Jumat, 09 Desember 2016

Spiritualisme Seksi



Buku Arung Cinta karya Djoko Saryono dibuka dengan larik kenangan itu teramat hafal jalan (“Nasib Rindu, 1”). Sebagaimana Al-Fatihah dalam kitab suci, larik—sekaligus puisi—tersebut menjadi abstrak buku Arung Cinta. Puisi-puisi dalam buku tersebut merupakan narasi liris tentang kerinduan, kenangan, dan long distance relationship.
            Puisi “Nasib Rindu, 1”, misalnya, menghadirkan semacam hipermemori dengan menggunakan nyaris semua jenis imaji. Aku lirik dapat merasakan seluruh kenangan bersama kekasihnya dengan detail seolah-olah ia sedang mengalami peristiwa itu. Menurut Maurice Merleu-Ponty, tubuh bukan hanya objek di antara objek-objek lain, melainkan objek yang sensitif terhadap semua rangsangan eksternal. Barangkali puisi tersebut semacam enskripsi dari seluruh stimulus yang diresepsi oleh aku lirik (objek).
            Eros, dalam filsafat Yunani klasik, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut cinta kepada kekasih. Eros didasari oleh motif estetis dan bersifat karnal. Namun, Platon mengoreksi bahwa eros tidak selalu identik dengan cinta badaniah. Keindahan sejati berakar dari kebenaran. Bila kebenaran dalam keyakinan filosofis Platon merujuk pada entitas yang idealis, maka cinta sejati pun semestinya juga tidak berasosiasi dengan materi jasadiah.
            Puisi-puisi dalam buku ini mengimani cinta platonis. Karena itulah hubungan jarak jauh atau putus cinta bukan masalah. Bagi puisi-puisi Arung Cinta, sentuhan fisik bukan hakikat cinta. Dalam salah satu puisi disebutkan bahwa persinggungan raga adalah hubungan yang fana dan fatamorgana. Tidak heran jika puisi-puisi dalam buku ini mengglorifikasi kenangan dan kerinduan, sebab begitulah satu-satunya modus mempertahankan keberadaan cinta yang telah kehilangan statusnya.
            Separuh pertama Arung Cinta berisi puisi-puisi yang (sepertinya) ditujukan kepada kekasih (‘k’ kecil). Separuh terakhir buku ini banyak berbicara tentang kecintaan kepada Tuhan (agape). Himne kepada Tuhan, dalam puisi-puisi tersebut—sebagaimana eros platonis—tidak dimanifestasikan dalam ketaatan kasatmata (ibadah ritual). Devosi kepada Tuhan merupakan penghayatan kepada-Nya sebagai sang Cinta. Tentu saja menjadikan sang Mahacinta sebagai objek cinta menuntut cara yang berbeda dengan kaum syariah yang selalu menggunakan jalan hukum (syariah).
            Perbedaan kedua jalan tersebut bisa ditarik pada sebuah premis: hukum mengikat, sedangkan cinta membebaskan. Penyimpangan (sebagai sebuah maujud kebebasan) dari ketaatan konvensional dalam buku ini, misalnya: ibadah bisa ditunaikan di kafe, bukan mesjid; ritual tidak hanya diwujudkan dengan mendaras kitab suci, tetapi juga kitab ‘tak suci’—yang diyakini sebagai bagian dari samudera ilmu Ilahi.
            Selain itu, kecintaan kepada Tuhan, dalam buku ini, menuntut kebersihan hati dan perlakuan yang baik kepada sesama. Kecongkakan dinilai tidak mencerminkan karakter seorang pecinta. Mencintai Tuhan ditunjukkan dengan cara menjadi majnun kepada sesama manusia. Dalam khazanah kaum mistik, seluruh makhluk adalah embodiment dari sang khalik. Dengan demikian, dharma adalah bukti cinta kepada Pencipta.
            Sejumlah puisi dalam buku ini mengaburkan eros dengan agape. Karena aktivitas membaca merupakan politik pembaca (context of justification), ketaksaan objek cinta yang dirujuk akhirnya membuat kita curiga: jangan-jangan puisi-puisi yang ditujukan kepada kekasih (‘k’ kecil) sebenarnya dimaksudkan kepada Kekasih (‘K’ besar). Narasi tentang Tuhan ditunjukkan dalam metafora-metafora feminin sebagaimana pujian terhadap tubuh perempuan.
            Adakah yang seksi dalam spiritualisme? Bagi kalangan penyair mistikus laki-laki, Tuhan adalah pribadi yang feminin: Rahman, Rahim, Shekinah, Roh Kudus. Sudut pandang demikian akan membawa kita pada sebuah simpulan bahwa Tuhan dalam sejumlah puisi Djoko Saryono bukan objek cinta yang transenden, melainkan sosok yang amat dekat. Tuhan adalah Eros itu sendiri.

Minggu, 06 November 2016

Spirit Tat Tvam Asi, Spirit Rampa’ Naong Baringin Korong




Apa yang dilakukan oleh lebih kurang seratus tujuh puluh penulis dari berbagai belahan dunia ketika berkumpul dalam satu venue pada sebuah pekan literasi? Apakah mereka membicarakan tetek-bengek menulis, proses kreatif, dan industri perbukuan? Mungkin ya. Tetapi apa yang dibincangkan dalam Ubud Writers & Readers Festival 2016 tidak sekadar itu.
            Dengan mengangkat tema Tat Tvam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku), sebuah kalimat bijaksana dalam kitab Upanishad, para penulis membagikan rasa sakit, luka, dan kebebasan sekaligus. Mereka berbicara tentang represi dari lingkungan, diskriminasi yang dilatari oleh perbedaan ras dan agama, perbudakan seksual, dan sebagainya. Akhirnya, tulisan maujud sebagai corong untuk menyaringkan gema dari kegelapan kejahatan kemanusiaan.
            Sebagai penulis emerging yang diundang tampil dalam festival internasional tersebut, saya pun membagikan rasa sakit kepada khalayak mancanegara. Rasa sakit itu disebabkan oleh iritasi ekologis dan kebudayaan. Misalnya, dalam relasinya dengan alam, saya berpikir bahwa orang-orang Madura memegang etika antroposentrisme. Manusia adalah poros dunia (axis mundi). Alam tidak dipandang sebagai entitas yang bernilai intrinsik (ekosentrisme). Oleh karena itulah orang-orang Madura mudah sekali mengeksploitas alam. Nelayan-nelayan di desa saya menggunakan pukat harimau yang amat merusak terumbu karang. Orang-orang di Sumenep menjual lahan kepada investor untuk dijadikan tambak udang yang dapat mencemari tanah. Alam hanya dipelihara selama ia berguna bagi umat manusia.
            Saya juga mempertanyakan asal-usul inferioritas perempuan dalam relasi gender di Madura. Inferioritas perempuan di Madura tergolong aneh. Seringkali perempuan menjadi inferior karena tak memiliki kekuatan ekonomi. Perempuan Madura tentu saja bukan golongan yang tidak berdaya secara ekonomi. Mereka memiliki etos kerja yang tinggi, bahkan menjadi tulang punggung taneyan (istilah ini lebih cocok diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, home, daripada dalam bahasa Indonesia). Akhirnya saya menarik simpulan bahwa inferioritas perempuan terjadi karena penafsiran yang patriarkal terhadap teks-teks agama.
            Arung Wardhana, salah seorang penulis emerging yang juga mewakili Madura dalam festival tersebut mengecam carok sebagai tradisi yang harus dihancurkan. Ia hidup dalam lingkungan di mana generasi tua memupuk kekerasan kepada generasi mudanya sehingga berimplikasi pada kesadaran bahwa nyawa manusia adalah persoalan yang banal. Bahkan Arung menganggap bahwa sejumlah budayawan elite Madura tidak bersikap tegas—untuk menghindari kata romantisasi—terhadap carok.  
            Lalu apa strategi yang bisa ditawarkan penulis untuk menjujung spirit tat tvam asi? Saya sendiri memproyeksikan karya-karya saya sebagai dokumentasi atas penafsiran ulang terhadap mitologi dan kosmologi Madura agar sesuai dengan semangat kesetaraan. Reinterpretasi tersebut disuarakan di tengah krisis kemanusiaan dan lingkungan. 
Akhirnya, tat tvam asi tidak hanya mengatur relasi manusia dengan sesama manusia, tetapi juga menumbuhkan welas asih terhadap makhluk-makhluk lain sebagai bagian dari anggota komunitas biotik. Dalam konteks kemaduraan, misalnya, tat tvam asi tidak hanya menjadi landasan filosofis untuk mengadvokasi lingkungan hidup, tetapi juga menolak penyiksaan binatang atas nama budaya sebagaimana yang direpresentasikan dalam olahraga-tradisi karapan sapi.
            Kalau mau dikomparasikan, filsafat tat tvam asi paralel dengan peribahasa Madura, rampa’ naong baringin korong; sebuah nasihat dan ajakan untuk saling menolong antarsesama (manusia dan makhluk lain). Baringin merupakan pohon yang menjadi peneduh, rumah bagi binatang, dan penjaga air yang andal. Satu pohon beringin adalah penyedia kebutuhan air bagi tiga puluh rumah.
            Rampa’ naong baringin korong merupakan premis dari ajaran etis andhap asor yang menjunjung martabat orang lain; menghilangkan sikap egosentrisme dan berupaya lebur dengan sang liyan. Baik tat tvam asi maupun rampa’ naong baringin korong memiliki visi ultim yang sama: menciptakan rasa kesatuan antarmakhluk di seluruh kosmos. Dus, menyakiti liyan berarti menyakiti diri sendiri; memeliharan liyan berarti memelihara diri sendiri. Liyan adalah cermin sejati diri. 

Radar Madura, 6 November 2016

Sabtu, 01 Oktober 2016

MITOS KECANTIKAN DALAM CERPEN-CERPEN DWI RATIH RAMADHANY



Royyan Julian
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura
Jalan Raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan
royyanjulian@yahoo.co.id

Abstrak
Kajian ini mengangkat isu mitos kecantikan dalam cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, yakni “Janda Sungai Gayam” dan “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu”. Perspektif yang digunakan adalah mitos kecantikan Naomi Wolf. Hasilnya antara lain: (1) kedua cerpen tersebut menggambarkan bahwa cantik memiliki standar baku rambut hitam panjang, leher jenjang, bibir merekah, tubuh wangi, kulit kencang-putih-mulus, dan langsing; (2) dalam cerpen-cerpen tersebut, sesungguhnya kualitas cantik lebih merujuk pada perilaku yang dapat membangkitkan gairah daripada penampakan fisik; (3) karena cantik bukan merupakan kualitas instrinsik, ia dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu kosmetik dan kekuatan supranatural. Mitos kecantikan dalam kedua cerpen tersebut berdiri di atas landasan kepentingan dan selera laki-laki, serta motif perempuan untuk mendapatkan sumber daya yang disediakan oleh laki-laki, yaitu kesetiaan, pengakuan, pujian, dan keterpesonaan.

Kata kunci: mitos kecantikan, cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany.

Abstract

This study highlights the myth of beauty in short stories written by Dwi Ratih Ramadhany, which are “Janda Sungai Gayam" and “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu". The perspective utilized in this study is the myth of beauty by Naomi Wolf. The results are: (1) both the short stories illustrate standards of beauty identified by long black hair, long neck, sensual lips, body fragrant, white-toned-smooth-skin, and slim body; (2) in both short stories, the quality of beauty refers to behaviors that could arouse an excitement rather than merely consider physical appearance; (3) regarding beauty not as an intrinsic quality, it is affected by external factors, for instance cosmetic and supernatural powers. Myth of beauty in both short stories stands on the runway of men’s interest and taste, and women’s motive to achieve resources provided by men, which are called loyalty, recognition, praise and charm.

Keywords: myth of beauty, short stories by Dwi Ratih Ramadhany.

Pendahuluan
Pentingkah menyoal isu kecantikan jika hal itu kerap dianggap sebagai sesuatu yang profan—bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri? Jika sebuah cerpen menjadikan kecantikan sebagai konflik (utama) di antara karakter-karakter yang bermain di dalamnya, itu berarti persoalan kecantikan barangkali memang bukan isu sepele. Dalam wacana gender, kecantikan dihubungkan dengan institusi patriarki, kontestasi antarperempuan, dan industri kapitalistik.
            Dalam cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, “Janda Sungai Gayam” (selanjutnya disingkat JSG) serta “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu” (selanjutnya disingkat PBCR), persoalan kecantikan—yang menurut Naomi Wolf meracuni alam bawah sadar perempuan—direpresentasikan. Ada persoalan khas dalam cerpen-cerpen Ramadhany yang tidak sama dengan wacana kecantikan perempuan Dunia Pertama wolfian. Masalah usia, misalnya. Menurut Wolf, bertambahnya usia adalah sesuatu yang sangat ditakuti oleh perempuan dalam kaitannya dengan kecantikan. Namun, dalam cerpen Ramadhany, ketuaan tidak menjadi masalah bila perempuan yang mengalaminya adalah seorang janda. Identitas janda justru menjadi salah satu faktor perempuan menjadi cantik. Uniknya, dalam sejumlah literatur/folklor di Indonesia, tokoh janda juga kerap dikaitkan dengan sosok yang karib dengan sihir dan alam gaib. Lalu bagaimana kaitan dunia supranatural tersebut dengan mitos kecantikan dalam kedua cerpen tersebut?
            JSG mengisahkan seorang janda cantik bernama Ratih. Ia dikisahkan sebagai sosok perempuan yang karena kecantikannya, banyak perempuan cemas; takut suami mereka terpikat. Ia digunjingkan sebagai perempuan penggoda. Tidak hanya ibu-ibu, para perempuan muda iri terhadap kecantikannya. Mereka mencuri resep kecantikannya, yaitu buah gayam. Sayangnya mereka salah pakai sehingga lulur gayam merusak tubuh. Warga menganggap bahwa Ratih telah bersekutu dengan entitas dari alam gaib untuk keuntungan sendiri dengan menumbalkan gadis-gadis itu.
            Sementara itu, PBCR berkisah tentang Putri Salju yang dengki kepada ibu tirinya (Ratu) karena cantik dan membuat banyak laki-laki terpesona. Putri Salju tidak ingin ada seorang pun yang menyaingi kecantikannya sehingga dengan bantuan cermin ajaib, ia bisa mengetahui siapa saja perempuan cantik. Lalu ia akan membunuh perempuan-perempuan itu sehingga tidak ada lagi yang dapat menyainginya. Penulis menganggap bahwa cerpen ini diresepsi dari kisah Snow White karya Grimm Bersaudara.
            JSG dan PBCR merupakan cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku Pemilin Kematian (2015) karya Dwi Ratih Ramadhany. Hampir semua cerpen dalam buku tersebut memilih identitas seks perempuan sebagai heroin. Terlepas dari persoalan apakah cerpen-cerpen tersebut mengangkat isu kesetaraan gender atau tidak, yang jelas di dalamnya persoalan perempuan mendapatkan porsi lebih. Dalam JSG dan PBCR, misalnya, wacana mitos kecantikan wolfian ditampakkan paling pekat, bahkan menjadi konflik utama.  
            Mitos kecantikan dalam JSG dan PBCR menarik untuk diamati, sebab sebagaimana yang telah dipaparkan, persoalan-persoalan terkait kecantikan dalam cerpen-cerpen tersebut memang sesuai dengan wacana mitos kecantikan wolfian. Namun, konteks lokal memberi warna lain. Akhirnya, konteks lokal tersebut menjadi semacam anomali dari wacana mitos kecantikan wolfian. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa persoalan perempuan Barat memang berbeda dengan masalah perempuan di negara Dunia Ketiga yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dunia.
Tulisan ini mengangkat wacana mitos kecantikan dalam cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany yang dalam hal ini hanya dibatasi pada dua cerpen, yaitu JSG dan PBCR. Pokok-pokok masalah yang akan dibahas ada tiga. Pertama, mitos kecantikan memiliki ukuran tertentu. Penulis akan memaparkan standar kecantikan yang digambarkan dalam cerpen-cerpen tersebut. Kedua, perilaku seperti apakah yang didemonstrasikan tokoh utamanya sehingga kemudian ia disebut cantik. Ketiga, karena kecantikan bukan nilai yang intrinsik, maka ada faktor eksternal yang mengonstruksinya. Faktor tersebut adalah industri kecantikan. Namun, faktor kecantikan dalam kedua cerpen tersebut juga diasosiasiakan dengan afiliasi tokoh utama dengan dunia supranatural.
Tulisan ini mendeskripsikan dan mengungkap wacana mitos kecantikan dalam cerpen JSG dan PBCR. Dengan menganalisis cerpen-cerpen tersebut akan dilihat mitos kecantikan perempuan Barat wolfian yang relevan dengan mitos kecantikan dalam cerpen-cerpen tersebut. Hal ini juga sekaligus untuk mengetahui apa saja perbedaan mitos kecantikan wolfian dengan mitos kecantikan yang dinarasikan cerpen-cerpen tersebut. Perbedaan-perbedaan itulah yang kemudian dianggap merepresentasikan mitos kecantikan yang khas Indonesia.

Mitos Kecantikan Wolfian
Setelah berhasil eksodus dari ranah domestik ke wilayah publik—berkat upaya Friedan dan rekan-rekannya yang menolak mistik feminin—perempuan belum juga berada dalam situasi yang benar-benar bebas. Ibarat lepas dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya, perempuan liberal Dunia Pertama kini bergelut dengan dirinya; menghadapi monster yang tak kalah bengis. Menurut Walby, patriarki berubah dan mengalami evolusi serta migrasinya dari ruang privat (rumah) menuju luar rumah (publik) (Candraningrum, 2016). Patriarki tersebut kini bernama mitos kecantikan.
            Konflik internal tersebut sesungguhnya dianggap sebagai persoalan sepele yang tak pantas dipermasalahkan: rambut kusam, muka tembem, kuku tumpul, pinggul lebar, lengan bergelambir, dan sebagainya. Beauvoir menyebut hal ini sebagai narsisme, yaitu femininitas yang menguras waktu produktif perempuan (Tong, 1998:270—271). Masalahnya, struktur kekuasaan yang telah mereka dobrak pada dekade sebelumnya malih rupa menjadi kebiasaan makan yang menyimpang, industri kosmetik, pornografi, dan hantu usia. Meski gelombang emansipasi telah membuat perempuan menjadi mandiri secara finansial, berkuasa, dan mendapatkan pengakuan hukum, alam bawah sadar mereka dikontrol oleh perasaan tentang kondisi diri yang berkaitan dengan fisik. Obsesi tersebut meracuni semua pembicaraan tentang kecantikan (Wolf, 2002:25).
            Wolf (2002:25) menganggap bahwa mitos kecantikan merupakan senjata politis baru para penentang feminisme. Jika feminisme telah membebaskan perempuan untuk bekerja di ruang publik dengan dilindungi oleh hukum, dengan segera, muncul kasus-kasus di Inggris dan Amerika yang melembagakan diskriminasi kerja berdasarkan penampilan perempuan. Pada saat itulah sekte relijius baru bernama mitos kecantikan terlahir untuk menggantikan ritual pemujaan tradisional sepanjang abad patriarki (Wolf, 2002:26).
            Momentum revolusi seksual yang mempromosikan penemuan seksualitas perempuan dimanfaatkan oleh industri kecantikan. Pornografi kecantikan—yaitu kecantikan yang terkomodifikasi diasosiasikan secara palsu dengan seksualitas—terus menggempur perempuan muda dengan maksud merobohkan perasaan tentang harga diri mereka yang masih baru dan rapuh. Industri tersebut menciptakan produk makanan bagi mereka yang dikendalikan oleh obsesi berat badan dan teknologi-teknologi kosmetik yang digunakan sebagai alat kontrol medis perempuan (Wolf, 2002:27).
            Mitos kecantikan menyatakan bahwa kualitas “cantik” memang benar-benar ada secara objektif dan universal. Perempuan pasti ingin cantik dan laki-laki ingin memiliki perempuan cantik. Namun, tekanan tentang keinginan tersebut hanya dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki. Situasi tersebut menjadi sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena sifatnya biologis, seksual, dan evolusioner. Narasi tentang kebesaran laki-laki seringkali melibatkan perebutan perempuan cantik, yaitu perempuan yang subur. Sejak sistem berbasis seksual tersebut maujud, kecantikan menjelma sesuatu yang terstandarkan (Wolf, 2002:29).
            Bagi Wolf, hal itu tidak sepenuhnya benar. Kecantikan, sebagaimana standar emas, merupakan sistem pertukaran. Kecantikan ditentukan oleh sistem politik. Di negara Barat, kecantikan adalah agama yang meneguhkan dominasi laki-laki. Mitos kecantikan kemudian diperalat sebagai pemantik devide et impera yang membuat seorang perempuan berkontestasi dengan perempuan lainnya demi sumber daya yang diberikan oleh laki-laki. Tujuannya adalah untuk melemahkan perlawanan perempuan terhadap kuasa patriarki yang (masih) menempati hierarki puncak (Wolf, 2002:25).
            Secara biologis, antropologis, dan historis, mitos tersebut tidak memiliki rujukan. Kecantikan bukan hal yang universal dan tidak bisa berubah. Kecantikan juga bukan bagian dari evolusi spesies. Charles Darwin tidak pernah mencatat bahwa kecantikan dihasilkan oleh proses seleksi seksual yang memiliki hukum-hukum berbeda dengan seleksi alam. Sejumlah antropolog menolak klaim bahwa perempuan harus “cantik” untuk memenangkan seleksi alam. Lalu apa yang menjadi dasar legitimasi mitos kecantikan? Mitos tersebut mengukuhkan diri pada persoalan keintiman, seks, dan kehidupan; hal-hal yang diselebrasi oleh perempuan. Mitos tersebut adalah kombinasi dari jarak emosional, represi politik, ekonomi, dan seksual. Akhirnya mitos kecantikan bukan semata-mata tentang perempuan. Ia lebih condong pada persoalan institusi laki-laki dan kekuasaan institusional (Wolf, 2002:31—32).
            Mitos kecantikan sesungguhnya merujuk pada perilaku, bukan penampakan. Kualitas yang pada periode tertentu disebut sebagai kecantikan perempuan hanyalah simbol dari perilaku perempuan yang dianggap menggairahkan. Persaingan antarperempuan menjadi mitos yang memisahkan mereka satu sama lain. Kemudaan dan keperawanan menjadi ukuran kecantikan perempuan. Perempuan tua merasa terancam oleh perempuan muda. Sementara itu, perempuan muda takut menjadi tua. Identitas perempuan kemudian direduksi hanya sebatas pada kecantikan (Wolf, 2002:32).
           
Standar Kecantikan
Menurut Wolf, mitos kecantikan membutuhkan standar baku karena ia universal. Standar baku tersebut merupakan imajinasi tentang kesempurnaan perempuan. Mistik feminin yang menjadikan sosok ibu dan istri rumah tangga sebagai sosok sempurna telah berganti menjadi perempuan yang telah ditakar ukuran kualitas fisiknya.
Dalam cerpen JSG, standar kecantikan tersebut mula-mula diukur dari tubuh bagian atas. Ukuran baku kecantikan tersebut muncul dari pembicaraan warga (dan memang begitulah seterusnya, standar kecantikan dalam cerpen JSG merupakan akumulasi dari desas-desus negatif warga terhadap tokoh bernama Ratih).
“Kematian suaminya (Ratih—peny.) adalah hukuman bagi wanita yang suka menggoda suami orang dengan kemolekan tubuh dan rambut panjang menjuntai indah sampai pinggul” (Ramadhany, 2015:70).

Bagaimana sosok perempuan yang dianggap molek? Kutipan tersebut memberi jawaban bahwa perempuan cantik mula-mula memiliki ciri-ciri berambut panjang menjuntai hingga pinggul. Tentunya, rambut tersebut berwarna hitam, sebab cerpen tersebut berlatar kebudayaan Madura dan orang-orang Madura (sebagaimana orang Indonesia pada umumnya) memiliki rambut berwarna hitam. Barangkali yang dimaksud dengan kata “menjuntai” adalah rambut lurus. Standar kecantikan tersebut merupakan refleksi standar kecantikan pada masa pengarang hidup, bukan standar kecantikan generasi terdahulu saat rambut ikal menjadi tren.
Rambut panjang dan hitam menjuntai hingga pinggul tampaknya memang syarat pertama dan utama dapat dikatakan cantik. Standar yang sama muncul dalam cerpen PBCR atas tokoh Putri Salju.
“Rambut hitam panjang menjuntai sampai pinggang, kulit seputih salju, bibir merah merekah bak buah delima, dan tubuh yang menguar wangi bunga paling harum di dunia” (Ramadhany, 2015:89).

Pada kutipan tersebut, “rambut hitam panjang menjuntai sampai pinggang” disebut pertama kali di antara ciri-ciri penampakan fisik lainnya.
Berbeda dengan mitos kecantikan di dunia Barat modern bahwa perempuan cantik adalah yang berambut pirang sebagaimana yang disebut Wolf, dalam cerpen JSG dan PBCR, perempuan dapat dikatakan cantik apabila memiliki rambut hitam, lurus, dan panjang hingga pinggul/pinggang. Imajinasi tentang cantik dalam kedua cerpen tersebut lebih merujuk pada perempuan tradisional yang memiliki rambut panjang ketimbang perempuan modern yang memiliki model rambut beragam.
Standar kecantikan dalam cerpen PBCR dilanjutkan dengan deskripsi kulit seputih salju, bibir merah merekah bagai delima, dan tubuh yang wangi. Kata “wangi” muncul pula dalam cerpen JSG: “Pun leher jenjang dan wangi rambut panjangnya adalah surga bagi mereka” (Ramadhany, 2015:71). Faktanya, wangi bukan sifat instrinsik manusia. Ia disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya bebungaan atau parfum (faktor eksternal kecantikan akan diulas lebih detail pada pembahasan selanjutnya).
            Leher jenjang sebagai salah satu standar kecantikan hanya muncul dalam cerpen JSG. Namun, kulit kencang dapat dijumpai pada kedua cerpen tersebut. Perbedaannya, dalam JSG, kulit kecang diberi embel-embel “mulus”, sedangkan dalam PBCR, kulit kencang tersebut harus putih. Mengapa putih? Sebab cerita Putri Salju dalam cerpen tersebut merupakan resepsi kisah Snow White (Grimm Bersaudara) dengan latar ras kaukasia yang berkulit putih.
            Frase “kulit kecang” seringkali diasosiasikan dengan usia. Pada umumnya, perempuan tua adalah kelompok usia yang tidak memiliki kualitas tersebut. Oleh karena itu, menjadi tua adalah kata lain dari mengucapkan selamat tinggal kepada kecantikan. Para perempuan kerap melawan ketuaan dengan cara menghilangkan kerutan pada wajah dan mengembalikan kulit kencang sebagaimana pada saat masih muda.
            Dalam JSG, para laki-laki menghendaki kulit istri mereka kencang.
“Demikian tubuh idaman setiap lelaki karena tak bisa mereka nikmati lagi dari istri yang mengembung atau keriput…. “Betul, mana mungkin kulitnya bisa mulus dan kencang seperti itu kalau bukan karena main dukun.”” (Ramadhany, 2015:71—72).

Begitu juga dalam PBCR, ketuaan dengan sifat keriput adalah kondisi yang ditakuti, sedangkan kulit kencang menjadi idaman.
“Saat itu terjadi, ia akan segera menghampirinya dengan kereta kuda tak kasat mata dan merenggut paras cantiknya, menyisakan kulit keriput dan tubuh ringkih tanpa jiwa…. Semua itu ia lakukan sejak ibunya meninggal. Belakangan ia tahu bahwa ketakutanlah yang menggiring ibunya ke alam baka. Sejak ia menyadari bahwa gelambir bak gajih sapi menjadi perut ibunya dan garis-garis tua mulai muncul di sana-sini, ibunya bernapas dalam kecemasan. Kau tahu? Apa lagi yang tersisa jika seorang perempuan telah pudar cantik dan moleknya?.... Kulitnya lebih kencang dan kecantikannya lebih memancar” (Ramadhany, 2015:90—91).

Satu hal yang muncul secara tersurat baik pada kutipan JSG maupun PBCR di atas: perempuan cantik harus langsing. Laki-laki dalam cerpen JSG tidak menikmati tubuh istri mereka karena mengembung. Sementara itu, ibu kandung Putri Salju mati lantaran jijik terhadap tubuhnya yang bergelambir lemak dan keriput. Standar kecantikan demikian merupakan proyeksi mitos kecantikan modern ke dalam kedua cerpen tersebut: perempuan cantik memiliki tubuh ceking.
Persoalannya, dalam kedua cerpen tersebut, bertambah umur tidak selalu identik dengan tidak menjadi cantik. Dalam JSG, gadis-gadis desa justru takut kepada kecantikan Ratih yang (barangkali) berumur lebih tua. Begitu pula dalam PBCR, Putri Salju merasa terancam oleh kecantikan ibu tirinya (Ratu). Hal ini menolak anggapan Wolf bahwa perempuan yang berusia lebih tua takut kepada gadis-gadis muda. Dalam kedua cerpen tersebut, justru sebaliknya, perempuan-perempuan muda takut kepada perempuan yang lebih tua. Jika diamati lebih lanjut, sebenarnya yang menjadi alasan ketakutan bukanlah bertambahnya usia, tetapi tanda-tanda penurunan kualitas fisik ketika seseorang menjadi tua, yaitu keriput pada kulit.
Baik Ratih maupun Ratu merupakan tokoh perempuan yang memang tidak terkena dampak perubahan fisik akibat usia. Mereka tetap memiliki apa yang disebut sebagai standar baku cantik. Uniknya, kedua tokoh perempuan tersebut berstatus sebagai janda (dalam cerpen PBCR memang tidak disebutkan bahwa tokoh Ratu adalah seorang janda, tetapi hipogram cerita tersebut, Snow White, memosisikan tokoh Ratu sebagai seorang janda).
Dalam cerpen JSG, identitas kejandaan tokoh Ratih ditonjolkan. Ia janda cantik dan dianggap gemar menggoda. (Tokoh yang mirip muncul dalam cerpen “Goyang Penasaran” karya Intan Paramaditha. Dalam cerpen tersebut, Salimah adalah janda beranak satu yang berprofesi sebagai biduan dangdut. Penampakan fisiknya yang “molek” kerap mengundang birahi laki-laki. Sebuah percakapan dalam cerpen tersebut menunjukkan bahwa laki-laki lebih tertarik kepada janda daripada perawan karena dianggap lebih berpengalaman di atas ranjang [Paramaditha, 2010]. Nada yang sama, misalnya, juga ditunjukkan oleh lirik lagu “Perawan atau Janda” ciptaan Tjahjadi Djajanata yang dipopulerkan pedangdut Cita Citata. Lirik lagu tersebut menarasikan keunggulan janda daripada perawan karena janda dinilai lebih menggoda, aduhai, dan “berpengalaman” [Djajanata, 2014].) Hal ini mengingkatkan kita pada stereotipe janda dalam sejumlah masyarakat di Indonesia. Kecantikan janda kerap dioposisikan dengan potensi negatifnya yang amoral. Oleh karena itu, stereotipe janda, misalnya, bisa dirujuk pada narasi-narasi tentang perempuan sundal dan penyihir.
Pandangan karikatural terhadap janda membeku sebagai stereotipe. Ia dibenci karena berpotensi merusak moral sekaligus dicintai karena kemolekan tubuhnya. Akhirnya, janda (bisa) menjadi salah satu faktor kecantikan karena daya tarik seksualnya. Perempuan boleh bertambah usia, asal tetap memiliki kulit kencang, apalagi berstatus janda. 

Perilaku Cantik
            Menurut Wolf, apa yang disebut cantik sejatinya merujuk pada perilaku perempuan yang menggairahkan. Daya tarik seksual tersebut tidak esensial; bukan sesuatu yang deterministik. Maka, kecantikan adalah hasil konstruksi dan perempuan, sebagai subjek kecantikan, berlomba-lomba berperilaku sesuai dengan norma menjadi cantik; berkontestasi satu sama lain untuk mendapatkan pengakuan dari laki-laki atau sesamanya.
Dalam JSG, perilaku seduktif membangkitkan imajinasi tentang sosok yang menggairahkan secara seksual.
“Kematian suaminya adalah hukuman bagi wanita yang suka menggoda suami orang dengan kemolekan tubuh dan rambut panjang menjuntai indah sampai pinggul” (Ramadhany, 2015:70).

Pada kalimat tersebut, perilaku Ratih dibumbui dengan deskripsi tentang kecantikan menurut standar baku untuk mengesankan bahwa gerak-gerik tersebut bernilai erotis. Bagian tubuh perempuan tidak menjadi indah jika tidak dinarasikan dalam perilaku tertentu. Ia baru menjadi fetish ketika telah memiliki konteks cerita.
“… Bahkan sehelai rambutnya pun mampu membangkitkan birahi suamiku” (Ramadhany, 2015:70). Sehelai rambut tersebut baru dapat dikatakan membangkitkan birahi ketika ia dipergunakan sebagai alat untuk menggoda. Begitu pula bagian-bagian tubuh lain dapat berfungsi secara seksual ketika ia dikaitkan dengan perilaku yang berpotensi memantik birahi. Misalnya pada kutipan “Ratih melempar senyum yang memikat pada siapa pun yang ia lewati” (Ramadhany, 2015:70—71) memotret bagaimana sepotong bibir dapat menarik ketika ia diwujudkan ke dalam perilaku tertentu (tersenyum).
“Setiap lelaki, muda atau tua, bujang atau beristri, semua akan terpana tatkala Ratih berjalan lembut seperti angin sepoi-sepoi yang memainkan pucuk-pucuk rambut mereka. Para lelaki itu memuja lekuk tubuh guci cina yang sering dibalut kebaya merah kirmizi dan samper sampai lutut…. Kerling matanya mampu menjerat setiap lelaki yang memandangnya. Tidak heran jika istri-istri mulai gencar merawat diri atau mengurung suami mereka di dalam kamar agar tidak tergoda pesona Ratih” (Ramadhany, 2015:71).

Dengan memanfaatkan standar baku kecantikan, tokoh Ratih mampu menjerat laki-laki. Akhirnya, cantik tidak cukup didefinisikan sebagai kualitas tertentu terhadap sebuah bagian tubuh. Ia harus dieksekusikan ke dalam tindakan. Tubuh menjadi indah ketika ia berjalan dengan cara yang tepat. Mata dapat menggoda ketika ia digerakkan dengan cara yang tepat. Akhirnya, cantik lebih tepat disebut sebagai kata kerja ketimbang kata sifat. Dalam konteks kutipan di atas, cantik adalah ketika si pemiliknya tebar pesona.
Menurut Wolf, perempuan akan berlomba-lomba berperilaku cantik untuk mendapatkan sumber daya yang disediakan oleh laki-laki. Mereka berkontestasi untuk mendapatkan pekerjaan (sebab cantik menjadi kriteria lolos ujian masuk), bahkan ketika mereka sudah diterima. Dalam JSG dan PBCR, kontestasi perempuan tersebut dilukiskan dalam situasi perasaan terancam.
Dalam JSG, para istri merasa terancam dan takut suami mereka terjerat oleh godaan Ratih yang telah menjanda. (Hal yang sama juga dapat diamati dalam cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam cerpen tersebut, warga perempuan terancam karena suami mereka tergoda oleh perilaku tokoh perempuan ketika ia sedang mandi [Ajidarma, 2006].) Perasaan terancam tersebut digambarkan dalam adengan-adegan gunjingan. Bahkan, subjek yang melakukan kontestasi tersebut tidak hanya ibu-ibu kampung. Anak-anak mereka pun memendam iri terhadap kecantikan Ratih. Diam-diam mereka ingin menjadi seperti Ratih. Untuk itu, gadis-gadis itu mematai-matai resep rahasia Ratih. Mereka membubuhkan bedak, pemerah bibir dan pipi, pewangi, lulur gayam, dan sebagainya.
Masalahnya, keinginan untuk menjadi seideal Ratih tidak tercapai. Dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa tubuh mereka menjadi rusak karena “salah resep”. Hal paling penting yang ingin disampaikan oleh cerpen ini, perempuan menjadi cantik bukan karena resep tertentu (lulur, bunga-bungaan, daun-daunan, gayam, dsb), melainkan karena perilaku tertentu. Tidak salah resep tidak menjamin mereka menjadi cantik seperti Ratih. Kecantikan Ratih berasal dari apa yang telah mereka gunjingkan: lenggak-lenggok tubuhnya ketika sedang berjalan atau kerlingan nakal.
Dalam JSG, kedengkian karena kontestasi berujung pada percobaan pembunuhan Ratih pada bagian akhir cerpen. Sementara itu, dalam PBCR, perasaan dengki membuat Putri Salju menyiksa para pesaingnya, yaitu sang Ratu dan gadis-gadis kampung. Kedengkian dalam cerpen ini dinarasikan dengan lebih kejam ketimbang dalam JSG.
“Maka pada setiap bulan ganjil ia akan menjelma gagak raksasa, mematuki lirik mata yang tertuju padanya, dan menghisap jiwa-jiwa gadis yang dianggap menyainginya. Ia akan melakukan segala cara untuk menjadi satu-satunya yang dipuja. Ya, benar. Ia menjadi yang dipuja oleh petaka” (Ramadhany, 2015:90). “Jangan tanya mengapa Putri Salju tidak memilih untuk membunuh ibu tirinya, sebab kepuasannya terletak pada siksaan-siksaan yang mendera ibu tirinya. Ia lebih suka melihat korbannya menikmati tiap derita yang dialami” (Ramadhany, 2015:92).

Pemberantasan setiap perempuan yang dianggap menyaingi Putri Salju dilakukan karena motif agar sumber daya yang disediakan laki-laki hanya dikuasai olehnya seorang. Dalam hal ini, sumber daya tersebut berwujud pujian dan keterpesonaan laki-laki kepadanya. “Dengan cara itu Putri Salju membuat setiap lelaki hanya memuja pesonanya” (Ramadhany, 2015:91). Oleh karena itu, untuk mendapatkan sumber daya tersebut, Putri Salju berusaha melenyapkan kecantikan para pesaingnya.
Kontestasi kecantikan dalam dunia faktual mungkin tidak seekstrem dalam JSG dan PBCR. Namun, adegan-adegan tersebut menunjukkan bahwa dalam dunia perempuan, persaingan menjadi cantik memang ada. Mereka kemudian berperilaku tertentu sehingga menjadi cantik. Bagi Wolf, memberi perhatian terhadap kecantikan hanya membuang-buang waktu dan tidak produktif, sebab ia hanya mitos.

Faktor Eksternal
            Karena cantik bukan nilai intrinsik, ia butuh faktor dari luar. Pada bahasan sebelumnya, cantik bukanlah kualitas tertentu yang inheren dengan penampakan fisik perempuan. Namun, ia merupakan perilaku tertentu yang dapat menimbulkan gairah.
Mitos kecantikan wolfian juga dibangun di atas anggapan bahwa standar baku cantik dikonstruksi oleh industri kecantikan seperti program diet, operasi kecantikan, perusahaan kosmetik, dan sebagainya. Iklan berperan sebagai nabi yang menyampaikan standar-standar tersebut kepada khalayak. Mitos kecantikan dalam JSG juga dibangun di atas dasar keyakinan demikian; cantik ditentukan oleh faktor-faktor eksternal.
“Mereka mulai membubuhkan bedak seputih tembok di wajah dan pemerah pipi yang berlebihan serta lipstik yang merah menyala. Wewangian yang disemprotkan pada tubuh, bahkan pada tiap helai rambut mereka menyeruak memaksa masuk ke lubang hidung…. Usut punya usut, gadis-gadis tersebut menyelidiki resep rahasia untuk menjadi secantik Ratih. Diam-diam, dari lubang pintu dan jendela tanpa korden, mereka mengamati lulur apa yang Ratih pakai dan ritual apa yang ia lakukan untuk rambutnya yang begitu wangi dan tubuhnya yang amat indah…. Di suatu sore yang asin, gadis-gadis itu melihat Ratih mengumpulkan buah gayam yang jatuh dan membawanya ke air ketika hendak mandi di sungai. Pasti itu resep rahasia atas keindahan tubuh dan rambutnya, pikir mereka…. Segera gadis-gadis kencur itu pulang dengan sekarung buah gayam yang akan mereka gunakan untuk menggosok tubuh saat mandi dan keramas. Berbagai macam lulur, bunga, dan daun-daunan menemani ritual mandi mereka. Bahkan mereka rela menyetrika rambutnya agar tampak lurus jatuh seperti rambut Ratih” (Ramadhany, 2015:72—73).

Karena mereka iri kepada Ratih, mereka mencari tahu kira-kira faktor eksternal apa yang membuat Ratih menjadi cantik.            Untuk menjadi cantik, mereka membubuhkan bedak, lipstik, parfum, menyetrika rambut agar menjuntai indah seperti rambut Ratih, dan resep rahasia, yakni lulur gayam. Gadis-gadis itu percaya bahwa cantik dapat diwujudkan oleh hal-hal itu karena ia tidak inheren dengan fisik; cantik membutuhkan sebab dari luar fisik.
Hal yang sama juga diyakini dalam PBCR bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berdandan. Putri Salju akan membantai gadis-gadis desa yang berdandan, sebab dengan itulah mereka akan menyaingi kecantikannya.
“Sebab cermin ajaib akan mengadu padanya bahwa di suatu sudut desa, seorang gadis tengah berpupur tebal dan mengoleskan pemerah bibir menggairahkan” (Ramadhany, 2015:90).

Pada kutipan tersebut, yang membuat wajah tampak cantik adalah bedak dan bibir tampak menggairahkan bila dipoles gincu. Putri Salju tidak akan melakukan penyiksaan kepada gadis yang tidak berias. Oleh karena itu,
“Sejak saat itu, para orang tua mengharamkan anak gadis berpupur. Bahkan untuk sekadar mandi, mereka lebih memilih berendam di Danau Sembilu, tempat Putri Salju membuang tahinya. Kulit mereka dibiarkan terbakar terik matahari dan rambut mereka menjadi ladang ternak kutu” (Ramadhany, 2015:90).

Artinya, tanpa sentuhan kosmetik, perempuan tidak akan cantik dan Putri Salju tidak merasa tersaingi.
Lalu mitos kecantikan seperti apa yang khas dalam kedua cerpen tersebut? Kedua cerpen tersebut memberikan sentuhan klenik. Baik dalam JSG maupun PBCR, faktor eksternal yang membuat perempuan tampak cantik bukan hanya perilaku seksual dan kosmetik, melainkan juga faktor-faktor supranatural.

“Aku yakin, Ratih pasti pakai susuk.” “Betul, mana mungkin kulitnya bisa mulus dan kencang seperti itu kalau bukan karena main dukun…” (Ramadhany, 2015:71—72).

Di Indonesia, selain kosmetik dan dokter, mengandalkan kekuatan supranatural dari seorang syaman menjadi pilihan alternatif cara menjadi cantik. Susuk, misalnya, adalah materi kecil yang diimplan pada bagian tubuh tertentu sehingga dapat memancarkan karisma. Tidak heran jika dalam cerpen tersebut seorang perempuan berkata, “Bahkan sehelai rambutnya pun mampu membangkitkan birahi suamiku” (Ramadhany, 2015:72).  
Sebagaimana yang telah disinggung pada bahasan sebelumnya, dalam banyak narasi, perempuan janda seringkali dikaitkan dengan sifat amoral dan penyihir. Sifat dan predikat tersebut, misalnya, secara ikonik tampil dalam karakter Calon Arang, seorang tokoh legenda yang hidup pada zaman Raja Air Langga (Suastika, 1997). Selain itu, stereotipe negatif tentang janda sebagai penggoda juga berkembang dalam masyarakat. 
Cerpen PBCR bisa dibilang lebih atraktif dalam mengandalkan kekuatan gaib. Putri Salju digambarkan sebagai orang yang memiliki ilmu hitam. Praktik sihir Putri Salju adalah gabungan dari obsesi, kesadisan, dan kanibalisme.
“Santapannya adalah daging mentah dan minumannya adalah darah perawan agar tetap cantik wajahnya serta molek tubuhnya. Ia gemar mengisap jiwa-jiwa gadis dan menguliti tubuh lelaki perjaka di rengkuh sayapnya” (Ramadhany, 2015:90).

Hal-hal demikian merepresentasikan mitos kecantikan menurut  masyarakat (tradisional) Indonesia. Hingga saat ini, mitos kecantikan klenik masih diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia. Inilah yang membedakan mitos kecantikan ala Indonesia dengan mitos kecantikan dunia Barat modern.


Simpulan
            Cerpen JSG dan PBCR merepresentasikan isu gender yang oleh Naomi Wolf disebut sebagai mitos kecantikan. Pertama, kedua cerpen tersebut memiliki standar baku cantik, yaitu rambut hitam panjang, leher jenjang, bibir merekah, tubuh wangi, kulit kencang putih mulus, serta langsing. Usia tua akan mendepak perempuan dari kelompok cantik, kecuali ia adalah seorang janda yang terjaga kualitas fisiknya. Kedua, dalam cerpen-cerpen tersebut, sesungguhnya kualitas cantik merujuk pada perilaku tertentu (terutama tokoh Ratih dalam JSG), yaitu perilaku yang dapat membangkitkan gairah, bukan penampakan fisik. Ketiga, karena cantik bukan merupakan kualitas intrinsik, ia dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Selain kosmetik, cantik dalam kedua cerpen tersebut dipengaruhi oleh kekuatan supranatural.
            Ketiga hal tersebut saling terkait satu sama lain. Perilaku tertentu memberikan makna pada standar baku kecantikan. Bagian tubuh tertentu yang dianggap telah memenuhi standar yang berkualitas tidak bisa dikatakan cantik bila tidak direpresentasikan ke dalam perilaku tertentu, misalnya lenggak-lenggok dan kerlingan. Bagian tubuh tersebut juga tidak bernilai cantik bila tidak ditopang oleh faktor-faktor eksternal seperti kosmetik dan kekuatan supranatural.
            Mitos kecantikan dalam kedua cerpen tersebut dilandasi oleh kepentingan laki-laki. Standar kecantikan disesuaikan dengan selera laki-laki. Seluruh motif menjadi cantik dalam kedua cerpen tersebut selalu merujuk pada keinginan perempuan untuk mendapatkan sumber daya dari laki-laki berupa kesetiaan, pengakuan, pujian, dan keterpesonaan.

Daftar Rujukan
Ajidarma, Seno Gumira. 2006. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Yogyakarta: Galang Press.
Candraningrum, Dewi. 2014. Karier Patriarki, (Online), (www.jurnalperempuan.org), diakses 18 April 2016.
Djajanata, Tjahjadi. 2014. Perawan atau Janda, (Online), (www.kapanlagi.com), diakses 17 April 2016.
Paramaditha, Intan, dkk. 2010. Kumpulan Budak Setan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ramadhany, Dwi Ratih. 2015. Pemilin Kematian. Malang: Universitas Negeri Malang.
Suastika, I Made. 1997. Calon Arang dalam Tradisi Bali. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tong, Rosemarie Putnam.  1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. 2010. Yogyakarta: Jalasutra.
Wolf, Naomi. 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Terjemahan Alia Swastika. 2004. Yogyakarta: Penerbit Niagara.

Jurnal Poetika, Volume IV No. 1, Juli 2016