
Puisi “Nasib Rindu, 1”, misalnya, menghadirkan semacam
hipermemori dengan menggunakan nyaris semua jenis imaji. Aku lirik dapat
merasakan seluruh kenangan bersama kekasihnya dengan detail seolah-olah ia
sedang mengalami peristiwa itu. Menurut Maurice Merleu-Ponty, tubuh bukan hanya
objek di antara objek-objek lain, melainkan objek yang sensitif terhadap semua
rangsangan eksternal. Barangkali puisi tersebut semacam enskripsi dari seluruh stimulus
yang diresepsi oleh aku lirik (objek).
Eros, dalam
filsafat Yunani klasik, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut cinta
kepada kekasih. Eros didasari oleh
motif estetis dan bersifat karnal. Namun, Platon mengoreksi bahwa eros tidak selalu identik dengan cinta
badaniah. Keindahan sejati berakar dari kebenaran. Bila kebenaran dalam
keyakinan filosofis Platon merujuk pada entitas yang idealis, maka cinta sejati
pun semestinya juga tidak berasosiasi dengan materi jasadiah.
Puisi-puisi dalam buku ini mengimani cinta platonis. Karena
itulah hubungan jarak jauh atau putus cinta bukan masalah. Bagi puisi-puisi Arung Cinta, sentuhan fisik bukan hakikat
cinta. Dalam salah satu puisi disebutkan bahwa persinggungan raga adalah
hubungan yang fana dan fatamorgana. Tidak heran jika puisi-puisi dalam buku ini
mengglorifikasi kenangan dan kerinduan, sebab begitulah satu-satunya modus mempertahankan
keberadaan cinta yang telah kehilangan statusnya.
Separuh pertama Arung
Cinta berisi puisi-puisi yang (sepertinya) ditujukan kepada kekasih (‘k’
kecil). Separuh terakhir buku ini banyak berbicara tentang kecintaan kepada
Tuhan (agape). Himne kepada Tuhan,
dalam puisi-puisi tersebut—sebagaimana eros
platonis—tidak dimanifestasikan dalam ketaatan kasatmata (ibadah ritual).
Devosi kepada Tuhan merupakan penghayatan kepada-Nya sebagai sang Cinta. Tentu
saja menjadikan sang Mahacinta sebagai objek cinta menuntut cara yang berbeda
dengan kaum syariah yang selalu menggunakan jalan hukum (syariah).
Perbedaan kedua jalan tersebut bisa ditarik pada sebuah
premis: hukum mengikat, sedangkan cinta membebaskan. Penyimpangan (sebagai
sebuah maujud kebebasan) dari ketaatan konvensional dalam buku ini, misalnya:
ibadah bisa ditunaikan di kafe, bukan mesjid; ritual tidak hanya diwujudkan
dengan mendaras kitab suci, tetapi juga kitab ‘tak suci’—yang diyakini sebagai
bagian dari samudera ilmu Ilahi.
Selain itu, kecintaan kepada Tuhan, dalam buku ini,
menuntut kebersihan hati dan perlakuan yang baik kepada sesama. Kecongkakan
dinilai tidak mencerminkan karakter seorang pecinta. Mencintai Tuhan
ditunjukkan dengan cara menjadi majnun
kepada sesama manusia. Dalam khazanah kaum mistik, seluruh makhluk adalah embodiment dari sang khalik. Dengan
demikian, dharma adalah bukti cinta
kepada Pencipta.
Sejumlah puisi dalam buku ini mengaburkan eros dengan agape. Karena aktivitas membaca merupakan politik pembaca (context of justification), ketaksaan
objek cinta yang dirujuk akhirnya membuat kita curiga: jangan-jangan
puisi-puisi yang ditujukan kepada kekasih (‘k’ kecil) sebenarnya dimaksudkan
kepada Kekasih (‘K’ besar). Narasi tentang Tuhan ditunjukkan dalam
metafora-metafora feminin sebagaimana pujian terhadap tubuh perempuan.
Adakah yang seksi dalam spiritualisme? Bagi kalangan
penyair mistikus laki-laki, Tuhan adalah pribadi yang feminin: Rahman, Rahim,
Shekinah, Roh Kudus. Sudut pandang demikian akan membawa kita pada sebuah
simpulan bahwa Tuhan dalam sejumlah puisi Djoko Saryono bukan objek cinta yang
transenden, melainkan sosok yang amat dekat. Tuhan adalah Eros itu sendiri.