Selasa, 05 April 2016

Berdiri di Atas Irisan Mitos dan Logos



Ditugasi mengampu mata kuliah Dasar-Dasar Kebudayaan membuat saya kembali membuka buku Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan (The Case for God: What Religion Really Means—2009). Saya ingin mengingat sejarah singkat kelahiran gagasan tentang Tuhan dan manusia sebagai spiritual being (homo religiosus). Dalam kata pengantar buku itu, Armstrong menulis refleksinya atas oposisi biner mitos dan logos, agama dan sains. Prolog tersebut seperti memantulkan pengalaman relijius yang cukup intens saya alami akhir-akhir ini.
            Singkat cerita, bagi Armstrong, mitos dan logos tak perlu dipertentangkan. Keduanya memiliki kebenaran dan fungsi masing-masing. Ilmu pengetahuan menjelaskan fenomena fisik yang dapat dicandra. Sementara itu, mitos mempertahankan misteri yang takkan pernah diketahui manusia. Mitos berkaitan dengan entitas transenden yang hanya perlu diyakini eksistensinya. Mempertanyakan mitos sama halnya dengan berjalan di dalam labirin spekulatif yang tak berujung-pangkal. Mitos adalah penanda bahwa betapapun berkuasannya manusia, ia akan selalu dilingkupi oleh rahasia.
            Beberapa hari yang lalu seseorang menyamakan saya dengan kaum jahiliyah Mekah lantaran saya berkata bahwa kisah Adam-Hawa tak pernah ada secara faktual. Tentu saja saya menolak disamakan dengan mereka. Meski saya dan mereka sama-sama memiliki anggapan bahwa cerita-cerita di dalam kitab suci tak lebih dari sekadar folklore, saya dan mereka punya motif yang berbeda. Mereka menolak faktualitas kisah-kisah dalam kitab kuci dengan maksud mengejek Nabi, sedangkan motif saya adalah menghormati kisah-kisah tersebut dengan meletakkannya sesuai pada tempatnya.
            Sebagai manusia yang hidup pada abad ke-21, tentu saja gudang pengetahuan saya cukup banyak didominasi oleh pandangan-pandangan saintifik. Ilmu pengetahuan yang saya miliki berjalinkelindan dengan gagasan-gagasan keagamaan yang sedari kecil diinternalisasikan ke dalam kesadaran saya. Jika ditanya, apa preferensi pandangan hidup saya? Mitos atau logos? Tentu saja saya akan sulit menjawabnya. Dalam kesadaran saya, tak pernah ada garis demarkasi yang tegas antara mitos dan logos. Pada satu saat, saya sangat memegang teguh kebenaran ilmu pengetahuan, tetapi pada saat yang lain—ketika saya sedang berada dalam situasi yang rentan, misalnya—saya begitu tunduk kepada mitos. Artinya, saya hidup di dalam irisan mitos dan logos.
            Pertanyaannya, memangnya bisa hidup di dunia dengan kutub yang berlawanan? Bergantung siapa yang menjalaninya. Bagi saya, berusaha mencocok-cocokkan sains dengan agama adalah bentuk kekerasan terhadap keduanya. Mitos dan logos memiliki kodrat masing-masing. Kosmogoni alkitabiah, misalnya, takkan pernah kawin dengan teori evolusi. Selanjutnya, keputusan ada di tangan kita sepenuhnya, dalil manakah yang akan kita jadikan dasar keyakinan. Mitos atau logos? Saya sendiri tak mungkin menolak teori evolusi yang (masih) cukup adekuat menjelaskan asal-usul kehidupan. Lebih memilih teori evolusi ketimbang kosmogoni alkitabiah tidak berarti saya mencampakkan mitos. Logos dan mitos menyampaikan kebenaran dengan bahasa yang berbeda. Mitos adalah metafora yang menarasikan interaksi manusia dengan dunianya—yang misterius. Dengan membaca mitos, kita seperti menjelajahi pengalaman-pengalaman manusia dan pelajaran apakah yang ingin disampaikan cerita-cerita tersebut. Tetapi yang paling penting dari belajar kepada mitos adalah bahwa ada banyak hal yang belum kita ketahui. Itulah alasan mengapa kita harus senantiasa merendahkan hati.  
            Lalu apa fungsi mitos di dunia yang sarat krisis? Mitos memberi harapan ketika manusia dikepung oleh penderitaan, seperti selarik lagu Andrea Bocelli, “The Prayer”: When stars go out each night, You are the everlasting star. Kesannya seperti lari dari kenyataan (sebagaimana anggapan Marx bahwa agama adalah candu), tetapi percaya atau tidak, ini cukup bekerja. Mitos juga menyediakan ruang sunyi di tengah dunia yang hiruk-pikuk. Agama menjadi tempat pulang. “Tuhan, di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling,” ratap Chairil Anwar.
            Kini saya tak lagi bingung bagaimana cara menempatkan mitos dan logos. Saya akan menggunakan keduanya sesuai fungsi masing-masing tanpa perlu dicampuraduk. Agama adalah cahaya pelipur lara, sedangkan sains menjadi alat dalam menjalani hidup di dunia. Fanatik kepada salah satunya merupakan sikap yang dapat menghambat kita untuk tinggal dalam irisan keduanya.