Ditugasi mengampu mata kuliah
Dasar-Dasar Kebudayaan membuat saya kembali membuka buku Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan (The Case for God: What Religion Really Means—2009). Saya ingin
mengingat sejarah singkat kelahiran gagasan tentang Tuhan dan manusia sebagai spiritual being (homo religiosus). Dalam kata pengantar buku itu, Armstrong menulis
refleksinya atas oposisi biner mitos dan logos, agama dan sains. Prolog tersebut
seperti memantulkan pengalaman relijius yang cukup intens saya alami akhir-akhir
ini.
Singkat
cerita, bagi Armstrong, mitos dan logos tak perlu dipertentangkan. Keduanya
memiliki kebenaran dan fungsi masing-masing. Ilmu pengetahuan menjelaskan
fenomena fisik yang dapat dicandra. Sementara itu, mitos mempertahankan misteri
yang takkan pernah diketahui manusia. Mitos berkaitan dengan entitas transenden
yang hanya perlu diyakini eksistensinya. Mempertanyakan mitos sama halnya
dengan berjalan di dalam labirin spekulatif yang tak berujung-pangkal. Mitos
adalah penanda bahwa betapapun berkuasannya manusia, ia akan selalu dilingkupi
oleh rahasia.
Beberapa
hari yang lalu seseorang menyamakan saya dengan kaum jahiliyah Mekah lantaran saya berkata bahwa kisah Adam-Hawa tak
pernah ada secara faktual. Tentu saja saya menolak disamakan dengan mereka.
Meski saya dan mereka sama-sama memiliki anggapan bahwa cerita-cerita di dalam
kitab suci tak lebih dari sekadar folklore,
saya dan mereka punya motif yang berbeda. Mereka menolak faktualitas
kisah-kisah dalam kitab kuci dengan maksud mengejek Nabi, sedangkan motif saya
adalah menghormati kisah-kisah tersebut dengan meletakkannya sesuai pada
tempatnya.
Sebagai
manusia yang hidup pada abad ke-21, tentu saja gudang pengetahuan saya cukup
banyak didominasi oleh pandangan-pandangan saintifik. Ilmu pengetahuan yang
saya miliki berjalinkelindan dengan gagasan-gagasan keagamaan yang sedari kecil
diinternalisasikan ke dalam kesadaran saya. Jika ditanya, apa preferensi
pandangan hidup saya? Mitos atau logos? Tentu saja saya akan sulit menjawabnya.
Dalam kesadaran saya, tak pernah ada garis demarkasi yang tegas antara mitos
dan logos. Pada satu saat, saya sangat memegang teguh kebenaran ilmu pengetahuan,
tetapi pada saat yang lain—ketika saya sedang berada dalam situasi yang rentan,
misalnya—saya begitu tunduk kepada mitos. Artinya, saya hidup di dalam irisan
mitos dan logos.
Pertanyaannya,
memangnya bisa hidup di dunia dengan kutub yang berlawanan? Bergantung siapa
yang menjalaninya. Bagi saya, berusaha mencocok-cocokkan sains dengan agama
adalah bentuk kekerasan terhadap keduanya. Mitos dan logos memiliki kodrat
masing-masing. Kosmogoni alkitabiah, misalnya, takkan pernah kawin dengan teori
evolusi. Selanjutnya, keputusan ada di tangan kita sepenuhnya, dalil manakah
yang akan kita jadikan dasar keyakinan. Mitos atau logos? Saya sendiri tak
mungkin menolak teori evolusi yang (masih) cukup adekuat menjelaskan asal-usul
kehidupan. Lebih memilih teori evolusi ketimbang kosmogoni alkitabiah tidak
berarti saya mencampakkan mitos. Logos dan mitos menyampaikan kebenaran dengan
bahasa yang berbeda. Mitos adalah metafora yang menarasikan interaksi manusia dengan
dunianya—yang misterius. Dengan membaca mitos, kita seperti menjelajahi pengalaman-pengalaman
manusia dan pelajaran apakah yang ingin disampaikan cerita-cerita tersebut. Tetapi
yang paling penting dari belajar kepada mitos adalah bahwa ada banyak hal yang
belum kita ketahui. Itulah alasan mengapa kita harus senantiasa merendahkan
hati.
Lalu
apa fungsi mitos di dunia yang sarat krisis? Mitos memberi harapan ketika
manusia dikepung oleh penderitaan, seperti selarik lagu Andrea Bocelli, “The
Prayer”: When stars go out each night, You are the
everlasting star. Kesannya seperti lari dari kenyataan (sebagaimana anggapan Marx
bahwa agama adalah candu), tetapi percaya atau tidak, ini cukup bekerja. Mitos
juga menyediakan ruang sunyi di tengah dunia yang hiruk-pikuk. Agama menjadi
tempat pulang. “Tuhan, di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling,” ratap
Chairil Anwar.
Kini
saya tak lagi bingung bagaimana cara menempatkan mitos dan logos. Saya akan
menggunakan keduanya sesuai fungsi masing-masing tanpa perlu dicampuraduk.
Agama adalah cahaya pelipur lara, sedangkan sains menjadi alat dalam menjalani
hidup di dunia. Fanatik kepada salah satunya merupakan sikap yang dapat
menghambat kita untuk tinggal dalam irisan keduanya.