Amerika yang melembagakan diskriminasi kerja berdasarkan
penampilan perempuan. Pada saat itulah sekte relijius baru bernama mitos
kecantikan terlahir untuk menggantikan ritual pemujaan tradisional sepanjang
abad patriarki (Wolf, 2002:26).
Momentum
revolusi seksual yang mempromosikan penemuan seksualitas perempuan dimanfaatkan
oleh industri kecantikan. Pornografi kecantikan—yaitu kecantikan yang
terkomodifikasi diasosiasikan secara palsu dengan seksualitas—terus menggempur
perempuan muda dengan maksud merobohkan perasaan tentang harga diri mereka yang
masih baru dan rapuh. Industri tersebut menciptakan produk makanan bagi mereka
yang dikendalikan oleh obsesi berat badan dan teknologi-teknologi kosmetik yang
digunakan sebagai alat kontrol medis perempuan (Wolf, 2002:27).
Mitos
kecantikan menyatakan bahwa kualitas “cantik” memang benar-benar ada secara objektif
dan universal. Perempuan pasti ingin cantik dan laki-laki ingin memiliki
perempuan cantik. Namun, tekanan tentang keinginan tersebut hanya dirasakan
oleh perempuan, bukan laki-laki. Situasi tersebut menjadi sesuatu yang alamiah
dan diperlukan karena sifatnya biologis, seksual, dan evolusioner. Narasi
tentang kebesaran laki-laki seringkali melibatkan perebutan perempuan cantik,
yaitu perempuan yang subur. Sejak sistem berbasis seksual tersebut maujud,
kecantikan menjelma sesuatu yang terstandarkan (Wolf, 2002:29).
Bagi
Wolf, hal itu tidak sepenuhnya benar. Kecantikan, sebagaimana standar emas,
merupakan sistem pertukaran. Kecantikan ditentukan oleh sistem politik. Di
negara Barat, kecantikan adalah agama yang meneguhkan dominasi laki-laki. Mitos
kecantikan kemudian diperalat sebagai pemantik devide et impera yang membuat seorang perempuan berkontestasi
dengan perempuan lainnya demi sumber daya yang diberikan oleh laki-laki.
Tujuannya adalah untuk melemahkan perlawanan perempuan terhadap kuasa patriarki
yang (masih) menempati hierarki puncak (Wolf, 2002:25).
Secara
biologis, antropologis, dan historis, mitos tersebut tidak memiliki rujukan.
Kecantikan bukan hal yang universal dan tidak bisa berubah. Kecantikan juga
bukan bagian dari evolusi spesies. Charles Darwin tidak pernah mencatat bahwa
kecantikan dihasilkan oleh proses seleksi seksual yang memiliki hukum-hukum
berbeda dengan seleksi alam. Sejumlah antropolog menolak klaim bahwa perempuan
harus “cantik” untuk memenangkan seleksi alam. Lalu apa yang menjadi dasar
legitimasi mitos kecantikan? Mitos tersebut mengukuhkan diri pada persoalan
keintiman, seks, dan kehidupan; hal-hal yang diselebrasi oleh perempuan. Mitos
tersebut adalah kombinasi dari jarak emosional, represi politik, ekonomi, dan
seksual. Akhirnya mitos kecantikan bukan semata-mata tentang perempuan. Ia
lebih condong pada persoalan institusi laki-laki dan kekuasaan institusional
(Wolf, 2002:31—32).
Mitos
kecantikan sesungguhnya merujuk pada perilaku, bukan penampakan. Kualitas yang
pada periode tertentu disebut sebagai kecantikan perempuan hanyalah simbol dari
perilaku perempuan yang dianggap menggairahkan. Persaingan antarperempuan
menjadi mitos yang memisahkan mereka satu sama lain. Kemudaan dan keperawanan
menjadi ukuran kecantikan perempuan. Perempuan tua merasa terancam oleh
perempuan muda. Sementara itu, perempuan muda takut menjadi tua. Identitas
perempuan kemudian direduksi hanya sebatas pada kecantikan (Wolf, 2002:32).
Standar
Kecantikan
Menurut Wolf, mitos
kecantikan membutuhkan standar baku karena ia universal. Standar baku tersebut
merupakan imajinasi tentang kesempurnaan perempuan. Mistik feminin yang
menjadikan sosok ibu dan istri rumah tangga sebagai sosok sempurna telah
berganti menjadi perempuan yang telah ditakar ukuran kualitas fisiknya.
Dalam cerpen JSG,
standar kecantikan tersebut mula-mula diukur dari tubuh bagian atas. Ukuran
baku kecantikan tersebut muncul dari pembicaraan warga (dan memang begitulah
seterusnya, standar kecantikan dalam cerpen JSG merupakan akumulasi dari
desas-desus negatif warga terhadap tokoh bernama Ratih).
“Kematian
suaminya (Ratih—peny.) adalah hukuman bagi wanita yang suka menggoda suami
orang dengan kemolekan tubuh dan rambut panjang menjuntai indah sampai pinggul”
(Ramadhany, 2015:70).
Bagaimana sosok
perempuan yang dianggap molek? Kutipan tersebut memberi jawaban bahwa perempuan
cantik mula-mula memiliki ciri-ciri berambut panjang menjuntai hingga pinggul.
Tentunya, rambut tersebut berwarna hitam, sebab cerpen tersebut berlatar
kebudayaan Madura dan orang-orang Madura (sebagaimana orang Indonesia pada
umumnya) memiliki rambut berwarna hitam. Barangkali yang dimaksud dengan kata
“menjuntai” adalah rambut lurus. Standar kecantikan tersebut merupakan refleksi
standar kecantikan pada masa pengarang hidup, bukan standar kecantikan generasi
terdahulu saat rambut ikal menjadi tren.
Rambut panjang dan
hitam menjuntai hingga pinggul tampaknya memang syarat pertama dan utama dapat
dikatakan cantik. Standar yang sama muncul dalam cerpen PBCR atas tokoh Putri
Salju.
“Rambut
hitam panjang menjuntai sampai pinggang, kulit seputih salju, bibir merah
merekah bak buah delima, dan tubuh yang menguar wangi bunga paling harum di
dunia” (Ramadhany, 2015:89).
Pada kutipan tersebut, “rambut hitam
panjang menjuntai sampai pinggang” disebut pertama kali di antara ciri-ciri
penampakan fisik lainnya.
Berbeda dengan mitos
kecantikan di dunia Barat modern bahwa perempuan cantik adalah yang berambut pirang
sebagaimana yang disebut Wolf, dalam cerpen JSG dan PBCR, perempuan dapat
dikatakan cantik apabila memiliki rambut hitam, lurus, dan panjang hingga pinggul/pinggang.
Imajinasi tentang cantik dalam kedua cerpen tersebut lebih merujuk pada
perempuan tradisional yang memiliki rambut panjang ketimbang perempuan modern
yang memiliki model rambut beragam.
Standar kecantikan
dalam cerpen PBCR dilanjutkan dengan deskripsi kulit seputih salju, bibir merah
merekah bagai delima, dan tubuh yang wangi. Kata “wangi” muncul pula dalam
cerpen JSG: “Pun leher jenjang dan wangi rambut panjangnya adalah surga bagi
mereka” (Ramadhany, 2015:71). Faktanya, wangi bukan sifat instrinsik manusia.
Ia disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya bebungaan atau parfum (faktor
eksternal kecantikan akan diulas lebih detail pada pembahasan selanjutnya).
Leher
jenjang sebagai salah satu standar kecantikan hanya muncul dalam cerpen JSG.
Namun, kulit kencang dapat dijumpai pada kedua cerpen tersebut. Perbedaannya,
dalam JSG, kulit kecang diberi embel-embel “mulus”, sedangkan dalam PBCR, kulit
kencang tersebut harus putih. Mengapa putih? Sebab cerita Putri Salju dalam
cerpen tersebut merupakan resepsi kisah Snow
White (Grimm Bersaudara) dengan latar ras kaukasia yang berkulit putih.
Frase
“kulit kecang” seringkali diasosiasikan dengan usia. Pada umumnya, perempuan
tua adalah kelompok usia yang tidak memiliki kualitas tersebut. Oleh karena
itu, menjadi tua adalah kata lain dari mengucapkan selamat tinggal kepada
kecantikan. Para perempuan kerap melawan ketuaan dengan cara menghilangkan
kerutan pada wajah dan mengembalikan kulit kencang sebagaimana pada saat masih
muda.
Dalam
JSG, para laki-laki menghendaki kulit istri mereka kencang.
“Demikian
tubuh idaman setiap lelaki karena tak bisa mereka nikmati lagi dari istri yang
mengembung atau keriput…. “Betul, mana mungkin kulitnya bisa mulus dan kencang
seperti itu kalau bukan karena main dukun.”” (Ramadhany, 2015:71—72).
Begitu juga dalam PBCR, ketuaan dengan
sifat keriput adalah kondisi yang ditakuti, sedangkan kulit kencang menjadi
idaman.
“Saat itu terjadi, ia akan segera menghampirinya dengan kereta kuda tak kasat
mata dan merenggut paras cantiknya, menyisakan kulit keriput dan tubuh ringkih tanpa jiwa…. Semua itu ia lakukan
sejak ibunya meninggal. Belakangan ia tahu bahwa
ketakutanlah yang menggiring ibunya ke alam baka. Sejak ia menyadari bahwa
gelambir bak gajih sapi menjadi perut ibunya dan garis-garis tua mulai muncul di sana-sini, ibunya bernapas dalam
kecemasan.
Kau tahu? Apa lagi yang tersisa jika seorang perempuan
telah pudar cantik dan moleknya?.... Kulitnya lebih kencang dan kecantikannya lebih memancar” (Ramadhany, 2015:90—91).
Satu hal yang muncul secara
tersurat baik pada kutipan JSG maupun PBCR di atas: perempuan cantik harus
langsing. Laki-laki dalam cerpen JSG tidak menikmati tubuh istri mereka karena
mengembung. Sementara itu, ibu kandung Putri Salju mati lantaran jijik terhadap
tubuhnya yang bergelambir lemak dan keriput. Standar kecantikan demikian
merupakan proyeksi mitos kecantikan modern ke dalam kedua cerpen tersebut: perempuan
cantik memiliki tubuh ceking.
Persoalannya, dalam
kedua cerpen tersebut, bertambah umur tidak selalu identik dengan tidak menjadi
cantik. Dalam JSG, gadis-gadis desa justru takut kepada kecantikan Ratih yang
(barangkali) berumur lebih tua. Begitu pula dalam PBCR, Putri Salju merasa
terancam oleh kecantikan ibu tirinya (Ratu). Hal ini menolak anggapan Wolf
bahwa perempuan yang berusia lebih tua takut kepada gadis-gadis muda. Dalam
kedua cerpen tersebut, justru sebaliknya, perempuan-perempuan muda takut kepada
perempuan yang lebih tua. Jika diamati lebih lanjut, sebenarnya yang menjadi
alasan ketakutan bukanlah bertambahnya usia, tetapi tanda-tanda penurunan
kualitas fisik ketika seseorang menjadi tua, yaitu keriput pada kulit.
Pandangan karikatural
terhadap janda membeku sebagai stereotipe. Ia dibenci karena berpotensi merusak
moral sekaligus dicintai karena kemolekan tubuhnya. Akhirnya, janda (bisa)
menjadi salah satu faktor kecantikan karena daya tarik seksualnya. Perempuan
boleh bertambah usia, asal tetap memiliki kulit kencang, apalagi berstatus
janda.
Perilaku
Cantik
Menurut
Wolf, apa yang disebut cantik sejatinya merujuk pada perilaku perempuan yang
menggairahkan. Daya tarik seksual tersebut tidak esensial; bukan sesuatu yang
deterministik. Maka, kecantikan adalah hasil konstruksi dan perempuan, sebagai
subjek kecantikan, berlomba-lomba berperilaku sesuai dengan norma menjadi cantik;
berkontestasi satu sama lain untuk mendapatkan pengakuan dari laki-laki atau
sesamanya.
Dalam JSG, perilaku
seduktif membangkitkan imajinasi tentang sosok yang menggairahkan secara
seksual.
“Kematian
suaminya adalah hukuman bagi wanita yang suka menggoda suami orang dengan
kemolekan tubuh dan rambut panjang menjuntai indah sampai pinggul” (Ramadhany,
2015:70).
Pada kalimat tersebut, perilaku Ratih
dibumbui dengan deskripsi tentang kecantikan menurut standar baku untuk
mengesankan bahwa gerak-gerik tersebut bernilai erotis. Bagian tubuh perempuan
tidak menjadi indah jika tidak dinarasikan dalam perilaku tertentu. Ia baru
menjadi fetish ketika telah memiliki konteks cerita.
“… Bahkan sehelai
rambutnya pun mampu membangkitkan birahi suamiku” (Ramadhany, 2015:70). Sehelai
rambut tersebut baru dapat dikatakan membangkitkan birahi ketika ia
dipergunakan sebagai alat untuk menggoda. Begitu pula bagian-bagian tubuh lain
dapat berfungsi secara seksual ketika ia dikaitkan dengan perilaku yang
berpotensi memantik birahi. Misalnya pada kutipan “Ratih melempar senyum yang
memikat pada siapa pun yang ia lewati” (Ramadhany, 2015:70—71) memotret
bagaimana sepotong bibir dapat menarik ketika ia diwujudkan ke dalam perilaku
tertentu (tersenyum).
“Setiap lelaki, muda atau tua, bujang
atau beristri, semua akan terpana tatkala Ratih berjalan lembut seperti angin sepoi-sepoi yang memainkan
pucuk-pucuk rambut mereka. Para lelaki itu memuja lekuk tubuh guci cina yang
sering dibalut kebaya merah kirmizi dan samper
sampai
lutut…. Kerling matanya mampu menjerat
setiap lelaki yang memandangnya. Tidak heran jika istri-istri mulai gencar
merawat diri atau mengurung suami mereka di dalam kamar agar tidak tergoda
pesona Ratih” (Ramadhany, 2015:71).
Dengan memanfaatkan
standar baku kecantikan, tokoh Ratih mampu menjerat laki-laki. Akhirnya, cantik
tidak cukup didefinisikan sebagai kualitas tertentu terhadap sebuah bagian
tubuh. Ia harus dieksekusikan ke dalam tindakan. Tubuh menjadi indah ketika ia
berjalan dengan cara yang tepat. Mata dapat menggoda ketika ia digerakkan
dengan cara yang tepat. Akhirnya, cantik lebih tepat disebut sebagai kata kerja
ketimbang kata sifat. Dalam konteks kutipan di atas, cantik adalah ketika si
pemiliknya tebar pesona.
Menurut Wolf, perempuan
akan berlomba-lomba berperilaku cantik untuk mendapatkan sumber daya yang
disediakan oleh laki-laki. Mereka berkontestasi untuk mendapatkan pekerjaan
(sebab cantik menjadi kriteria lolos ujian masuk), bahkan ketika mereka sudah
diterima. Dalam JSG dan PBCR, kontestasi perempuan tersebut dilukiskan dalam
situasi perasaan terancam.
Masalahnya, keinginan
untuk menjadi seideal Ratih tidak tercapai. Dalam cerpen tersebut dikisahkan
bahwa tubuh mereka menjadi rusak karena “salah resep”. Hal paling penting yang
ingin disampaikan oleh cerpen ini, perempuan menjadi cantik bukan karena resep
tertentu (lulur, bunga-bungaan, daun-daunan, gayam, dsb), melainkan karena
perilaku tertentu. Tidak salah resep tidak menjamin mereka menjadi cantik
seperti Ratih. Kecantikan Ratih berasal dari apa yang telah mereka gunjingkan:
lenggak-lenggok tubuhnya ketika sedang berjalan atau kerlingan nakal.
Dalam JSG, kedengkian
karena kontestasi berujung pada percobaan pembunuhan Ratih pada bagian akhir
cerpen. Sementara itu, dalam PBCR, perasaan dengki membuat Putri Salju menyiksa
para pesaingnya, yaitu sang Ratu dan gadis-gadis kampung. Kedengkian dalam
cerpen ini dinarasikan dengan lebih kejam ketimbang dalam JSG.
“Maka pada
setiap bulan ganjil ia akan menjelma gagak raksasa, mematuki lirik mata yang
tertuju padanya, dan menghisap jiwa-jiwa gadis yang dianggap menyainginya. Ia akan melakukan segala cara untuk menjadi satu-satunya
yang dipuja. Ya, benar. Ia menjadi yang dipuja oleh petaka” (Ramadhany,
2015:90). “Jangan tanya mengapa Putri Salju tidak
memilih untuk membunuh ibu tirinya, sebab kepuasannya terletak pada
siksaan-siksaan yang mendera ibu tirinya. Ia lebih suka melihat korbannya menikmati tiap derita yang dialami” (Ramadhany,
2015:92).
Pemberantasan setiap
perempuan yang dianggap menyaingi Putri Salju dilakukan karena motif agar
sumber daya yang disediakan laki-laki hanya dikuasai olehnya seorang. Dalam hal
ini, sumber daya tersebut berwujud pujian dan keterpesonaan laki-laki kepadanya.
“Dengan cara itu Putri Salju membuat setiap lelaki hanya memuja
pesonanya” (Ramadhany, 2015:91). Oleh karena itu, untuk mendapatkan
sumber daya tersebut, Putri Salju berusaha melenyapkan kecantikan para
pesaingnya.
Kontestasi kecantikan dalam
dunia faktual mungkin tidak seekstrem dalam JSG dan PBCR. Namun, adegan-adegan
tersebut menunjukkan bahwa dalam dunia perempuan, persaingan menjadi cantik
memang ada. Mereka kemudian berperilaku tertentu sehingga menjadi cantik. Bagi
Wolf, memberi perhatian terhadap kecantikan hanya membuang-buang waktu dan
tidak produktif, sebab ia hanya mitos.
Faktor
Eksternal
Karena
cantik bukan nilai intrinsik, ia butuh faktor dari luar. Pada bahasan
sebelumnya, cantik bukanlah kualitas tertentu yang inheren dengan penampakan
fisik perempuan. Namun, ia merupakan perilaku tertentu yang dapat menimbulkan
gairah.
Mitos kecantikan wolfian
juga dibangun di atas anggapan bahwa standar baku cantik dikonstruksi oleh
industri kecantikan seperti program diet, operasi kecantikan, perusahaan
kosmetik, dan sebagainya. Iklan berperan sebagai nabi yang menyampaikan
standar-standar tersebut kepada khalayak. Mitos kecantikan dalam JSG juga
dibangun di atas dasar keyakinan demikian; cantik ditentukan oleh faktor-faktor
eksternal.
“Mereka mulai membubuhkan bedak seputih
tembok di wajah dan pemerah pipi yang berlebihan serta lipstik yang merah
menyala. Wewangian yang disemprotkan pada tubuh, bahkan pada tiap helai rambut
mereka menyeruak memaksa masuk ke lubang hidung…. Usut punya usut, gadis-gadis
tersebut menyelidiki resep rahasia untuk menjadi secantik Ratih. Diam-diam,
dari lubang pintu dan jendela tanpa korden, mereka mengamati lulur apa yang
Ratih pakai dan ritual apa yang ia lakukan untuk rambutnya yang begitu wangi
dan tubuhnya yang amat indah…. Di suatu sore yang asin, gadis-gadis itu melihat
Ratih mengumpulkan buah gayam yang jatuh dan membawanya ke air ketika hendak
mandi di sungai. Pasti itu resep rahasia atas keindahan tubuh dan rambutnya,
pikir mereka…. Segera gadis-gadis kencur itu pulang dengan sekarung buah gayam
yang akan mereka gunakan untuk menggosok tubuh saat mandi dan keramas. Berbagai
macam lulur, bunga, dan daun-daunan menemani ritual mandi mereka. Bahkan mereka
rela menyetrika rambutnya agar tampak lurus jatuh seperti rambut Ratih”
(Ramadhany, 2015:72—73).
Karena mereka iri
kepada Ratih, mereka mencari tahu kira-kira faktor eksternal apa yang membuat
Ratih menjadi cantik. Untuk
menjadi cantik, mereka membubuhkan bedak, lipstik, parfum, menyetrika rambut
agar menjuntai indah seperti rambut Ratih, dan resep rahasia, yakni lulur gayam.
Gadis-gadis itu percaya bahwa cantik dapat diwujudkan oleh hal-hal itu karena
ia tidak inheren dengan fisik; cantik membutuhkan sebab dari luar fisik.
Hal yang sama juga
diyakini dalam PBCR bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berdandan.
Putri Salju akan membantai gadis-gadis desa yang berdandan, sebab dengan itulah
mereka akan menyaingi kecantikannya.
“Sebab
cermin ajaib akan mengadu padanya bahwa di suatu sudut desa, seorang gadis
tengah berpupur tebal dan mengoleskan pemerah bibir menggairahkan” (Ramadhany,
2015:90).
Pada kutipan tersebut, yang membuat
wajah tampak cantik adalah bedak dan bibir tampak menggairahkan bila dipoles
gincu. Putri Salju tidak akan melakukan penyiksaan kepada gadis yang tidak
berias. Oleh karena itu,
“Sejak
saat itu, para orang tua
mengharamkan anak gadis berpupur. Bahkan
untuk sekadar mandi, mereka lebih memilih berendam di Danau Sembilu, tempat
Putri Salju
membuang tahinya. Kulit mereka dibiarkan terbakar
terik matahari dan rambut mereka menjadi ladang ternak kutu” (Ramadhany, 2015:90).
Artinya, tanpa sentuhan kosmetik,
perempuan tidak akan cantik dan Putri Salju tidak merasa tersaingi.
Lalu mitos kecantikan seperti
apa yang khas dalam kedua cerpen tersebut? Kedua cerpen tersebut memberikan
sentuhan klenik. Baik dalam JSG maupun PBCR, faktor eksternal yang membuat
perempuan tampak cantik bukan hanya perilaku seksual dan kosmetik, melainkan juga
faktor-faktor supranatural.
“Aku
yakin, Ratih pasti pakai susuk.” “Betul, mana mungkin kulitnya bisa mulus dan
kencang seperti itu kalau bukan karena main dukun…” (Ramadhany, 2015:71—72).
Di Indonesia, selain kosmetik dan
dokter, mengandalkan kekuatan supranatural dari seorang syaman menjadi pilihan
alternatif cara menjadi cantik. Susuk, misalnya, adalah materi kecil yang
diimplan pada bagian tubuh tertentu sehingga dapat memancarkan karisma. Tidak
heran jika dalam cerpen tersebut seorang perempuan berkata, “Bahkan sehelai
rambutnya pun mampu membangkitkan birahi suamiku” (Ramadhany, 2015:72).
Sebagaimana yang telah
disinggung pada bahasan sebelumnya, dalam banyak narasi, perempuan janda
seringkali dikaitkan dengan sifat amoral dan penyihir. Sifat dan predikat
tersebut, misalnya, secara ikonik tampil dalam karakter Calon Arang, seorang
tokoh legenda yang hidup pada zaman Raja Air Langga (Suastika, 1997). Selain
itu, stereotipe negatif tentang janda sebagai penggoda juga berkembang dalam
masyarakat.
Cerpen PBCR bisa
dibilang lebih atraktif dalam mengandalkan kekuatan gaib. Putri Salju
digambarkan sebagai orang yang memiliki ilmu hitam. Praktik sihir Putri Salju
adalah gabungan dari obsesi, kesadisan, dan kanibalisme.
“Santapannya
adalah daging mentah dan minumannya adalah darah perawan agar tetap cantik
wajahnya serta molek tubuhnya. Ia gemar mengisap jiwa-jiwa gadis dan menguliti
tubuh lelaki perjaka di rengkuh sayapnya” (Ramadhany, 2015:90).
Hal-hal demikian merepresentasikan mitos
kecantikan menurut masyarakat
(tradisional) Indonesia. Hingga saat ini, mitos kecantikan klenik masih
diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia. Inilah yang membedakan mitos
kecantikan ala Indonesia dengan mitos kecantikan dunia Barat modern.
Simpulan
Cerpen
JSG dan PBCR merepresentasikan isu gender yang oleh Naomi Wolf disebut sebagai
mitos kecantikan. Pertama, kedua cerpen tersebut memiliki standar baku cantik,
yaitu rambut hitam panjang, leher jenjang, bibir merekah, tubuh wangi, kulit
kencang putih mulus, serta langsing. Usia tua akan mendepak perempuan dari
kelompok cantik, kecuali ia adalah seorang janda yang terjaga kualitas
fisiknya. Kedua, dalam cerpen-cerpen tersebut, sesungguhnya kualitas cantik
merujuk pada perilaku tertentu (terutama tokoh Ratih dalam JSG), yaitu perilaku
yang dapat membangkitkan gairah, bukan penampakan fisik. Ketiga, karena cantik
bukan merupakan kualitas intrinsik, ia dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal. Selain kosmetik, cantik dalam kedua cerpen tersebut dipengaruhi oleh
kekuatan supranatural.
Ketiga
hal tersebut saling terkait satu sama lain. Perilaku tertentu memberikan makna
pada standar baku kecantikan. Bagian tubuh tertentu yang dianggap telah memenuhi
standar yang berkualitas tidak bisa dikatakan cantik bila tidak
direpresentasikan ke dalam perilaku tertentu, misalnya lenggak-lenggok dan
kerlingan. Bagian tubuh tersebut juga tidak bernilai cantik bila tidak ditopang
oleh faktor-faktor eksternal seperti kosmetik dan kekuatan supranatural.
Mitos
kecantikan dalam kedua cerpen tersebut dilandasi oleh kepentingan laki-laki. Standar
kecantikan disesuaikan dengan selera laki-laki. Seluruh motif menjadi cantik
dalam kedua cerpen tersebut selalu merujuk pada keinginan perempuan untuk
mendapatkan sumber daya dari laki-laki berupa kesetiaan, pengakuan, pujian, dan
keterpesonaan.
Daftar
Rujukan
Ajidarma, Seno Gumira. 2006. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi.
Yogyakarta: Galang Press.
Djajanata, Tjahjadi. 2014. Perawan atau Janda, (Online), (www.kapanlagi.com),
diakses 17 April 2016.
Paramaditha, Intan, dkk. 2010. Kumpulan Budak Setan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Ramadhany, Dwi Ratih. 2015. Pemilin Kematian. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Suastika, I Made. 1997. Calon Arang dalam Tradisi Bali. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Wolf, Naomi. 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Terjemahan
Alia Swastika. 2004. Yogyakarta: Penerbit Niagara.
Jurnal Poetika, Volume IV No. 1, Juli 2016